Proyeksi Peran Book Influencers di Ekosistem Literasi*

Studi Kasus Festival Literasi di Indoensia

Haris Quds
Literatalk
9 min readNov 15, 2020

--

Kita memang sudah familiar dengan istilah influencer — atau ‘pemengaruh’, menurut Ivan Lanin — tapi mungkin tidak dengan istilah Book Influencer. Agaknya istilah yang biasa didengar adalah Booktuber, Bookstagrammer, Bookblogger, dan sebagainya. Namun, untuk menyebut semua itu secara umum, istilah Book Influencer adalah istilah yang tepat, setidaknya untuk saat ini, karena istilah Book Influencer tidak terasosiasi hanya pada satu platform saja seperti istilah-istilah sebelumnya. Maka, untuk ke depannya, ketika saya menyebut Book Influencer(s), yang saya rujuk adalah semua individu yang menampilkan persona sebagai seorang pecinta buku yang membagikan berbagai jenis konten tentang buku terlepas dari platform mana yang digunakannya.

Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash

Pada tulisan sebelum ini, saya sudah berusaha memetakan posisi seorang pembaca pada dunia literasi dilihat dari sudut pandang industri dan sudut pandang ekosistem non-industri. Di tulisan tersebut saya juga sempat menyatakan bahwa Book Influencers adalah termasuk pembaca, di mana mereka adalah jenis pembaca yang berorientasi output.

Bahasan kali ini akan sedikit lebih fokus untuk melihat posisi Book Influencer di ekosistem literasi di Indonesia saat ini untuk memproyeksikan kondisi dan peluang di beberapa tahun ke depan. Karena pada tulisan sebelumnya saya sudah memaparkan peran Book Influencer sebagai salah satu penggaung gema buku dengan cara mendiskusikannya, maka terlebih dahulu saya akan melihat status quo festival-festival literasi di Indonesia saat ini sebagai perwakilan forum atau wadah berdiskusi.

Status Quo

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak sekali acara festival literasi dari mulai tingkat regional hingga internasional. Setelah melakukan riset ringan dengan memantau akun sosial media dan situs resmi beberapa festival literasi ternama di Indonesia, saya melihat ada kesamaan di antara festival-festival literasi tersebut dan hal itu cukup mengganggu pikiran saya: ketiadaan, atau minimnya, pembaca yang diikutsertakan dalam rangkaian acara selain sebagai penonton (audience) atau peserta festival. Bahkan yang menggunakan kata ‘readers’ sekalipun seperti Ubud Writers and Readers Festival dan Bandung Readers Festival. Festival lainnya yang saya amati adalah Litbeat, Patjarmerah, Indonesia International Book Festival, Makassar International Writers Festival, dan Festival Pembaca Indonesia.

Festival Patjarmerah di Malang tahun 2019 via lontar.id

Dalam sebuah diskusi dengan tema The Young and The Bold pada tanggal 13 November yang merupakan rangkaian acara JakTent 2020, Sabda Armandio sempat menyatakan bahwa ia sangat mendukung festival-festival yang inklusif yang menyertakan pembaca dalam rangkaian acaranya, tidak hanya penulis. Pada diskusi itu Dio berkata, “kapan lagi merayakan pembaca, selama ini yang dirayakan penulis mulu.”

Saya sangat sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Dio. Selain kutipan tersebut, saya juga sepakat dengan Dio yang secara implisit menyatakan bahwa festival-festival yang tidak menyertakan pembaca secara aktif dalam rangkaian acaranya adalah festival yang bersifat eksklusif — atau kata sahabat saya, elitis. Namun, menurut pengamatan saya, yang mulai aktif menjadi Book Influencer di dunia literasi Indonesia sejak 2017, belum ada festival literasi — yang diselenggarakan bukan oleh sesama pembaca — yang benar-benar bersifat inklusif.

Festival-festival literasi yang saya sebutkan memang tidak sepenuhnya meniadakan pembaca dalam rangkaian acaranya. Berikut ini daftar pendek — sangat pendek — sesi festival literasi yang menyertakan pembaca selama dua tahun ini (2019–2020).

  1. Litbeat 2019 sesi In an Independent Book World. Pada sesi ini, terdapat 4 orang pembicara yang mana salah seorangnya bernama Aldo Zirsov, salah satu dari pendiri komunitas Goodreads Indonesia.
  2. UWRF 2020 sesi Female Powerhouse Book Club: Finding Meaning in Words. Female Powerhouse Book Club adalah bagian dari UWRF yang membicarakan tentang isu-isu perempuan dalam dunia literasi dan sosial. Pada subtema Finding Meaning in Words tersebut, yang diundang menjadi pembicara atau pemantik diskusi adalah Virania Munaf, seorang pembaca (dan adik dari Sherina Munaf sang petualang Bosscha) yang aktif membagikan buku bacaannya di Instagram Stories.
  3. Makassar International Writers Festival (MIWF) 2020 sesi Comic Talk: Maaf. Pada sesi tersebut, terdapat 4 pembicara yang mendiskusikan komik bertemakan sejarah peperangan dan bisnis rempah Indonesia-Australia. Salah satu pembicaranya adalah Hikmat Dharmawan yang merupakan seorang comic enthusiast and pemerhati budaya.
  4. Makassar International Writers Festival (MIWF) 2020 sesi Peluncuran dan Diskusi Buku: “Elang” & “Bajak Laut”. Pada sesi tersebut, seorang pembaca yang bergerak di Klub Buku Petra, Maria Pankratia, berperan sebagai moderator yang memandu jalannya diskusi tentang kedua buku tersebut.
  5. Bandung Readers Festival sesi Taaruf Buku. Sesi Taaruf Buku merupakan rangkaian acara Bandung Readers Festival yang rutin diadakan (setidaknya sepengamatan saya pada tahun 2019–2020). Sesi Taaruf Buku benar-benar dibuka khusus untuk pembaca untuk mendaftarkan dirinya dan kemudian saling bercerita tentang buku favorit masing-masing dengan dipandu oleh seorang moderator. Satu sesi tersebut full diisi oleh pembaca, tanpa ada pihak lainnya, dan saya sangat mengapresiasi langkah tersebut. Itu salah satu bentuk usaha menciptakan festival yang lebih inklusif.
flyer Festival Pembaca Indonesia tahn 2017

Satu lagi festival literasi yang lebih fokus pada pembaca adalah Festival Pembaca Indonesia yang diadakan oleh komunitas Goodreads Indonesia. Salah satu segmen khasnya adalah Tukar Buku atau Bookswap di mana para pembaca datang membawa bukunya masing-masing dan menukarkannya dengan buku yang dibawa oleh pembaca lain. Sayangnya, festival ini sudah lama hiatus karena berbagai alasan sejak acara terakhirnya tahun 2017. Saya pribadi sesungguhnya tidak sempat merasakan asiknya acara tersebut karena saya terjun ke dunia perbukuan setelah acara tersebut hiatus.

Namun, saya merasa wajar jika Festival Pembaca Indonesia berfokus ke pembaca, karena memang diadakan oleh komunitas sesama pembaca. Akibatnya, saya tidak melihat fakta tersebut sebagai suatu hal yang terlalu spesial. Akan menjadi spesial jika yang bukan pembaca membuat acara inklusif dan melibatkan pembaca secara aktif bahkan memberi porsi yang proporsional. Seperti yang saya bilang pada tulisan sebelum ini, penulis, penerbit, dan promotor memang juga adalah pembaca. Saya tidak mengatakan sebaliknya. Namun, yang saya maksud pembaca pada konteks ini adalah yang benar-benar pembaca, yang tidak berdiri pada status ganda, yang merupakan target akhir dari segi industri.

Selain dari pada kelima sesi yang saya daftarkan di atas, tidak ada sesi lainnya yang mengikutsertakan pembaca secara aktif selain sebagai audiens acara. Inilah status quo posisi pembaca di festival literasi di Indonesia. Pada bahasan status quo ini saya sengaja menampakkan realita posisi pembaca secara umum dulu di festival literasi Indonesia, walaupun pada tulisan ini saya ingin berfokus pada Book Influencers. Karena, jika pembaca secara umum saja baru mendapat sedikit sekali tempat “di atas panggung”, apalagi jika saya kerucutkan pada Book Influencers. Tentu saya tidak perlu repot-repot melakukan riset karena kita sama-sama sudah tau jawabannya.

Bercermin ke Book Influencer US dan Eropa

Keberadaan dan peran Book Influencers di Barat, khususnya Amerika Serikat, Canada, dan UK sudah jauh lebih diakui oleh pihak-pihak yang bergerak di bidang literasi. Contohnya, kita bisa dengan mudah menemukan video vlog para Booktubers Amerika dan Canada seperti Jesse (Jessethereader), Ariel Bissett (Ariel Bissett), Emma Giordano (Emmabooks) dan masih banyak lagi yang diundang setiap tahun ke event Book Expo dan BookCon di New York untuk mengisi panel, sesi diskusi, atau bahkan menjadi MC sebuah sesi. Bahkan pada BookCon 2019, ada satu panel khusus dengan tema Booktube Panel: Reading Between the Hype.

Sederet Booktubers yang diundang pada acara BookCon di New York tahun 2018 via nytimes.com

Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari fakta yang kita ketahui bersama, yaitu membaca buku adalah kegiatan yang sudah membudaya secara merata di dunia Barat sana. Terlalu naif jika saya secara mutlak membandingkannya dengan Indonesia. Saya pun paham situasi literasi di Indonesia yang masih belum merata baik dari segi budaya membaca maupun akses terhadap bacaan itu sendiri. Namun, situasi yang saya paparkan secara singkat di atas bisa menjadi gambaran bahwa salah satu jenis pembaca, yaitu Book Influencers sesungguhnya bisa mengisi banyak tempat di festival-festival literasi.

Proyeksi ke depan

Dalam beberapa tahun ke belakang, sejak saya memutuskan untuk menjadi seorang Booktuber dan bergabung ke komunitas Booktube Indonesia, saya melihat pertumbuhan yang sangat signifikan dari kuantitas anggota dan kualitas konten yang dihasilkan. Ini baru dari Booktube, belum lagi dari platform lainnya.

Melihat festival literasi di Indonesia dalam 2-3 tahun ini dan gambaran situasi di dunia Barat sana, saya banyak sekali menemukan peluang yang sesungguhnya bisa diisi oleh para pembaca, khususnya Book Influencer dalam konteks ini. Sub bahasan ini akan saya khususkan untuk menjadi refleksi dan himbauan kepada teman-teman sesama Book Influencers.

Salah satu ruang yang bisa kita isi pada acara festival literasi adalah sesi Book Launching seperti yang banyak sekali diadakan di IIBF virtual tahun 2020 ini. Sayang sekali, seluruh sesi peluncuran tersebut hanya mengundang satu narasumber yaitu penulis buku itu sendiri.

Seperti sesi peluncuran dan diskusi pada acara MIWF 2020, sesungguhnya sesi peluncuran buku di festival-festival lainnya juga bisa memberi tempat untuk seorang pembaca secara umum atau Book Influencer secara khusus untuk menyampaikan pembacaannya dan komentarnya terhadap buku yang akan diluncurkan. Karena, seperti yang juga saya sampaikan pada tulisan perihal definisi sastra, pembaca memiliki peran untuk menafsirkan dan memaknai buku. Bahkan pemaknaan yang muncul dari pembaca bisa saja berbeda dari yang dimaknai oleh si penulis.

Photo by Felicia Buitenwerf on Unsplash

Jenis acara lainnya yang bisa diisi oleh Book Influencers tentunya adalah bedah buku. Kita, Book Influencers, sudah terbiasa membuat ulasan buku yang kita baca. Rasanya tidak akan sulit bagi kita untuk membuat materi bedah buku karena hanya membutuhkan pembacaan yang sedikit lebih kritis. Dalam konteks ini, kita juga harus meningkatkan kualitas ulasan yang kita buat agar dianggap credible untuk membedah sebuah buku di acara festival literasi.

Pelibatan lainnya yang juga bisa dilakukan oleh penyelenggara festival adalah dengan mengajak kita menjadi MC atau moderator sesi diskusi. Terlebih lagi Booktuber, karena kita sudah biasa berbicara di depan kamera dan juga video kita biasa ditonton oleh banyak audiens, ratusan bahkan ribuan. Kemampuan berbicara tersebut sesungguhnya sangat bisa dipergunakan untuk memoderatori sesi diskusi.

Masih banyak lagi jenis sesi yang bisa melibatkan kita pada Book Influencers, tentunya selain sesi khusus untuk Book Influencers yang seharusnya juga sudah dihadirkan di festival literasi saat ini mengingat Book Influencers di Indonesia sudah tidak lagi sedikit dan kecil pengaruhnya. Belum lagi minat pembaca lainnya yang ingin menjadi Book Influencers namun masih bingung tentang banyak hal sehingga membutuhkan semacam wejangan dari yang sudah memulainya terlebih dahulu.

Dari semua peluang tersebut, tetap ada satu hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita para Book Influencers, yaitu terus mengembangkan diri dan skill kita. Skill di sini mencakup skill teknis seperti video recording, editing, properti dan lain sebagainya, juga mencakup skill non teknis seperti kemampuan mengulas dan menganalisis, kemampuan berbicara, dan kejelian melihat peluang. Peningkatan skill ini berfungsi agar value yang kita miliki semakin besar sehingga bisa menjadi nilai tawar jika kita ingin bisa menempati satu posisi di tengah acara festival literasi.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Dalam hal ini, memang ada persaingan di antara Book Influencers, namun persaingan yang sehat. Beberapa tahun ke depan, jika penyelenggara festival ingin mengundang seorang Book Influencers untuk mengisi acaranya, tentu mereka akan memilih yang dirasa paling ‘pantas’ dan paling credible. Status ‘pantas’ dan ‘credible’ ini lah yang kita kejar dalam beberapa waktu ke depan ini, agar nanti jika waktunya datang, kita sudah siap untuk ‘bersaing’.

Kesimpulan

Book Influencers yang merupakan pembaca adalah bagian penting dari ekosistem literasi. Sebagai orang-orang yang menghidupkan karya dengan terus membicarakannya, sudah seharusnya dihargai keberadaannya dengan mengikut-sertakan mereka dalam festival literasi.

Festival literasi di Indonesia masih sangat eksklusif — jika tidak diskriminatif — karena jarang sekali menyertakan pembaca secara aktif dan terlalu fokus merayakan penulis dan pihak penerbitan. Namun, ada harapan untuk tahun-tahun ke depan karena beberapa sesi festival literasi di tahun 2019 dan 2020 sudah mengikut-sertakan pembaca. Sehingga kita bisa optimis tentang hal ini. Saya sangat berhadap melihat wajah-wajah Book Influencers, baik itu orang-orang yang sudah saya kenal maupun yang belum, pada poster-poster acara festival literasi di tahun-tahun ke depan. Kita harus sama-sama berjuang untuk itu.

Karena adanya harapan untuk tahun-tahun ke depan, sudah saatnya para Book Influencers lebih gencar lagi meningkatkan value yang mereka miliki agar bisa dilirik oleh penyelenggara festival ketika mereka ingin menyertakan Book Influencers ke dalam rangkaian acara. Peningkatan value bisa dilakukan dengan cara terus eksplorasi konten dan eksplorasi diri, memperkuat karakter diri sehingga memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh oran lain, juga tentunya dengan meningkatkan skill yang kita miliki dengan cara konsisten memproduksi konten.

*Esai ini disampaikan pada webinar Booktube Indonesia X Booktube Malaysia pada 22 November 2020 dengan tema “Komunitas Booktube sebagai Cabang dari Industri Buku”

--

--

Haris Quds
Literatalk

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.