Sastra: Antara Pembacaan dan Keterbacaan

Menggugat otoritas tunggal pemaknaan sastra

Haris Quds
Literatalk
4 min readOct 18, 2020

--

Photo by Christian Lue on Unsplash

Saban hari saya membaca sebuah cuitan seorang penulis yang cukup menggelitik laklakan saya dan membuat saya ingin segera melakukan yoga agar tidak emosi. Cuitan tersebut berbunyi, “Nulis manis nan puitis memang enak dibaca. Tapi kalau artinya nggak jelas buat apa? Coba cek dulu deh twit puitis yang kamu like atau retweet. Udah paham artinya belum? Atau memang nggak bisa dipahami karena kalimatnya ngawur.”

Sekilas, cuitan tersebut sangat unyu dan tidak harmful. Namun, ada sifat otoritatif seorang penulis tersirat dalam cuitan tersebut. Pertanyaan “udah paham artinya belum?” menyiratkan penunggalan makna sebuah sastra (dalam kasus ini, puisi, atau cuitan puitis). Dalam pemaknaan sebuah karya sastra, kata “paham” tidaklah relevan karena kata tersebut lekat dengan tuntutan penyamaan persepsi.

Photo by 🇨🇭 Claudio Schwarz | @purzlbaum on Unsplash

Kata paham seringkali digunakan dalam konteks penyeragaman isi pikiran. Contohnya, seorang guru bertanya pada muridnya setelah menjelaskan sebuah materi, “bisa dipahami nggak apa yang saya sampaikan?” Jika seseorang paham dengan apa yang lawan bicaranya sampaikan, maka ada transfer ide di sana di mana ide yang ada di kepala pengirim akan sama dengan ide yang ada di kepala penerima. Namun hal ini tidak bisa berlaku untuk sastra.

Keterbacaan Vs. Pembacaan

Sastra tidak mengenal pemaknaan tunggal. Multitafsir adalah salah satu sifat dasar sastra. Sifat multitafsir ini merupakan konsekuensi dari penggunaan piranti sastra. (Untuk membaca lebih lanjut tentang hal tersebut, anda bisa baca tulisan ini: Apa itu Sastra?)

Penulis boleh saja memiliki ide tertentu yang dituangkan dan disusupkan dalam tulisannya, namun penulis tidak berhak membatasi pembaca untuk menciptakan pemaknaan atau pembacaan lain dari tulisan tersebut. Prinsip “kematian penulis” yang dikemukakan Barthes melarang penulis untuk protes terhadap apapun makna yang diperoleh oleh seorang pembaca dari tulisannya. Pemaknaan diserahkan secara total pada pembaca. Banyak faktor yang akan mempengaruhi pemaknaan oleh pembaca, misalnya pengalaman hidupnya, kondisi psikologisnya, pemikiran-pemikiran yang ia peroleh, dan masih banyak lagi.

Photo by Aaron Burden on Unsplash

Apakah pembaca mungkin memaknai sebuah tulisan sama dengan pemaknaan yang diinginkan penulis? Tentu saja mungkin. Irsyadullah (2020) menyatakan bahwa teks adalah medan pertempuan antara penulis dan pembaca. Dalam artian bahwa kedua belah pihak tersebut bertemput untuk memberi makna terhadap sebuah teks. Menurut Maman S Mahayana, melepaskan secara total teks dari penulisnya sama seperti melepas teks dari konteks, yang mana merupakan tindakan yang tidak bijak.

Maka, pembaca karya sastra mungkin saja menangkap apa yang diinginkan oleh penulis. Bisa jadi karena keterbacaan pesan yang ingin penulis sampaikan melalui teks itu sendiri yang cukup jelas. Tetapi pemaknaan tersebut tidak menjadi lebih baik dibandingkan pemaknaan lainnya. Dalam pemaknaan karya sastra, tidak ada pemaknaan yang benar dan pemaknaan yang salah, atau pemaknaan yang lebih baik dari yang lainnya. Karena pemaknaan bergantung pada bagaimana pembaca mempersepsikan apa yang dibacanya, maka sifatnya sangat subjektif dan tidak bisa didevalidasi.

Cuitan Puitis dan Subjektivitas Retweet

Mari kita kesampingkan dulu perdebatan apakan twit (cuitan) puitis tergolong puisi — karya sastra — atau tidak. Untuk konteks ini, mari kita anggap saja twit puitis merupakan karya sastra, karena label ‘puitis’ itu sendiri (makan tuh label). Tentang hal ini, saya sangat terganggu dengan cuitan seorang penulis yang saya kutip di awal tulisan ini. Alasannya:

Pengguna twitter berhak memaknai sebuah cuitan puitis yang ia baca. Seseorang mungkin saja memiliki pesan yang ingin disampaikan melalui cuitan puitisnya, entah itu pesan kode pada mantan, atau pesan kekesalan pada driver ojol. Namun, sebagaimana penjabaran di atas, pembaca juga berhak memaknai cuitan tersebut dengan caranya sendiri.

Tindakan retweet adalah pilihan personal seseorang. Sebagaimana pilihan-pilihan hidup lainnya, tindakan retweet adalah satu tindakan yang sifatnya personal. Tindakan retweet juga adalah salah satu bukti bahwa si pengguna akun sudah melakukan proses pemaknaan di dalam pikirannya. Seseorang bisa saja me-retweet sebuah cuitan puitis karena makna yang ia tangkap ternyata dekat (relate) dengan dirinya. Ia mungkin tersentuh ketika membaca tulisan tersebut. Tidak ada siapapun yang berhak menggugat keputusan orang tersebut dengan pertanyaan yang sifatnya mendiskreditkan pemaknaan pribadinya seperti, “udah paham artinya belum?”

Photo by Markus Winkler on Unsplash

Penulis yang menyinyiri pembacaan seorang pembaca adalah penulis yang harus kembali pada mesin tiknya. Nampaknya cukup banyak waktu yang ia miliki sampai-sampai ia rela menghabiskannya dengan menyinyiri pilihan orang lain untuk me-retweet hal-hal yang ingin mereka retweet. Alangkah baiknya jika waktu luang yang dimiliki tersebut dicurahkan untuk kembali ke mesin tik, laptop, atau buku catatan lusuhnya dan kembali memproduksi tulisan-tulisan ciamik lainnya agar pembaca tidak kehabisan bahan bacaan yang mereka maknai.

“Tehee!~”

-Ralph Waldo Emerson

*Tulisan ini adalah salinan tulisan saya yang diterbitkan di bookishindonesia.com

--

--

Haris Quds
Literatalk

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.