Serigala Berbulu Domba dalam Industri Literasi*

Penyalahgunaan Prinsip Copyleft demi Keuntungan Pribadi

Haris Quds
Literatalk
9 min readSep 25, 2020

--

“Ketika mereka ‘membebaskan’ kelas bawah dari jurang ‘keterpurukan intelektual’ dengan cara mendistribusikan buku bajakan, di saat yang bersamaan mereka menjatuhkan semua pihak yang sudah berjuang keras untuk terciptanya buku tersebut ke jurang kerugian.”

Book piracy is a theft

Dalam dunia seni, tidak terkhusus pada literasi saja, isu pembajakan adalah isu yang masih kita perangi bersama dari dulu hingga sekarang. Para pembajak ini sama pintarnya dan sama inovatifnya dengan para pelaku industri itu sendiri, sehingga mereka akan selalu menemukan cara untuk melakukan pembajakan dan membuat kerjanya diminati banyak orang.

Salah satu cara yang sering sekali saya temukan adalah dengan berlindung di balik ideologi-ideologi kiri seperti Libertarian, Anarko, anti-Kapitalisme, dan lain sebagainya. Saya tidak akan menjelaskan masing-masing ideologi tersebut, anda bisa mencarinya dengan mudah di internet saat ini juga.

Argumen yang mereka keluarkan sering kali manipulatif dan jika tidak ditilik dengan hati-hati, bisa saja menggoyahkan prinsip yang sudah anda pegang. Saya ingin sedikit membedah argumen-argumen yang biasanya keluar dari para pembajak dan pengedar bajakan ini, tanpa harus secara khusus menyebutkan argumen mana dari ideologi yang mana. Pada tulisan ini saya hanya akan membedah argumen yang sering saya dengar beredar di dunia literasi saja karena di bidang itulah saya beraktivitas sekarang. Namun sebelum itu, izinkan saya sedikit membahas tentang copyright dan copyleft untuk memperjelas perkara hak cipta ini.

Copyright Vs. Copyleft

Istilah copyright yang disimbolkan dengan huruf C di dalam lingkaran (©) pastinya sudah sangat familiar oleh kita, tidak hanya sebagai pembaca buku, namun juga penikmat karya seni lainnya seperti film, foto, video, atau produk teknologi. Copyright atau hak cipta sederhananya adalah perlindungan yang diberikan pada pencipta terhadap karyanya agar tidak diperbanyak, memodifikasi dan diperjual-belikan oleh pihak lain tanpa seizinnya.

Copyright tidak serta merta menjadi komersialisasi karena yang diatur adalah tentang izin memperbanyak. Jadi, jika ada suatu karya yang dijual di pasaran dan memiliki copyright, si pemilik bisa saja memberi hak untuk memperbanyak karyanya pada satu individu tertentu tanpa menuntut pembayaran royalty padanya (meskipun hal ini jarang sekali terjadi).

Di Indonesia, dalam Undang-undang no.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, pada Pasal 1 Ayat 1 dinyatakan bahwa “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Artinya, hak cipta sebuah karya tidak harus didaftarkan sebagaimana hak paten, alih-alih bersifat deklaratif dari si pencipta karya, tanpa mengurangi perlindungan yang diberikan terhadap karya tersebut.

Hati-hati! Buku digital (pdf) yang beredar bebas di internet bisa jadi adalah bajakan!

Copyleft, seperti penggunaan oposisi biner pada istilahnya, adalah kebalikan dari copyright (sebagaimana simbolnya pun merupakan simbol copyright dengan huruf C terbalik: ). Jika copyright menuntut persetujuan pemilik hak cipta sebelum menduplikasi, memodifikasi, dan mendistribusikan karyanya, copyleft membebaskan audiens untuk melakukan semua hal itu tanpa perlu persetujuan pekarya (pemilik hak cipta). Namun, kondisi yang membatasinya adalah, semua karya turunan dari sebuah karya copyleft harus memiliki status kebebasan yang sama. Artinya, jika saya memodifikasi sebuah tulisan yang bersifat copyleft menjadi sebuah tulisan baru, saya tidak boleh mengenakan stempel copyright pada karya tersebut.

Ini yang membedakan copyleft dengan public domain, karena public domain tidak menuntut karya turunannya menjadi anti-copyright. Contohnya, jika ada sebuah penerbit menerjemahkan sebuah novel yang berstatus public domain, penerbit tersebut berhak mengkomersilkan dan memberi stempel copyright pada novel terjemahan tersebut.

Namun, sebagaimana copyright tidak serta merta berarti komersialisasi, copyleft juga tidak serta merta berarti penggratisan karya. Karya berstatus copyleft bisa saja diperoleh dengan membelinya terlebih dahulu baru kemudian boleh dimodifikasi, diperbanyak, dan diedarkan kembali tetap dalam status copyleft. Sederhananya, semangat copyleft adalah memberikan kebebasan terhadap audiens.

Membantah Argumen Kekirian para Pembajak Buku

Banyak pembajak atau pengedar buku bajakan yang melandaskan aktivitasnya pada konsep copyleft — atau anti-copiright — padahal tidak benar-benar memahami konsep tersebut. Karya yang berstatus copyright tidak bisa dialihkan menjadi copyleft kecuali oleh pemilik hak ciptanya sendiri.

Maka, pelaku pembajakan yang mengatakan tindakannya dilakukan karena ingin memberi kebebasan pada pembaca dan ingin memperlancar akses informasi (information flow), atau melawan hak cipta karena dianggap membatasi kreatifitas, menciptakan kelangkaan semu (artificial scarcity), dan melanggar freedom of speech, sebenarnya hanyalah sekumpulan orang-orang egois yang tidak menghargai prinsip yang dipegang oleh penulisnya untuk menjadikan karyanya sebagai karya berhak cipta.

Sekarang, mari kita bedah dan sekaligus bantah argumen-argumen yang biasanya merupakan pengejawantahan konsep anti-copyright yang keliru:

“Ide tidak seharusnya dikomersialisasikan/dibatasi hak cipta!”

Well, benar adanya. Ide, jika masih berada di ranah ide, alias di pikiran, tidak layak dan bahkan tidak bisa dikomersialisasikan dan diberi stempel copyright. Bagaimana anda mau mematenkan sebuah ide, sebuah pikiran, yang bentuknya abstrak dan bahkan bisa berubah? Dalam kasus hak cipta sebuah buku, yang didaftarkan sebagai hak cipta bukanlah idenya, namun bukti fisik dari penuangan ide tersebut, yaitu buku itu sendiri. Oleh karena itu salah satu poin yang tertera pada udang-udang hak cipta adalah tentang fair use atau ‘penggunaan yang wajar’, yaitu banyaknya porsi dari konten karya yang bisa anda unggah atau perbanyak sebelum anda disebut sebagai pembajak.

Argumen di atas sangat menjebak karena membuat kita berpikir tentang betapa kejamnya jika ide dalam pikiran saja dikomersialisasikan dan dibatasi oleh hak cipta. Situasi ini menjadi seperti di novel-novel dystopia di mana pihak yang memiliki otoritas sudah mengawasi kita hingga tahap pemikiran. Namun, sekali lagi, yang sesungguhnya dibatasi oleh undang-undang hak cipta adalah hasil tuangan dari pemikiran tersebut, yaitu buku, bukan idenya. Meskipun begitu, karena buku tersebut sudah terdaftar hak ciptanya, maka ide di dalam buku tersebut secara otomatis langsung melekat pada penulisnya. Dan untuk menyatakan kembali ide tersebut dalam sebuah tulisan turunan harus menyertakannya dalam sebuah kutipan, atau anda akan disebut sebagai plagiat.

Screenshot dari video Tom Nicholas “Should We Abolish Copyright?”

Jika memang memperjuangkan penyebarluasan ide tanpa pembatasan copyright, maka sebarluaskanlah tulisan-tulisan yang status awalnya memang copyleft, buat sendiri tulisan turunan baik dari karya copyright maupun copyleft dalam bentuk bahasan, ulasan, pengembangan argumentasi, pengembangan teori, dan lain-lain, lalu sebarluaskan dengan status copyleft.

“Harga buku tidak terjangkau, itu mendukung kapitalisme tetap berdiri tegak, namun menjauhkan akses rakyat menengah ke bawah terhadap buku-buku.”

Sebelum membahas akses, mari definisikan bersama-sama frasa “tidak terjangkau” tersebut. Frasa tersebut adalah frasa yang standarnya tidak jelas. Sama seperti pertanyaan “how much is too much?”, pertanyaan “seberapa rendah harga yang dibilang terjangkau?” juga membingungkan untuk dijawab. Setiap orang memiliki jawabannya masing-masing sesuai standarnya masing-masing pula.

Memang, menjadi orang yang bisa membeli buku tanpa berpikir panjang adalah sebuah previlese, karena artinya kebutuhan primernya sudah terpenuhi terlabih dahulu. Ikram (2020) dalam tulisannya juga menyatakan bahwa membeli buku merupakan sebuah previlese, bukan skala prioritas, apalagi jika pembanding prioritasnya adalah komponen kebutuhan primer seperti pangan dan sandang.

Namun, jika ada seorang remaja yang menabung selama sebulan dengan menyisihkan uang jajan per harinya selama sebulan ‘hanya’ untuk membeli satu buku, apakah itu menjadikan buku tersebut tidak terjangkau? Belum tentu juga. Ia bisa menjangkaunya, meskipun dengan usaha lebih. apakah remaja tersebut merasa buku yang dibelinya tidak terjangkau? Sekali lagi, frasa “tidak terjangkau” ini tidak jelas standarnya apa.

ilustrasi ‘hero turned bad’ dari film Kick Ass 2

Sekarang, bicara akses. Untuk mengatakan “akses buku hanya terbatas pada membeli buku” adalah tindakan penyempitan makna terhadap kata ‘akses’ itu sendiri. Memurahkan — atau bahkan menggratiskan — buku tidak otomatis memperluas akses masyarakat terhadap buku, dan sebaliknya.

Bicara akses adalah bicara ketersediaan, baik ketersediaan objek buku itu sendiri maupun ketersediaan faktor penunjangnya seperti waktu membaca, tempat membaca, dan lain-lain. Percuma harga buku murah — atau bahkan gratis — jika buku tersebut tidak bisa ditemukan keberadaannya dengan mudah seperti yang dialami teman-teman kita di daerah, atau orang yang ditargetkan tidak memiliki waktu untuk membaca buku seperti pekerja di perkotaan yang memiliki jadwal yang padat.

Perihal kapitalisme, jika pembajak buku ini memang anti-kapitalis, seharusnya mereka otomatis pro-buruh. Maka, seharusnya lagi, mereka sadar bahwa ada banyak buruh di dalam industri penerbitan yang dirugikan akibat tindakan pembajakan yang mereka lakukan. Jadi, apakah mereka benar-benar anti kapitalis atau hanya berlindung di balik argumen kekirian?

Jika benar-benar ingin memperjuangkan akses, membajak buku dan menyebarkannya dengan gratis bukanlah tindakan yang tepat dan solutif karena hal itu sangatlah naif. Yang harusnya dilakukan adalah berfokus pada perluasan akses itu sendiri dengan cara membuka banyak taman baca masyarakat atau perpustakaan kecil di daerah-daerah yang memiliki kesulitan akses terhadap buku bacaan, menghubungi penulis dan/atau penerbit untuk meminta izin produksi audiobook untuk teman-teman disabilitas dan yang tidak punya waktu membaca, membuat tulisan-tulisan baru yang sengaja dibuat copyleft dan sebar-luaskan secara masif, atau gencar mengedukasi tentang akses buku-buku murah atau gratis namun tetap legal seperti public domain atau perpustakaan digital.

“Buku import harganya sangat mahal, makanya saya fotokopi dan jual murah agar orang Indonesia bisa membaca buku import dengan harga murah.”

Ini adalah pembelaan yang saya dapatkan sendiri ketika saya menegur penjual buku bajakan di Instagram dan ini jelas-jelas bullshit alias omong kosong tai kucing! Ini hanyalah pembelaan receh dari pedagang buku bajakan yang ingin terlihat sebagai pahlawan di dunia literasi padahal ia sendiri adalah penjahat yang sebenarnya. Argumen senada dengan ini tidak dilandasi oleh ideologi apapun, atau kalaupun mau mengelompokkan, ini hanyalah argumen seorang kapitalis yang menyamar sebagai sosialis. Ia hanya memperkaya diri sendiri namun merugikan banyak pihak di saat bersamaan, termasuk merugikan pembaca yang membeli buku darinya.

Apa yang Mereka Peroleh?

Meskipun ada kapitalis licik yang bersembunyi di balik ideologi-ideologi kiri tersebut yang menjual buku bajakan dengan dalih heroik, banyak juga kelompok atau individu yang memang memegang ideologi-ideologi di atas namun tetap merugikan dunia literasi.

Sindikat-sindikat atau individu-individu ini tidak mendistribusikan buku bajakan untuk dikomersialisasi. Mereka tidak mengejar uang. Mereka benar-benar berpikiran menjadi pahlawan dengan menyerbaluaskan ide dan ilmu pengetahuan secara gratis pada kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Lalu, jika tidak uang, apa yang mereka peroleh? Saya berasumsi yang mereka dapatkan adalah status sosial, dicap sebagai kelompok/individu pembela hak rakyat jelata, pembebas, pejuang kebebasan. Padahal yang mereka perjuangkan hanyalah kebebasan semu. Ketika mereka “membebaskan” kelas bawah dari jurang “keterpurukan intelektual” dengan cara mendistribusikan buku bajakan, di saat yang bersamaan mereka menjatuhkan semua pihak yang sudah berjuang keras untuk terciptanya buku tersebut ke jurang kerugian — jika tidak kebangkrutan.

Fakta bahwa tindakan yang mereka lakukan merugikan sebagian kelompok (pihak produsen buku) dalam membantu kelompok lainnya (masyarakat kelas bawah) secara otomatis mematahkan visi heroik mereka. Sudahlah tidak mendapatkan keuntungan materil, tidak pula mendapatkan keuntungan secara moril.

Jadi, apa yang sesungguhnya kalian peroleh, wahai pembajak? Apa yang sesungguhnya kalian perjuangkan?

Kesimpulan

Sesungguhnya, konsep copyleft tidaklah buruk dan sah-sah saja secara filosofi. Konsep ini banyak dipegang oleh pelaku-pelaku seni di skena underground. Konsep ini juga identik dengan komunitas Punk (tidak terbatas pada definisi genre musik) yang memang berakar dari pemikiran anarko. Anak-anak Punk biasanya mendistribusikan karya mereka — album musik, zine, buku, DIY merch — dengan konsep copyleft. Banyak juga penulis yang memegang ideologi anarko menulis buku, menerbitkannya secara independen, dan kemudian memberi status copyleft. Hal ini sepenuhnya sah dan tidak melanggar hak siapapun sama sekali karena memang diputuskan oleh si pencipta karyanya langsung.

Penerapan konsep copyleft menjadi keliru, jika tidak sekalian ngaco, ketika mengalih-statuskan karya yang tadinya berstatus copyright menjadi copyleft secara sepihak tanpa persetujuan dari pekarya aslinya. Otoritas stempel copyright/copyleft hanya berada pada pencipta karya, bukan pada audiens — dalam kasus dunia literasi, pembaca. Seberapapun heroiknya argumen yang muncul terkait perluasan akses, melancarkan alur informasi, atau yang sejenisnya, jika keluar dari mulut seorang user atau audiens, bukan dari mulut pekaryanya langsung, maka argumen tersebut tidaklah valid dan patut dilawan karena aktivitas yang dilandaskan pada argumen tersebut akan menjadi aktivitas pembajakan buku, baik itu buku fisik maupun digital.

Kelompok pembajak buku yang melandaskan tindakannya pada ideologi tertentu seharusnya memahami kerugian yang muncul akibat tindakannya. Mereka, meskipun tidak menerima adanya otoritas dan privatisasi, harusnya bisa bernegosiasi secara ideologi untuk menerima fakta bahwa tidak semua orang menganut ideologi yang sama dan dia tidak bisa merubah produk yang dilandaskan pada suatu ideologi untuk mengikuti landasan ideologi mereka.

Tidak ada yang salah dengan menjadi kelompok pembebas, namun lakukanlah dengan benar tanpa harus merugikan siapapun. Pergerakan memperluas akses bacaan bisa dilakukan tanpa harus bertentangan dengan dan menjatuhkan pelaku industri literasi. Dua hal itu bisa dilakukan secara bersamaan dan sejalan, hanya saja membutuhkan usaha aktivisme yang jalannya tidak selalu mulus. Jika menyatakan diri sebagai pembebas namun tidak ingin melakukan usaha-usaha di atas, sesunggunya mereka hanyalah pengecut pemalas yang egois namun sok heroik.

*materi ini disampaikan pada “Live Bookish Discussion: Tentang Buku Bajakan” pada kanal Youtube Booktainment (Sabtu, 26 September 2020, 13:30 WIB).

--

--

Haris Quds
Literatalk

A culture enthusiast and a book reviewer. Studied American Studies on University of Indonesia.