Kesetaraan Gender adalah Tanggung Jawab Kita Bersama

Sheila Rahmi Juwita
Literation Not Bombs
4 min readMar 4, 2017
https://lifepositivejr.com/gender-mender/

Ketimpangan dan ketidakadilan relasi gender menjadi embrio lahirnya feminisme dengan konsep utama yang diusung yaitu kesetaraan gender.

Kondisi seperti apa yang dapat dikatakan tidak adil Gender?
Ketidakadilan gender terjadi ketika seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan alasan Gender.

Ketidakadilan gender bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki.

Namun, pada kebanyakan kasus, ketidakadilan gender lebih banyak terjadi pada perempuan. Itulah juga sebabnya masalah- masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah kaum perempuan, mulai dari penomorduaan (subordinasi), pelabelan negatif (sterotipe), marjinalisasi, domestifikasi yang berdampak pada beban kerja berlebih, hingga kekerasan.

Berbagai ungkapan seperti:
“Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur.”

Masih sering terlontar saat dipertanyakan apakah anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat kita lihat adanya ketidaksetaraan gender.

Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan gender merupakan sesuatu yang mengada-ada, hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda.

Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarki yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur.

Lalu bagaimana ketidakadilan gender yang dialami oleh laki-laki?

“Kamu itu laki-laki kok cengeng seperti perempuan?!”

Sadar atau tidak, sering kali kita mendengar atau mengucapkan kata-kata serupa kepada orang lain yang berperilaku “tidak semestinya” misalnya seorang laki-laki yang menangis. Yang ada di pikiran kita adalah bahwa seolah-olah air mata hanya milik perempuan dan bukan laki-laki. Sehingga ketika laki-laki menangis seolah ia akan kehilangan kelaki-lakiannya.

Laki-laki juga dituntut untuk bersifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal, laki-laki maupun perempuan adalah manusia biasa, mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki.

Saya ambil contoh lain, yaitu dalam bidang pendidikan.

Terdapat anggapan bahwa laki-laki akan menjadi penopang keluarga, pencari nafkah utama maka dia harus mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dari perempuan. Anggapan seperti ini bukan saja hanya merugikan perempuan, tetapi juga memberikan tekanan dan tuntutan yang luar biasa berat pada laki-laki.

Laki-laki dituntut harus kuat, harus pandai, harus mempunyai pekerjaan yang bagus dan sederet kata ‘harus’ lainnya, sebagai ‘konsekuensi’ dari pandangan masyarakat yang menempatkan mereka pada kedudukan lebih tinggi daripada perempuan atau ketika seorang suami malu untuk bekerja di sektor domestik karena takut dianggap bukan laki-laki sejati.

Padahal, suami yang memasak dan mengasuh anak tidak akan berubah fungsi biologisnya (baca: kodratnya) menjadi perempuan, demikian pula sebaliknya, perempuan yang mencari nafkah menjadi sopir tidak akan berubah menjadi seorang laki-laki di keesokan harinya.

Sejak kecil, konsep mengenai bagaimana laki-laki seharusnya dan bagaimana perempuan seharusnya telah dibentuk. Tidak hanya dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam kehidupan sosial kita.

Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, pernah kita jumpai kalimat demikian,

“Ibu pergi ke dapur dan ayah pergi ke ladang.”
“Budi membantu ayah mencangkul sedangkan Ina membantu ibu memasak.”

Dua kalimat tersebut terdengar wajar di telinga kita, seorang perempuan pergi ke dapur dan memasak, sedangkan laki-laki pergi ke ladang dan mencangkul.

Lalu ketika kemudian kalimat itu berubah sebaliknya,

“Ibu pergi ke ladang dan ayah pergi ke dapur”
“Budi membantu ayah memasak sedangkan Ina membantu ibu mencangkul.”

Kalimat ini akan terasa aneh, karena dalam pikiran kita, ladang dan mencangkul bukanlah milik perempuan sedangkan dapur serta memasak bukanlah bagian laki-laki. Itu hanya hal sederhana, mengenai dapur, ladang, mencangkul dan memasak yang seakan-akan sudah dimiliki oleh gender tertentu.

Sangat tidak adil, bukan? Sadarkah kita bahwa hal itu mengebiri potensi diri, baik perempuan maupun laki-laki, yang sebenarnya bisa dikembangkan dengan lebih maksimal?

Kesetaraan gender sejatinya ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya.

Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang.

Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh pabrik, supir, pengacara, guru ataupun profesi lainnya, jika kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi pada dirinya maka dia tidak dapat dikatakan telah menikmati adanya kesetaraan gender.

Dengan demikian, jelas bahwa kesetaraan gender adalah isu dan tanggung jawab bersama — perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender bukanlah sebuah ambisi kaum perempuan menyingkirkan laki-laki. Akan tetapi, sebuah cara untuk memanusiakan manusia — tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi.

Kita semua setara dalam kepantasan sebagai seorang MANUSIA. Bukan hanya membatasi diri dengan kepantasan kita sebagai seorang PEREMPUAN ataupun LAKI-LAKI.

Referensi:

Anderson, Margaret L. (1983). Thinking About Women : Sociologist and Feminist Perspectives. New York: Macmillan.

Lerner, Gerda. (1986). The Creation of Patriarchy. New York: Oxford University Press.

--

--

Sheila Rahmi Juwita
Literation Not Bombs

Undergraduate Student of Departement of Criminology Majoring in Transnational Crime Faculty of Social and Political Sciences University of Indonesia.