Agraria dan Keserakahan: Senyuman Kapitalis Kepada Rempang
Oleh: Intan Florenchia
Dalam sorotan konflik agraria yang kompleks, sumber kehidupan berjuang, pertarungan yang tegap. Tanah yang subur, air yang mengalir, udara yang segar, semua diperebutkan dalam kisah panjang yang berliku. Bentrokan menggema, bukan hanya tentang properti, juga tentang jati diri, hak, dan harapan yang tercipta.
Warga menolak relokasi, tangan menggenggam erat rumahnya, di sini bersemi kenangan, dan impian yang menghiasi harinya. Konflik agraria mencerminkan kesenjangan yang mendalam, antara penguasa dan yang terpinggirkan, mereka yang dalam pertarungan demi hak hidup, dan harta yang tak ternilai, pertanyaan abadi, "untuk siapa pertumbuhan ekonomi mengalir?"
Jika merunut ke belakang, konflik agraria di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang, jauh sebelum terbentuknya BP Batam. Namun, masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selama ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
Ini karena sebagian besar lahan di pulau tersebut awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). BP Batam sendiri baru terbentuk pada Oktober 1971 yang diinisiasi oleh BJ Habibie berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. Habibie, saat itu, mencetuskan konsep Barelang (Batam Rempang Galang).
Awalnya, Barelang digadang-gadang bisa menyaingi Singapura sebagai pusat perdagangan dan industri, meski dalam perkembangannya kawasan ini justru malah menjadi pendukung dan pelengkap penggerak ekonomi Singapura.
Agar pengelolaannya bisa lebih profesional, pemerintah pusat memutuskan membentuk Otoritas Batam yang terpisah dengan pemerintah daerah, dan kini berubah menjadi BP Batam. Badan inilah yang kemudian mengelola kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang.
Dibanding Pulau Batam yang ekonominya tumbuh pesat, perkembangan Rempang dan Galang memang lebih lambat. Namun, kedua pulau ini akhirnya mulai menggeliat, terutama sejak dibangun Jembatan Barelang pada 1998.
Ketika perusahaan belum memperoleh izin Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk mengelola sebagian Pulau Rempang, konflik mengenai lahan belum muncul. Namun, situasinya berubah pada tahun 2001 ketika pemerintah pusat dan BP Batam memberikan HPL kepada perusahaan swasta.
Izin tersebut kemudian dialihkan kepada PT Makmur Elok Graha, dan konflik lahan mulai berkembang sejak saat itu. Praktis masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik, sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.
Menurut Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco City. PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Rempang Eco City digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) yang kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha.
Kawasan yang diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080 ini bertujuan untuk mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekitar 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan, dan wisata. Bahkan, Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang.
Mengutip dari Antara, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa kasus di Rempang bukanlah penggusuran, melainkan pengosongan lahan. Hal ini disebabkan karena hak atas tanah tersebut telah diberikan oleh negara kepada perusahaan pada tahun 2001 dan 2002.
Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan, sehingga hak atas tanah itu masih tetap dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002. Prof. Mahfud menekankan bahwa proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya.
Persoalan Tanah
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, dalam beberapa kesempatan menggarisbawahi bahwa warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.
Ia mengeklaim warga Rempang dan Galang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. "Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," ungkap Gerisman.
Menurutnya, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang sejak 1834. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah, meskipun sudah diajukan. "Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja," tandasnya.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, menilai pencadangan alokasi lahan itu tidak sesuai ketentuan, karena Kementerian Agraria dan Tata Ruang belum mengeluarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada BP Batam.
"Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah (dengan) tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean)," jelas Johanes Widijantoro.
"Sepanjang belum mendapatkan sertifikat HPL atas Pulau Rempang, maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum." Menurut Johanes, PSN semestinya memperhatikan tahapan pengadaan tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.
Ini termasuk menilai apakah ada tindakan kelalaian dari pihak negara yang mungkin menghambat masyarakat dalam memperoleh hak kepemilikan tanah yang telah lama mereka tempati secara turun-temurun.
Kesimpulan
Tenggelam dalam konflik agraria, Pulau Rempang bergelut dengan aparat. Gas air mata menghiasi derita masyarakat, beribu pertanyaan tersemat dalam benak. Rakyat merintih, dalam bayang-bayang proyek yang melanda.
Proyek besar, tumbuhkan ekonomi yang dijanjikan. Namun, untuk rakyat atau untuk negara? Pertanyaan ini pun menari.
Investasi yang menggiurkan, tetapi siapa yang merasakannya?
Pertumbuhan ekonomi, tetapi penderitaan terus berkecamuk. Rakyat terbuang, dalam permainan politik-ekonomi yang terus tumbuh.
Sumber:
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/cxrl3200gr5o
- https://nu.or.id/nasional/kronologi-bentrok-warga-dan-aparat-di-pulau-rempang-batam-K4x4Z
- https://money.kompas.com/read/2023/09/13/063434426/sejarah-konflik-lahan-pulau-rempang-bermula-dari-pemberian-hpl-ke-swasta
- https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/08/153000465/4-fakta-soal-bentrokan-di-pulau-rempang-batam
- https://www.kompasiana.com/wijayalabs/64ffb8ab4addee3d65011042/mengapa-ada-kerusuhan-di-pulau-rempang-batam
- https://www.detik.com/sumut/berita/d-6929382/bantahan-gubernur-kepri-soal-penyebab-kerusuhan-di-rempang-yang-diungkap-jokowi