Apa itu Sastra?

Rangkuman kelas Obrolan Sobat Gabut bersama Heru Jhoni Putra, diadakan oleh Kedai Teroka

Haris Quds
Literatalk
4 min readAug 22, 2020

--

“Karena teks sastra adalah strategi bahasa, maka pembaca harus mengikuti dulu teks tersebut untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh si penulis.” (Heru Jhoni Putra)

Photo by Tim Wildsmith on Unsplash

Pertanyaan “apa itu sastra” selalu menjadi pertanyaan yang diajukan dan diperdebatkan. Hingga saat ini pertanyaan tersebut tidak pernah selesai. Banyak sekali jawaban tentang pertanyaan tersebut, meskipun jawaban yang beragam tersebut tidak selalu saling melengkapi, ada juga yang saling menentang dan meniadakan. Maka jika kita berharap untuk mendapatkan jawaban yang pasti untuk pertanyaan tersebut sama saja berharap sastra itu sendiri untuk selesai.

Pertanyaan ini justru memancing kita untuk menemukan cara baru untuk “bersastra”. Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa juga diperoleh dari karya-karya sastra secara tersirat. Maka, kegiatan menulis juga sebenarnya secara tidak langsung merupakan aksi untuk menjawab pertanyaan “apa itu sastra”. Dengan kata lain, kerja penulis adalah kerja “mengganggu” definisi pasti dari Sastra, meskipun hal ini bukan menjadi tujuan tunggal yang disengaja. Meskipun begitu, tentu saja ada penulis-penulis yang memegang satu definisi sastra sepanjang hidupnya dan dituangkan dalam karya-karyanya. Hal itu sah-sah saja, selama ia tidak menyatakan definisi tersebut adalah satu-satunya definisi yang benar.

Konseptualisasi sastra

Dari beberapa banyak cara orang melakukan konseptualisasi sastra, ada beberapa hal yang menarik. Ada anggapan yang menyatakan bahwa “suatu hal bisa disebut sastra jika ia menyampaikan sesuatu”. Hal yang disampaikan dalam konteks ini biasanya berupa muatan moral tertentu. Ada juga anggapan yang mengedepankan bentuk (form). Dengan pandangan ini, isinya bisa tentang apa saja, muatannya bisa berisi apa saja, namun perkara sastra adalah perkara bentuk. Pendapat lain justru menggabungkan kedua unsur tersebut, “sastra adalah suatu hal yang memiliki tegangan antara bentuk dan isi”. Ketiga pandangan di atas merupakan tiga pandangan umum tentang Sastra.

Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Ada pendapat yang juga menarik, yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah produk bahasa yang memiliki sekumpulan perangkat-perangkat (bahasa) nya tersendiri. Maka, sastra adalah sebuah strategi berbahasa.

Produk bahasa lainnya selain sastra adalah berita, iklan baris, esai akademis, dll. Namun produk bahasa selain sastra tidak mungkin bisa memanfaatkan piranti-piranti bahasa semaksimal yang bisa lakukan oleh sastra. Contohnya, berita tidak mungkin menggunakan piranti hiperbola karena tujuannya mencari kebenaran seakurat mungkin.

Apakah dengan begitu, definisi sastra menjadi sebuah hal yang relatif secara mutlak? Kalau begitu, apakah iklan pasta gigi atau struk belanja juga bisa disebut sebagai sastra? Tentu saja definisi sastra tidak serelatif itu, meskipun terdapat banyak sekali definisi sastra dari zaman ke zaman.

Piranti Sastra

Sampai sini, kita sudah memperoleh ciri-ciri sastra:

· Merupakan produk teks

· Merupakan strategi teks

· Memiliki piranti sastra (literary devices)

Photo by Ella Deane on Unsplash

Piranti Sastra adalah seperangkat alat yang menjadi strategi pembeda antara teks sastra dan teks lainnya. Meskipun ada kasus-kasus di mana teks sastra dan teks jurnalisme mereka berbagi piranti. Maka, Literary Devices ini tidak secara eksklusif dimiliki oleh teks sastra saja.

Apa konsekuensi dari penggunaan piranti sastra sebagai strategi dalam memproduksi teks?

· Banyak suara/banyak perspektif/bersifat polyphonic

Contohnya, jika sebuah jurnalistik memberitakan kebakaran rumah hanya dari sudut pandang saksi mata atau korban, sastra bisa mengangkat kejadian kebakaran rumah dari suara rumah yang terbakar tersebut.

Keragaman suara sastra ini adalah efek dari pemaksimalan penggunaan piranti sastra.

· Multitafsir/ambigu

Adalah sebuah kesalahan jika kita mengatakan satu teks sastra hanya berbicara tentang satu hal pasti saja. Penggunaan piranti sastra membuka satu teks sastra untuk mengambigukan suatu hal, atau bahkan mengambigukan dirinya sendiri.

· Berperkara dengan “kebenaran”

Karena memiliki ruang untuk menciptakan ambiguitas, maka teks sastra memiliki kemampuan untuk menggoyang apa yang dianggap sebagai “kebenaran”. Namun urusan sastra dengan kebenaran tidak sama dengan bagaimana teks akademis berurusan dengan kebenaran. Sastra cenderung tidak buru-buru terhadap kebenaran.

Meskipun ada juga teks yang menyalurkan satu kebenaran yang bukan dari dirinya, kemudian teks tersebut dipaksakan menjadi sastra.

Pertanyaan selingan

“multitafsir” kan hak pembaca/audiens, bukan hak penulis. Maka, apakah penulis memang harus membuat karyanya bersifat multitafsir secara sengaja, atau penulis membuat karya yang kosong muatan tafsir dari kepala si penulis sendiri?

Jawaban:

Karena sastra adalah strategi teks, maka muatan multitafsir adalah tindakan yang distrategikan dengan sengaja. Yang tidak bisa dilakukan adalah penulis tidak bisa menentukan ke mana saja tafsir-tafsir tersebut akan mengarah. Maka, pemahaman yang baik akan strategi sastra dan penggunaannya, akan mengarahkan suatu teks sastra untuk memiliki banyak pemaknaan.

Karena penulis tidak memiliki kuasa penuh terhadap arah tafsiran pembaca, di sana lah ruang untuk kritik sastra terjadi. Jika dibalik, adanya kritik sastra menunjukkan bahwa penulis tidak memiliki kuasa penuh untuk membentuk arti pada karya-karyanya.

Piranti sastra bukanlah merupakan alat yang siap jadi, seperti pisau yang siap untuk memotong. Tapi penulis harus memahami bagaimana penulis lainnya menggunakan piranti sastra dalam karyanya. Membaca berbagai karya dari penulis yang berbeda, dan terus menulis adalah cara memperkaya pengetahuan kita akan penggunaan piranti sastra. Misalnya, suatu piranti sastra bernama simbol, akan digunakan dengan berbagai cara oleh penulis-penulis berbeda. Membaca esai kritik sastra juga merupakan cara untuk mempelajari penggunaan piranti sastra pada sebuah karya.

Sebagai pembaca tidak boleh buru-buru bersikap jika menemukan sesuatu yang aneh, sulit dimengerti, tidak sreg, pada suatu teks. Karena teks sastra adalah strategi bahasa, maka pembaca harus mengikuti dulu teks tersebut untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh si penulis.

Kesimpulan

Piranti sastra adalah hal yang sudah sering dipelajari oleh kita bahkan dari kecil, pada pelajaran Bahasa Indonesia. Majas, imaji, bahasa figuratif, adalah bahasa lain dari istilah piranti sastra, dan hal ini cenderung membosankan jika dipelajari secara akademis terutama karena penyampaian pengajar yang tidak menarik. Maka, membaca karya sastra adalah salah satu cara menarik untuk mempelajari piranti sastra.

--

--

Haris Quds
Literatalk

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.