“Pemoeda” & Pujangga

Fitra Hadi Handoko
Literation Not Bombs
3 min readApr 6, 2017

--

“Doeloe” & Sekarang

I.

Doeloe pemoeda, sekarang pujangga,

ada rindu, yang kian menginginkan temu.

Bagaimana sosok pemoeda itu,

apakah pemoeda itu pemikat wanita?

apakah mereka candu dan nafsu dengan cinta?

Tidak!

II.

Mereka adalah seorang yang haus akan ilmu,

yang tak pernah menggadaikan keadilan demi sebongkah berlian.

Tidak pernah takut mengobrak-abrik suatu pemerintahan yang bobrok,

demi sebuah kebenaran.

Mereka selalu berpikir kritis,

terhadap setiap kejadian yang berada di lingkungan hidupnya.

III.

Pemoeda doeloe tentu pernah merasakan bagaimana rasa cinta.

Cinta mereka tumbuh dan berkembang,

di relung sanubari.

Mengalir deras di denyut nadi.

Antara cinta dan nasionalisme,

tumbuh berdampingan mempunyai ikatan dalam kalbu,

membangkitkan idealisme, menghasilkan gerakan perubahan.

IV.

Lalu, bagaimana pemoeda sekarang, (Pujangga?),

selalu mengutarakan rindu, temu, dan “I Love You”

di setiap hari yang mereka lewati.

obrolan mereka selalu perihal cinta, uang, perhiasan,

hanya untuk membuat hati wanita berbunga-bunga.

Sementara?

mereka tampak santai, saat keadilan negeri ini sudah tergadai.

Sungguh cerobohnya, hey pemuda sekarang (Pujangga!),

yang begitu bernafsu dan tak kunjung puas akan cinta.

Sampai hati mereka terikat hubungan,

namun semua itu hanya sebuah pengharapan.

Akan tetapi dalam hukum Islam dikatakan “haram”.

V.

Doeloe bumi pertiwi di Ranah Minang,

Bundo Kanduang melahirkan sosok pemoeda intelektual, jadi proklamator, dan revolusioner.

Lihat!

Soetan Sjahrir,

Bung Hatta,

Tan Malaka.

Mereka rela mati demi tanah air,

tidak rela mati demi kamu!

Mereka rela mati demi kebenaran dan keadilan,

tidak menggadaikan keadilan untuk menyambung kehidupan!

Mereka hidup untuk mengabdi, bukan mengabdi untuk hidup!

VI.

Kemana sosok pemoeda Minangkabau yang doeloe?

ketika tanah air ini membutuhkan peranan seorang pemoeda,

untuk menegakkan keadilan, mengobrak-abrik pemerintahan yang bobrok,

menuju jalan kebenaran.

Apa mereka tak sadar,

bahwa, bahwa keadilan tanah air ini sudah tergadai demi sebongkah berlian.

Apa mereka tak tau bahwa hak mereka telah diperkosa oleh pejabat?

Apa mereka tak melihat para petani yang sedang kelaparan?

mereka sibuk dengan sosok barunya,

menjadi seorang Pujangga haus, haus dengan cinta, uang, perhiasan,

dan,

mulut manisnya selalu melontarkan kata Puitisnya guna memikat,

para Wanita!

VII.

Apa mungkin Ayah Kandung yang membuahi sudah ditelan bumi?

hingga Bundo Kanduang tak bisa lagi melahirkan sosok Pemoeda

yang berintelektual,

yang bisa menjadi (seorang) proklamator,

dan revolusioner?

Paling tidak,

mampu menindas ketidakadilan para pejabat, para mafia pribumi buta,

buta karena uang, perhiasan dan kedudukan!

Ayah Kandung sudah tiada ditelan bumi,

Bundo Kanduang tak mampu mendidik anak menjadi pemoeda gagah berani,

Ini sebab mereka terlahir sebagai pujangga!

VIII.

Apa sebenarnya yang terjadi pada generasi Minangkabau saat ini?

masih berlakukah adagium

“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” itu?

atau,

“syarak mangato, adat mamakai.” itu?

Apakah itu — itu — sudah diterapkan oleh para pemoeda saat ini?

Tidak!

IX.

Mereka mencoreng dengan sengaja,

mereka lebih memilih menghidupkan kebudayaan luar

ketimbang melestarikan yang telah ditinggalkan para leluhur.

Mereka mencabik-cabik kebudayaan (sendiri),

seperti Singa Kelaparan.

X.

Begitu pandainya mereka,

menghidupkan benalu dalam relung hati seorang pemoeda,

mereka menghianati tubuh sendiri.

Idealisme hanya (dalam) angan,

pada akhirnya…

hati ternodai,

sikap apatis (tidak mau tau),

mengakibatkan kalbu mereka tak lagi bersih,

nasionalisme (mereka) sudah terkubur,

dalam-dalam.

Padang, 1 April 2017

--

--

Fitra Hadi Handoko
Literation Not Bombs
0 Followers

Ada setangkai tanya di bawah sepucuk rindu yang selalu berterbangan di atas pikiran. Aku tak mau itu tumbuh dalam sanubariku.