Memetakan Posisi Pembaca di Tengah Hiruk Literasi Indonesia

Haris Quds
Literatalk
Published in
7 min readNov 11, 2020

“Penulis dan penerbit menjadikan karya ada, pembaca menjadikannya hidup.”

Dalam dunia literasi, atau dunia perbukuan, ada banyak sekali pihak yang terlibat di dalamnya. Sebut saja penerbit, penulis, distributor, editor, penjual, dan tentunya pembaca. Masing-masing pihak tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi. Maka, jika digambar di atas selembar kertas, kita sesungguhnya dapat membuat peta pengaruh keseluruhan pihak di dalam dunia literasi.

Pada tulisan kali ini, saya hanya akan fokus untuk memetakan posisi pembaca. Namun sebelum itu, perlu rasanya bagi saya untuk mendefinisikan dahulu apa yang saya maksud — atau kita maksud — sebagai pembaca.

Siapa itu pembaca?

Pada hakekatnya, dalam dunia literasi, pembaca adalah orang yang membaca buku. Sederhananya, pembaca adalah alasan utama mengapa buku ditulis dan diterbitkan. Pembaca juga adalah tujuan utama dari diciptakannya sebuah buku. Mengapa saya mengatakan alasan “utama” dan tujuan “utama”? Karena tentu saja ada alasan lain dan tujuan lain, misalnya penulis yang menulis buku hanya karena ia senang menulis, tanpa bertujuan untuk menerbitkannya. Namun, alasan-alasan tersebut bukan merupakan yang utama.

Photo by Perfecto Capucine on Unsplash

Tentu saja, pembaca terdiri dari berbagai jenis. Ada pembaca rekreasional, yaitu pembaca yang melakukan kegiatan membaca buku untuk kesenangan pribadi — entah itu buku fiksi ataupun non-fiksi. Ada pembaca pelajar, yaitu pembaca buku yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu, mungkin karena kebutuhan studi atau sekadar ketertarikan pribadi.

Selain itu, ada juga jenis pembaca yang berorientasi pada output, yaitu yang menjadikan kegiatan membaca buku sebagai permulaan dari kegiatan lainnya. Contoh jenis ini adalah kritikus sastra yang memproduksi esai atau buku kritik sastra, book influencer yang memproduksi konten seputar perbukuan seperti Booktober Bookstagrammer, Booktwitter, Bookblogger, dan lain sebagainya, atau pengelola komunitas yang biasa mengadakan acara berdasarkan buku-buku tertentu.

Tentu saja kemudian ada pembaca yang berperan ganda di dunia literasi, misalnya pembaca yang merupakan seorang penulis, pembaca yang bekerja di penerbitan, pembaca yang merupakan penerjemah, pembaca yang merupakan pemilik toko buku, dan seterusnya. Bahkan, secara esensi, semua pihak yang terlibat di dalam dunia literasi — kecuali pembaca itu sendiri yang sudah sangat jelas statusnya — adalah seorang pembaca.

Namun, untuk beberapa paragraf ke bawah ini hingga selesai, ketika saya menyebut pembaca, maka saya hanya akan merujuk pada pembaca yang tidak memiliki peran ganda dalam dunia literasi. Anda akan mengerti tujuan saya sedikit mempersempit definisi pembaca setelah selesai membaca esai ini.

Selanjutnya, untuk memetakan posisi pembaca di dunia literasi, saya akan membaginya pada dua konteks, yaitu konteks industri dan konteks ekosistem. Karena, ketika kita membicarakan dunia literasi, tentu saja kita berbicara industri, bisnis, penjual dan pembeli. Namun, dunia literasi tentu saja tidak hanya terbatas pada industrinya saja, ada juga aspek yang non komersil, saling mempengaruhi, dan juga sedikit berkelindan dengan aspek industri tadi. Pembagian konteks ini tentu hanya pembagian imajiner di kepala saya saja, dan anda berhak untuk setuju maupun tidak.

Pembaca dan Industri Literasi

Ketika kita membicarakan industri, maka kita bicara perihal kegiatan ekonomi untuk menghasilkan suatu produk — barang atau jasa — untuk kemudian diperjual-belikan. Produk industri literasi tentu saja buku itu sendiri. Yang bergerak pada posisi penghasil produk tentu saja penulis dan orang-orang yang bekerja di penerbitan. Sedangkan yang berada pada posisi pembeli atau hilir dari arus besar jual-beli produk buku adalah pembaca.

Photo by Eddie Junior on Unsplash

Di antara penerbit dan penulis juga sesungguhnya terjadi proses jual-beli, di mana penulis “menjual” karyanya dan penerbit “membeli” karya tersebut untuk diperbanyak. Namun, situasi transaksional di antara penulis dan penerbit tidak selalu benar-benar transaksi jual-beli secara eksplisit, melainkan biasanya dengan sistem royalti. Transaksi ini sendiri berada pada arus kecil di hulu “sungai industri” literasi. Namun, saya tidak akan membahas hal itu lebih lanjut karena pada esai ini saya hanya fokus pada pembaca saja.

Kembali pada arus besar jual-beli di industri literasi. Kita bisa langsung menyimpulkan bahwa posisi pembaca adalah sebagai target penjualan, atau istilah lainnya, konsumen. Tentu saja kita sering mendengar pernyataan seperti “kamu bukan target pasar buku A”, atau “buku terbitan penerbit B menyasar pasar pembaca genre C”, sejenisnya. Dalam konteks industri, seperti itulah gambaran posisi pembaca. Dan ketika saya mengatakan ‘target penjualan’ dan ‘konsumen’, saya tidak mengatakannya dengan tone perjuangan a la kelompok kiri.

Tanpa bermaksud untuk mengancam atau menegaskan posisi power saya sebagai pembaca, tapi, pembaca memang punya kekuatan untuk menjadikan sebuah buku best seller atau juga menjadi tidak laku. Secara industri, pembaca yang merupakan tujuan akhir dari sebuah produk, seharusnya dihargai secara proporsional karena jika bukan mereka yang akan membeli, siapa lagi? Salah satu cara menghargai pembaca — dari segi industri — adalah dengan mendengar saran dan kritik pembaca tentang buku yang akan atau sudah diterbitkan. Misalnya, penerbit mendengarkan keluhan pembaca tentang desain sampul buku seri yang tidak seragam, atau tentang penerjemahan yang kurang nyaman dibaca di terbitan jilid tertentu.

Pembaca dan ekosistem literasi

Sebagaimana istilah ekosistem yang kita pahami pada ranah biologi, ada banyak pihak yang juga terlibat di dalam ekosistem literasi, dan mereka saling terhubung. Pembaca adalah salah satu bagian yang memiliki peran penting dalam ekosistem literasi. Jika ‘spesies’ bernama pembaca ini punah atau tidak ada di dalam ekosistem, maka ekosistem akan rusak dan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Begitu juga adanya dengan ‘spesies-spesies’ lainnya.

Photo by Thomas Evans on Unsplash

Namun, tidak seperti pola hubungan di dalam ekosistem biologis yang bersifat hierarkis — rantai makanan — dan satu arah, pola hubungan antar puhak-pihak di dalam ekosistem literasi bersifat lebih dinamis dan bergerak dua arah. Kedinamisan ini terjadi akibat pembaca itu sendiri yang beragam jenisnya, seperti yang sudah dijabarkan pada beberapa paragraf di atas. Setiap jenis pembaca memiliki signifikansi tertentu dalam ekosistem ini.

Peran pembaca rekreasional berkelindan dengan peran pembaca dalam industri, yaitu orang yang akhirnya akan menikmati buku yang diproduksi. Mungkin kesannya memang ‘hanya’ sebatas itu. Namun, yang ‘hanya’ tersebut sungguh berarti, karena jika pembaca tidak membeli suatu buku, maka siapa lagi yang akan membelinya? Pemilik perpustakaan dan taman baca? Tetap saja tangan terakhirnya adalah pembaca.

Pembaca yang bereorientasi output berperan dalam menggemakan gaung buku-buku yang sudah diterbitkan. Seperti yang sudah saya bahas pada tulisan ini dan tulisan ini, pembaca berperan aktif dalam memberi makna pada sebuah buku — dalam konteks fiksi. Book influencer menggemakan gaung sebuah buku melalui konten yang ia produksi, entah itu ulasan, analisis, pengkategorian, dan jenis konten kreatif lainnya. Kritikus sastra menggemakan gaung dengan membuat analisis dan menyebar-luaskannya melalui jurnal, situs-situs kebudayaan, kolom surat kabar, dan media lainnya.

Peran ini sangat penting dalam memperpanjang usia sebuah buku. Tidak memperpenjang usia fisik, namun usia eksistensinya. Saya selalu beranggapan bahwa karya yang berhenti dibicarakan adalah karya yang mati. Sebaliknya, seberapa lama pun sebuah karya sudah diciptakan, jika masih terus dibicarakan — dengan berbagai cara di atas, maka karya tersebut adalah karya yang hidup.

Tentu saja yang bisa menggaungkan gema sebuah buku tidak hanya para pembaca berorientasi output, pembaca jenis lainnya juga bisa melakukannya. Contohnya adalah pembaca rekreasional yang membuat sebuah klub buku dan mengadakan diskusi rutin untuk membicarakan buku-buku tertentu. Pihak lain dalam ekosistem literasi juga tentu bisa melakukannya, misalnya dalam bentuk festival literasi, talkshow, dan jenis acara lainnya yang bisa mencakup audiens lebih luas — karena, kembali lagi, notabenenya mereka juga merupakan pembaca.

Photo by john amachaab on Unsplash

Peran pembaca sebagai penggaung gema ini tidak hanya bermanfaat bagi penerbit dan penulis saja, tetapi bagi ekosistem itu sendiri secara umum. Karena pembaca yang terus mendiskusikan buku-buku, maka ekosistem terus berjalan, tidak berhenti hanya dari penyedia buku ke pembaca buku. Diskusi membuat ekosistem literasi hidup. Penulis dan penerbit menjadikan karya ada, pembaca menjadikannya hidup.

Kesimpulan

Pembaca adalah entitas yang definisinya cair, sehingga semua orang bisa menjadi pembaca. Oleh karena itu, pembaca menempati beberapa posisi sekaligus, apalagi jika dilihat dari dua perspektif (secara industri dan secara ekosistem). Pembaca berperan penting secara industri sebagai konsumen produk dan secara ekosistem sebagai penggerak diskusi. Namun sayangnya, pentingnya peran pembaca belum dilihat secara maksimal oleh pihak-pihak lainnya di dunia literasi, bahkan oleh para pembaca itu sendiri.

Penilaian tersebut saya berikan setelah melihat beberapa fenomena di dunia literasi di Indonesia yang menempatkan pembaca sebagai entitas yang tersudutkan. Misalnya ada penerbit yang mengabaikan tanggapan pembaca tentang buku terbitannya, penulis dan penerbit yang — secara tidak langsung — memposisikan book influencer sebagai pengemis buku gratis, absennya kehadiran pembaca dalam festival-festival literasi yang diadakan oleh gatekeeper literasi (penerbit, promotor, penulis), penerbit yang mendikte kebebasan pembaca, dan beberapa fenomena lainnya. Fenomena-fenomena tersebut juga yang mendorong saya untuk menulis esai ini. Keresahan-keresahan tersebut mungkin akan saya tuangkan dalam bentuk tulisan panjang secara spesifik pada kesempatan lain.

Untuk saat ini, saya tidaklah pesimis melihat dunia literasi di Indonesia, alih-alih saya sangat optimis. Karena, meskipun ada pihak-pihak yang tidak menghargai keberadaan dan peran pembaca, masih banyak juga pihak lainnya dari mulai sesama pembaca, pemilik toko buku, hingga pihak penerbitan yang menghargai pembaca dengan berbagai cara yang mereka bisa. Saya yakin dunia literasi di Indonesia akan terus berkembang ke arah yang lebih baik lagi, dan akhirnya posisi dan peran pembaca akan diakui secara luas.

--

--

Haris Quds
Literatalk

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.