Anakmu Bukan Tameng Demonstrasimu

Sheila Rahmi Juwita
Literation Not Bombs
3 min readApr 5, 2017

Sebelum menulis, saya ingin memulai dengan beberapa poin penting:

  • Tulisan ini tak bermaksud anti demonstrasi karena saya justru sering berdemo;
  • Berdemo tidak sama dengan menghujat.
Seorang anak yang dibawa orang tua mengikuti aksi 313, tampak pada pakaiannya ditempel kertas bertuliskan “313 Kami Kebal Peluru” (foto: http://laskarsyahadat.blogspot.co.id)

Anak-anak ikut demonstrasi bukan lagi hal yang baru. Dalam aksi demo yang berbalut aksi damai, biasanya banyak orang tua yang membawa anak mereka untuk ikut berdemo. Alasanya macam-macam, ada yang ingin mengajarkan demokrasi sejak dini untuk anak mereka. Ada pula yang secara polos mengaku tidak ada yang menjaga para anak mereka di rumah.

Menurut saya, usia mereka yang sangat belia belum mampu menyerap apa yang sebenarnya terjadi saat demo berlangsung, serta apa yang sebenarnya ingin disampaikan melalui demo tersebut. Selain itu, membawa anak kecil saat berdemo merupakan hal yang berbahaya.

Kenapa berbahaya?

Yang namanya demonstrasi, tentu merupakan situasi yang tidak menentu, meskipun janjinya demo tersebut akan damai, tapi tidak menutup kemungkinan kalau demo tersebut juga akan berakhir ricuh, bukan?

Selain itu seringkali aksi demonstrasi dirancukan dengan aksi menghujat. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Demonstrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: suatu gerakan menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan secara massal dan memiliki potensi penekanan secara politis.

Dalam gerakan sosial, aksi massa/demonstrasi merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu agar menjadi perhatian publik. Biasanya unjuk rasa bertujuan untuk menekan pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu, menunda ataupun menolak kebijakan yang akan diterapkan. Aksi unjuk rasa atau demonstrasi menjadi pertanda bahwa masih ada aspirasi masyarakat yang tidak tersampaikan.

Salah satu foto anak-anak yang ikut aksi 313, foto ini menjadi viral di sosial media (foto: detik.com)

Sedangkan menghujat masih merujuk pada KBBI, bermakna mencela atau mencaci, menghina (merendahkan) orang lain di depan manusia atau di depan umum. Terlihat sangat berbeda bukan?

Pilihan untuk berunjuk rasa adalah wajar. Akan menjadi tidak wajar ketika aksi unjuk rasa hanya berisikan hujatan tanpa poin tuntutan yang jelas; apalagi sampai menggunakan anak kecil sebagai tameng menyuarakan hujatan tersebut dengan dalih ‘mengajarkan demokrasi pada anak.’

Sebenarnya banyak cara yang lebih baik untuk memberikan kesempatan terhadap anak yang ingin menyalurkan aspirasi dan pendapatnya. Di dalam rumah kita misalnya, sudahkah kita memberikan ruang yang luas bagi anak-anak kita untuk memberikan pendapatnya bagi setiap keputusan keluarga yang diambil?

Mendengarkan anak dengan sepenuh hati tentang kegiatan-kegiatan mereka hari ini, mendengarkan mereka bercerita dan mendengarkan ide dan keinginan mereka?

Atau apakah di dalam kelas, di sekolah, guru-guru sudah mau mendengarkan keinginan anak, keluhan anak, pendapat anak akan mata pelajaran yang sedang dia pelajari?

(foto: http://laskarsyahadat.blogspot.co.id)

Masih banyak sekali kasus anak-anak di Indonesia terutama di sekolah-sekolah hanya menjadi obyek untuk mengajar dan jarang orang tua atau guru yang benar-benar punya wawasan demokrasi yang luas untuk benar-benar mau ‘mendengarkan’ suara anak. Ini malah anak dibawa berdemonstrasi.

Demokrasi sesungguhnya diawali dari rumah kita sendiri, bukan begitu?

Sheila R.J

--

--

Sheila Rahmi Juwita
Literation Not Bombs

Undergraduate Student of Departement of Criminology Majoring in Transnational Crime Faculty of Social and Political Sciences University of Indonesia.