Arsip Kolonial: Peninggalan Catatan Kolonial di Indonesia

Lokadigma
Lokadigma
Published in
7 min readFeb 26, 2024

Banyak sekali peninggalan bersejarah yang dapat digunakan sebuah bangsa untuk mengetahui kondisi kehidupan negaranya di masa lalu. Salah satu instrumen yang sangat penting, tetapi cenderung sering diabaikan, adalah arsip kolonial.

Banyak sekali peninggalan bersejarah yang dapat digunakan sebuah bangsa untuk mengetahui kondisi kehidupan negaranya di masa lalu. Salah satu instrumen yang sangat penting, tetapi cenderung sering diabaikan, adalah arsip kolonial. Pada dasarnya, arsip kolonial tidak jauh berbeda dengan arsip negara pada umumnya. Keduanya merupakan catatan kenegaraan yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk melaksanakan kegiatan politik, termasuk memobilisasi sumber daya manusia. Namun, seperti yang diisyaratkan oleh namanya, arsip kolonial merupakan kumpulan catatan dan dokumen resmi yang dikelola oleh pemerintah penjajah terhadap kegiatan koloninya di masa lampau.

Arsip kolonial menyimpan kisah-kisah kompleks tentang dinamika kekuatan antara negara penjajah dan koloninya, serta memberikan penjelasan mendalam mengenai suatu kejadian yang mempengaruhi kegiatan pemerintahan setempat. Arsip kolonial sendiri dapat berbentuk rekaman sejarah atau kejadian, dokumen, dan artefak yang ditinggalkan oleh penguasa kolonial — semacam pencatatan sejarah langsung dari sumber primer sehingga substansinya secara langsung menampilkan keadaan yang sebenarnya.

Dalam konteks Indonesia, arsip kolonial sayangnya masih sering diabaikan oleh masyarakat publik sehingga secara tidak langsung menyulitkan justifikasi untuk pelestarian dan pengelolaannya. Padahal, sumber sejarah ini sepatutnya terus dikembangkan dan didukung sedemikian rupa dalam pembelajaran sejarah Indonesia. Dengan instrumen ini, akademisi dapat mengungkapkan lapisan sejarah dan warisan kolonial dari catatan kenegaraan yang merentang lebih dari tiga abad.

Apa itu arsip kolonial?

Arsip kolonial adalah beragam materi yang menjadi saksi interaksi antara penjajah dan koloninya, mulai dari dokumen resmi, surat, catatan sipil, dan bentuk dokumentasi sejarah lainnya yang diinstitusikan di bawah pemerintahan kolonial (Namhila, 2016). Arsip kolonial cenderung lebih lengkap dan objektif dibandingkan dengan materi sejarah lainnya, sehingga memudahkan penafsiran perubahan narasi penjajahan dan dinamika kekuasaan pemerintahan kolonial lintas periode (Stoler, 2002). Contohnya, dengan menggunakan surat-surat korespondensi antara gubernur dan pemimpin lokal, peraturan, dan laporan statistik kawasan, akademisi mampu membangun gambaran tentang bagaimana para penjajah mengatur koloninya. Model ini dapat dilaksanakan di periode apapun semasa 350 tahun penjajahan Indonesia selama terdapat arsip yang dapat digunakan sebagai referensi (Mulya & Bramantya 2023).

Selain sebagai sumber sejarah primer, arsip kolonial juga berbentuk sebagai living memory suatu bangsa. Dalam kata lain, arsip kolonial bukan semata-mata dokumen sejarah resmi, tetapi juga kumpulan cerita pengalaman pribadi dan warisan budaya masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan kolonial. Arsip kolonial sendiri sudah menjadi salah satu “Memory of the World” UNESCO sejak tahun 1997. Pemerintah negara Benin merupakan salah satu sponsor utama dalam keputusan ini. Benin menekankan bahwa banyak warisan budaya negara (terlebih lagi negara yang terjajah) terbentuk akibat kebijakan dan norma di masa kolonial. Alhasil, arsip kolonial dibutuhkan untuk melihat aktivitas politik, hubungan penjajah dengan pihak lain, dan juga kebijakan dari berbagai aspek kehidupan di daerah koloni agar asal-usul dan inti dari sebuah warisan budaya mampu dijaga demi kelangsungan pelestariannya (UNESCO, n.d.; Directorate of National Archives of Benin, 1996).

Fungsi Arsip Kolonial

Arsip kolonial memiliki fungsi yang beragam tergantung kelompok masyarakat yang memaknainya. Bagi sebuah bangsa dan masyarakatnya, arsip lokal berfungsi sebagai peninggalan dan warisan budaya bersejarah suatu bangsa. Arsip kolonial merupakan bukti nyata masa lalu suatu bangsa yang keaslian dan konteks sejarahnya sudah absah. Dengan pengelolaan yang benar, pelestarian arsip kolonial memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses ke sejarah bangsa mereka. Dalam konteks Indonesia, fungsi arsip kolonial sebagai warisan budaya berbentuk pencatatan berbagai ingatan kolektif kelompok etnis, tradisi, dan praktik bermasyarakat yang membangun keberagaman budaya Nusantara. Alhasil, keturunan dari kelompok-kelompok tersebut memiliki sumber tambahan dalam menjalankan kegiatan budayanya dan penunjang identitasnya.

Bagi para peneliti dan akademisi, arsip kolonial berfungsi sebagai referensi penunjang dalam riset mereka. Arsip sendiri adalah sumber daya yang sangat penting bagi peneliti dan ilmuwan, memberikan mereka sumber referensi yang penting untuk penelitian mereka. Untuk arsip kolonial, berkas-berkas ini memungkinkan eksplorasi lebih mendalam mengenai sejarah kolonial negara ini, perjuangan rakyatnya, dan perkembangan masyarakatnya. Peneliti dapat menggali catatan ini untuk wawasan baru, berkontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai masa lalu negara.

Bagi pemerintah yang berkolaborasi dengan para akademisi, arsip kolonial dapat digunakan untuk mengartikan narasi sejarah sebuah bangsa, bahkan mampu dijadikan landasan untuk diadakannya pembingkaian ulang sejarah alih-alih keperluan manajemen negara dan berpolitik. Stoler (2002) berargumen bahwa arsip kolonial tidak sekadar menjadi tempat penyimpanan catatan sejarah, tetapi merupakan alat yang digunakan oleh pemerintah kolonial untuk memegang kendali atas populasi yang dijajah. Arsip kolonial sering kali mencerminkan bias dan pandangan dari pejabat kolonial yang membuatnya, yang bisa dilihat dari cara informasi dicatat, di-organisir, dan diklasifikasikan. Oleh karena itu, Stoler berargumen bahwa penting untuk memeriksa baik apa yang terdapat dalam arsip (isi substansi) maupun bagaimana mereka diatur (bentuk) untuk memahami pemerintahan kolonial. Hal ini juga mendorong gagasan bahwa kita harus menguak arsip tidak hanya untuk apa yang mereka ungkapkan, tetapi juga bagaimana mereka membentuk narasi sejarah. Penemuan-penemuan ini lalu bisa digunakan oleh pemerintah sebagai acuan untuk melakukan nation-branding dan aktualisasi negara di panggung global.

Selayang Pandang Arsip Kolonial di Sejarah Indonesia

Sejarah arsip kolonial Belanda bisa dibagi menjadi dua bagian: sebelum dan sesudah adanya institusi arsip di Hindia Belanda. Di saat pendirian VOC, pendatang dari Kerajaan Belanda membawa sistem kearsipannya ke daerah koloninya di Hindia Belanda bernama Resolutiestelsel. Dalam sistem ini, arsip diklasifikasikan berdasarkan bentuknya, seperti surat dinas, laporan, surat masuk dan keluar, sampai catatan buku harian. Pengklasifikasian jenis arsip ini terus dijalankan dalam pemerintahan Hindia Belanda, termasuk ketika VOC dibubarkan dan menjajah Indonesia di bawah payung Kerajaan Belanda (Tobing, 1998).

Menurut catatan Arsip Nasional Republik Indonesia, di tahun 1892, pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan semua buku catatan arsip mereka dan diinstitusikan menjadi lembaga kearsipan nasional pertama Indonesia bertajuk Landsarchief. Lembaga ini mempekerjakan orang Belanda dan Indonesia, serta berfungsi sebagai pusat pelestarian arsip peninggalan zaman kolonial Belanda untuk keperluan administrasi, pengetahuan dan sebagai penunjang penyelenggaraan pemerintahan. Pejabat Belanda yang memimpin Landsarchief disebut sebagai seorang ‘landsarchivaris,’ dan selain mengelola arsip pemerintah, mereka turut berpartisipasi dalam pengerahan kekuasaan kolonial, ikut aktif dalam pembingkaian narasi sejarah Hindia Belanda, dan mengamankan peninggalan Belanda dari daerah jajahannya. Dalam menjalankan tugasnya, para landsarchivaris berpegang kepada kebijakan Arschief Ordonantie yang memiliki tiga poin pokok: 1) perlindungan terhadap seluruh dokumen pemerintahan milik pemerintah kolonial, 2) perlindungan terhadap arsip pemerintahan baru yang berumur kurang dari 40 tahun, dan 3) pelestarian arsip-arsip lama (lebih dari 40 tahun) sesuai dengan peraturan Landsarchief di Batavia.

Pada masa pendudukan Jepang, pengelolaan arsip kolonial cenderung mengalami kemunduran karena pemerintah koloni Jepang tidak membentuk lembaga yang khusus untuk arsip dan dokumen negara. Terlebih, Landsarchief diubah menjadi Kobunsyokan (arsip negara) yang sepenuhnya dikelola oleh pegawai Indonesia landsarchief karena para pegawai Belanda menjadi tawanan dalam kamp Jepang. Kobunsyokan tidak lagi menjadi institusi yang berdiri sendiri, melainkan menjadi ditempatkan di bawah bunkyokyoku (kantor urusan pengajaran dan pendidikan) yang berada di bawah naimubu (departemen dalam negeri) yang bidang tugasnya meliputi juga urusan agama, sosial, kesehatan, pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Dalam kata lain, arsip nasional Indonesia di periode Jepang tidak bisa menjalankan yurisdiksinya sendiri sehingga mengalami kesulitan untuk berkembang secara mandiri dan cepat. Bahkan, kobunsyokan hanya digunakan untuk menunjukkan keturunan Indonesia dari warga blasteran Belanda-Indonesia agar mereka tidak ditawan Jepang. Kondisi arsip kolonial pada masa pemerintahan Jepang juga diperparah dengan pembakaran massal yang dilakukan oleh Jepang terhadap arsip kolonial di Indonesia (Novika, 2020).

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan di tahun 1945, arsip kolonial diambil alih oleh pemerintah Indonesia dengan nama ‘Arsip Negeri’. Struktur Arsip Nasional Republik Indonesia banyak mengalami perubahan pada awal kemerdekaan. Lembaganya kerap dipindah-pindah antara jajaran instansi dan kementerian pemerintah yang berbeda. Pada tahun 1967, Arsip Nasional akhirnya menjadi lembaga pemerintah non departemen sehingga terpisah dari lembaga pemerintah lainnya.

Walaupun Indonesia sudah memiliki institusi arsip yang memadai, sehingga membuka akses dan pengelolaan arsip demi kebutuhan riset, muncul sebuah kritik yang menggarisbawahi fakta kalau koleksi awal Arsip Nasional (yaitu arsip kolonial dari Hindia Belanda) sangat dipengaruhi oleh sudut pandang pemerintah kolonial. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas arsip-arsip tersebut — apa betul Indonesia bisa menggunakan arsip kolonial sebagai landasan sejarah jika penulisnya saja adalah para penguasa koloni? Ada juga isu mengenai arsip kolonial yang ditulis dalam bahasa Belanda, sehingga sekali pun masyarakat Indonesia ingin mempelajari arsip lebih lanjut, mereka akan kesulitan sekiranya mereka tidak memiliki kemampuan berbahasa Belanda (Mulya & Bramantya).

Penutup

Sejarah arsip kolonial di Indonesia adalah cerminan perjalanan panjang negara ini; dari era kolonial ke kemerdekaan. Arsip kolonial memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengungkap cerita-cerita tersembunyi, mengoreksi ketidakadilan sejarah, dan membangun narasi yang lebih inklusif dan komprehensif mengenai sejarah Indonesia. Arsip-arsip ini, yang diawali dengan Landsarchief, membantu memahami akar-akar sejarah Indonesia yang beragam. Namun, tantangan seperti kurangnya akses kepada arsip, substansi yang ditulis dalam bahasa Belanda, serta sejarah penelantaran arsip yang kelam menghambat masyarakat Indonesia untuk sepenuhnya memahami dan menghargai warisan kolonial ini.

Penulis: Jasmine N. A. Putri

Jasmine adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Kini, Jasmine bekerja sebagai seorang Koordinator Kebijakan Publik Regional dan Hubungan Pemerintah di Gojek.

Referensi

Colonial Archives — Memory of the World. UNESCO. (n.d.). https://en.unesco.org/memoryoftheworld/registry/329

Directorate of National Archives of Benin. (1996). Memory of the World International Register Nomination Form — Colonial Archives. Porto Novo.

Mulya, L., & Bramantya, A. R. (2023, Maret). Problems in ‘Accessing’ Colonial Archives for Indonesian History Department Student. Di dalam International Joint Conference on Arts and Humanities 2022 (IJCAH 2022) (pp. 1595–1600). Atlantis Press.

Namhila, E. N. (2016). Content and use of colonial archives: an under-researched issue. Archival Science, 16(2), 111–123.

Novika, S. (2020, December 28). Ungkap Sejarah Kearsipan Ri, Tjahjo: Dibakar Habis Oleh Jepang. detikfinance. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5311715/ungkap-sejarah-kearsipan-ri-tjahjo-dibakar-habis-oleh-jepang

Stoler, A. L. (2002). Colonial archives and the arts of governance. Archival science, 2, 87–109.

The Hisotry of the National Archives of the Republich of Indonesia. Arsip Nasional Republik Indonesia. (n.d.). https://anri.go.id/en/profile/history

Tobing, Tiurma. “Sistem Kearsipan di Indonesia.” Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan 1, no. 1 (1998). 85–95.

--

--

Lokadigma
Lokadigma
Editor for

Mengangkat budaya dan kearifan lokal Indonesia dalam bahasan diskursus terkini #melokalbersama.