Crystal of Knowledge: Perpustakaan UI Milik Siapa?

Sheila Rahmi Juwita
Literation Not Bombs
7 min readFeb 13, 2017

Perkenalkan, nama gue Sheila. Mahasiswi Kriminologi UI 2014. Gue hanyalah mahasiswi biasa. Kali ini gue ingin curhat. Menyuarakan aspirasi gue mengenai perpustkaan UI. Dan karena ini namanya curhat, itu artinya sebagian besar bersifat subjektif. Pemaknaan keseluruhan isi tulisan ini gue serahkan kepada para pembaca.

Meskipun biasa aja, gue sangat peduli dengan kampus makara bernama Universitas Indonesia ini. Kampus yang dulunya menyandang predikat sebagai Kampus Rakyat namun semakin hari predikat tersebut terkisis oleh semakin mahalnya biaya kuliahdan membuat kampus ini semakin sulit dijangkau oleh anak-anak buruh, anak petani, anak kalangan marjinal.

Pada akhirnya anak-anak kelas menengah-atas lah yang mampu mengakses kesempatan berkuliah di kampus megah yang menjadi prototype kebijakan eko-sos-pol-bud di Indonesia ini. Gue juga dari kalangan menengah kok. Tapi kalau boleh jujur, gue sampai detik ini berkuliah di UI selalu dengan perasaan bersalah karena masih banyak kalangan usia produktif seumuran gue di luar sana, yang tidak berkesempatan merasakan bangku kuliah layaknya apa yang gue rasakan hari ini.

Sedikit bercerita ya.. Gue termasuk mahasiswa abadi di UI. Abadi cintanya hehehe

Saking cintanya sama UI, gue memilih berkuliah di UI sebanyak dua kali. Saat itu tahun 2008 gue memutuskan mengambil D3 (sekarang disebut Vokasi) Fisioterapi UI yang strukturnya berada di bawah Fakultas Kedokteran di Salemba dan Cikini.

Alhamdulillah lulus dengan baik. Kemudian di tahun 2014 gue memutuskan untuk mengambil S1 Kriminologi UI. Alhamdulillah kuliahnya masih berjalan hingga detik ini. UI menjadi pilihan utama gue karena ya gue cinta aja.

Cinta gak membutuhkan alasan, bukan? Karena cinta itulah, saat sesuatu yang kurang baik terjadi pada UI, gue gak akan diam. Gue akan berupaya untuk memperbaikinya semampu gue melalui kritikan konstruktif dan tindakan sekecil apapun.

UI yang dulu dengan UI yang sekarang sudah banyak berubah. Perubahan yang sebenarnya menyakitkan hati. UI yang sekarang tidak lagi bersahaja apa adanya namun dibungkus oleh kemegahan gedung-gedung yang menjulang tinggi dengan berbagai fasilitas, yang bagi gue pribadi, gak terlalu dibutuhkan.

ilustrasi

Sebut saja salah satunya Perpustakaan Pusat (Perpusat) UI yang sekarang bergelar ‘Crystal of Knowledge’. Bukan perpustakaannya yang gue kritik, tapi keberadaan berbagai fasilitas di sekitarnya — juga — budaya mahasiswanya.

Perpustakaan tentu saja menjadi objek vital bagi mahasiswa, atau setidaknya bagi sebagian (kecil) mahasiswa UI. Dulu, gue ingat sekali ketika fasilitas perpustakaan serba terbatas, mulai dari tempat penyimpanan tas (loker), meja untuk membaca, hingga komputer harus berlomba dengan pengunjung lainnya, siapa cepat dia dapat.

Dulu, perpustakaan UI selalu identik dengan kumpulan buku tua, kusam, sepi, beraroma tidak sedap, dan bahkan acapkali dianggap sebagai sumber penyakit. Kalau mau sakit, datang saja ke perpustakaan. Bahkan ada seorang kawan yang guyon “setan saja takut kok kalau harus ke perpustakaan sendirian.”

Sekarang, ketika berkunjung ke Perpustakaan UI yang dijuluki “Crystal of Knowledge’’ ini, keadaan dan pemandangannya sudah sangat berbeda.

Ia laksana kristal, terlihat mahal, megah, mewah, kokoh, bercahaya, dan tidak mudah hancur.

Mengingat istilah yang dipakai adalah kristal, mau tidak mau ingatan akan terhampir pada sebuah barang hiasan. Mengingatkan akan kristal pajangan seperti yang ada di rumah-rumah Pondok Indah atau Menteng yang harganya selangit.

Kristal pajangan ini akan diletakkan di tempat yang mudah terlihat, sebuah lemari mahal dan terkunci rapat. Boleh dilihat tapi jangan disentuh. Barang ini pada akhirnya menjadi simbol dari kemapanan dan kekuasaan yang mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa UI sudah gak bisa lagi dijuluki sebagai Kampus Rakyat.

Perpustakaan megah yang dibangun pada tahun 2011 ini membutuhkan dana sekitar 100M yang berasal dari pemerintah dan industri. Pihak Rektorat UI seperti yang dikutip oleh harian Kompas (2009) menyebutkan bahwa perpustakaan ini merupakan yang termodern, terbesar dan terindah di dunia di areal seluas 2,5 hektar serta akan terdiri dari 8 lantai.

Setelah membaca artikel tersebut, gue berpendapat sepertinya UI hanya mengejar prestise sebagai World Class University Library (WCUL) dibandingkan dengan sisi fungsional dan kegunaan perpustakaan. Dengan beraninya UI menggelontorkan dana sebesar 100 Milyar untuk menarik perhatian dunia.

Dan yang bikin gue geleng-geleng kepala, di dalam perpustakaan tersebut dibangun Cineplex dan fitness centre yang gak termasuk bagian dari penilaian WCUL.

Padahal kalau gue perhatikan, masih banyak fasilitas-fasilitas lain di UI yang harus sangat perlu diperbaiki. Mulai dari keadaan gedung-gedung lama di setiap Fakultas yang katanya masuk ke dalam lingkungan World Class University.

Misalnya gedung-gedung dan toilet di FISIP kondisinya bikin miris (Gedung C belum dibangun hingga kini. Pintu toilet di beberapa gedung pun rusak dan ember masih digunakan sebagai tempat penampungan air). Ruangan yang disediakan untuk Himpunan Mahasiswa pun gak diperhatikan.

Dalam konteks Kriminologi misalnya, Himpunan Mahasiswanya bahkan gak memiliki ruangan keskretariatan sendiri untuk menopang berjalannya kegiatan. Memang sebenarnya menjadi tanggung jawab fakultas, namun seharusnya pihak Universitas juga memberikan perhatian atau fasilitas umum seperti lampu penerangan jalan yang seharusnya diberikan di tiap sisi jalan dan ditempatkan di area parkir.

Kondisi lingkungan kampus UI yang luas dan masih terdapat hutan membuat UI menjadi gak aman ketika malam hari. Diperparah dengan minimnyalampu jalan, jadilah UI rentan terhadap berbagai kejahatan dan penyimpangan.

Namun apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Perpustakaan yang mahal itu kini telah rampung dan berdiri megah di tengah Universitas Indonesia. Ya, desain eksteriornya memang tampak megah dan mewah namun gak demikian di bagian interiornya.

Hingga tulisan ini dibuat, kondisi interior Perpustakaan menyedihkan. Bayangkan saja, di Lantai 2 tempat di mana berbagai buku referensi dari berbagai zaman dan dalam berbagai bahasa tersedia, plafonnya bolong dan bocor ketika hujan turun.

Hal yang sama terjadi di ruang belajar lantai 3. Kebocoran yang terjadi pun bukan hanya setitik-dua tetes air hujan tapi tumpah ruah dengan deras hingga mesti ditampung menggunakan baskom besar bahkan tong sampah.

Iya tong sampah plastik yang warnanya abu-abu itu. Gue melihat dan mengalami sendiri, lho, guys, bro and sist.

Miris? Jelas sekali gue miris. Yang lebih miris lagi adalah ketika perpustakaan semegah dan memiliki koleksi buku selengkap ini, belum bisa meningkatkan minat baca mahasiswa nya. Minat baca lho ya. Kalau minat mengunjungi perpustakaan, menurut gue sih ada.

Tapi berkunjung untuk apa dulu? Wifi-an, pacaran, tidur, makan-makan, diskusi? Justru fasilitas pendukung perpustakaan (Indomaret, kebun apel, ruang lobby, Setarbak*, Goldjim*) yang gue lihat lebih ramai daripada ruang bukudan ruang belajar/diskusinya. Ruang buku hanya akan ramai dalam waktu-waktu tertentu misalnya saat UAS atau Skripsi-an.

Gue bisa bilang begitu karena gue sering berkunjung ke perpustakaan megah ini. Berkunjung untuk mengerjakan tugas, diskusi bersama kawan-kawan organisasi, atau sekedar membaca buku.

Bahkan saking seringnya, gue sampai hafal rak-rak buku mana untuk rumpun ilmu Sosial-Politik, Ilmu Hukum, Filsafat, Sastra. Bahkan teman-teman dekat gue sampai paham spot favorit gue di perpustakaan untuk membaca dan nugas itu dimana saja hehehehe.

Gue dijulukin ‘ambis’ sih gak apa-apa. Santai saja. Selama keambisiusan ini gak merugikan manusia, tumbuhan ataupun hewan lainnya. Daripada dijuluki ‘koruptor’, ya kan?

Gue memang setuju dengan ide-ide revolusioner bahwa perpustakaan gak hanya menjadi sarana belajar, namun juga sebagai pusat aktifitas masyarakat dan entertainment.

Tetapi kita mesti lihat lagi bagaimana kondisi ekonomi warga UI. Masih terdapat mahasiswa (meskipun hanya segelintir) yang kurang mampu dan kesejahteraan karyawan dan dosen masih belum cukup baik. Sebetulnya gak perlu dibuat perpustakaan yang terlalu mewah namun dari segi kebermanfaatannya kurang.

Andai saja gelontoran dana tersebut diberikan lebih untuk meringankan BOPB mahasiswa :D . Waw, bisa-bisa kita kuliah gratis. Sebetulnya UI bisa saja berhemat dengan cara merenovasi atau mendesign ulang perpustakaan pusat yang telah ada sebelumnya (Perpustakaan Lama) untuk menjadi perpustakaan yang sesuai dengan WCUL walau sepertinya saran ini sudah terlambat.

Sekali lagi, nasi telah menjadi bubur. Perpustakaan Crystal of Knowledge yang telah ada saat ini akan lebih baik jika dimanfaatkan sebaik mungkin demi menghapus ‘dosa-dosa’ lama.

Gue mau bilang bahwa gue, lu, kita semua sangat beruntung memiliki perpustakaan yang meskipun terkesan hedon ini namun koleksi bukunya bisa dibilang sangat lengkap. Namun sayangnya, keberuntungan itu gak digunakan dengan baik.

Buku-buku yang ada jarang dikunjungi dan dibaca. Bahkan dari banyak perbincangan dengan kawan-kawan, banyak yang gak tau bahwa perpustakaan memiliki koleksi buku-buku sejarah yang luar biasa bikin terharu.

Sejarah tentang Indonesia, tentang Soekarno, tentang Orde Baru, tentang Asia, tentang pergerakan perempuan, tentang politik dunia, dan lainnya semua ada di perpustakaan UI.

Gak hanya itu, di perpustakaan UI pun terdapat Abdurrahman Wahid Centre (AWC)/Gusdur Centre yang lokasinya berada di ujung kanan Lantai 3. Lucunya, (berdasarkan observasi gue sejak 2015) gak banyak mahasiswa yang tau mengenai keberadaan AWC ini. Sedih :’)

Padahal jika sudah berada di dalam Perpustakaan, terasa seperti berada dalam dunia penuh warna dan harta karun. Lu bisa membaca pemikiran-pemikiran berbagai filsuf yang teori-teorinya mampu memajukan dunia, lu bisa membaca pemikiran-pemikiran Gusdur, lu bisa menambah ilmu lu ketika materi perkuliahan yang lu dapat dalam kelas terlalu sedikit dan belum bisa mencerahkan.

Perpustakaan di negara-negara maju di luar sana, menjadi jantung peradaban.Setiap kota, besar ataupun kecil di sana, memiliki perpustakaan umum untuk warganya, di mana sering kita melihat orang tua membawa anak-anak mereka yang masih kecil untuk diperkenalkan sedini mungkin kepada buku.

Budaya literasi harus ditumbuhkan sejak usia dini. Bahkan daalam setiap rumah hampir dapat ditemukan perpustakaan pribadi, besar atau kecil.

Ketika lu ingin mengubah dunia, awali lah dengan menjadikan perpustakaan dan buku sebagai sumber inspirasi. Gunakanlah perpustakaan bukan hanya untuk sebagai ruang berkumpul untuk menyapa, tetapi untuk membaca, menciptakan, menyimpan, dan mendimensikan berbagai karya dan karsa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membawa Indonesia menjadi lebih baik.

Akan terdengar terlalu muluk jika gue berharap seluruh mahasiswa UI yang jumlahnya ada lebih dari 47,000 orang memiliki ketertarikan akan budaya literasi. Gue hanya berharap, koleksi buku di perpustakaan UI semakin banyak dibaca oleh semakin banyak mahasiswa.

Jangan biarkan perpustakaan UI besar hanya karena nama dan bentuknya tetapi jadilah besar karena maknanya. Ingat, karena kita adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang sangat beruntung bisa berkuliah di kampus megah ini, jangan sia-siakan kesempatan kita.

Ketika di luar sana mayoritas kaum mudanya gak bisa bersekolah layaknya kita, mengapa keberuntungan di depan hidung malah disia-siakan? Ingat, ketika Crystal of Knowledge ini dibangun, ia menggunakan uang pemerintah yang sebenarnya berasal dari uang rakyat, dari keringat dan darah rakyat. Lalu mau kita sia-siakan??

Begitulah curhat gue. Maaf agak panjang dan isu yang dibawa bukan isu seksi hehehe.

Eh tapi, memangnya ada isu-isu seksi di UI ini? Isu mengenai UKT saja mulai terlupakan. Isu mengenai penggusuran kantin MUI dan Tenda Biru saja gak begitu dihiraukan. Isu mengenai kesejahteraan karyawan dan dosen UI gak banyak yang mau tau. Hm.. apa sih isu seksi di UI?? (*)

~Shei

(kunjungi blog pribadi penulis di: https://legacyinwords.wordpress.com/)

--

--

Sheila Rahmi Juwita
Literation Not Bombs

Undergraduate Student of Departement of Criminology Majoring in Transnational Crime Faculty of Social and Political Sciences University of Indonesia.