Gajah Mati Meninggalkan Gading, Manusia Mati Meninggalkan Surat
Oleh: Catra Jendra
Seorang perempuan muda berinisial NJW (20) memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri sebagai jalan pintas dengan cara melompat dari ketinggian 20 meter di lantai empat area parkir P4 Mall Paragon di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (10/10/2023). Korban jatuh di jalur keluar mobil dan mengalami luka serius di bagian kepala yang menyebabkan nyawa NJW tidak bisa diselamatkan.
Dilansir dari Tribun Jakarta, Kapolsek Semarang Tengah, Kompol Indra Romantika, menyatakan bahwa terdapat surat perpisahan yang diduga ditulis oleh korban kepada sang ibu dengan menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dalam surat tersebut, korban juga menyertakan hadiah ulang tahun untuk ibunya yang diletakkan di kos Hani, temannya. Melalui surat ini, NJW menyampaikan rasa terima kasih dan meminta maaf kepada orang tuanya karena merasa belum bisa membahagiakannya.
Berikut adalah isi dari surat NJW:
“Ma, maaf tidak bisa jadi sekuat yang mama harapkan.
Aku punya hadiah ulang tahun untukmu.
Kutitipkan di kos Hani.
Aku berharap bisa memberikannya langsung, tetapi aku minta maaf.
Terima kasih sudah selalu memikirkanku dan peduli denganku serta maaf apabila aku selalu membuatmu sedih.
Aku sayang mama selalu. Jangan lupa berdoa buat aku, ya. Sekali lagi, maaf, aku nyerah."
Kepada Siapa Engkau Mengeluh?
Kepada siapa engkau mengeluh? Ke pangkuan siapa engkau tumpahkan air matamu? Nomor telepon siapa yang engkau panggil? Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong?
Kalau hatimu bingung oleh kesumpekan sosial. Kalau perasaanmu gundah oleh pusingan-pusingan hidup yang bagai lingkaran setan. Kalau jiwamu berputus asa karena sedemikian sukarnya menempuh hidup yang benar. Kalau sukmamu rasanya ingin copot karena impitan-impitan nasib yang tak tertahankan. Kalau batinmu dibikin koyak-moyak oleh tuntutan-tuntutan sejarah lingkunganmu. Kalau rasa perih, sakit, dan keputusasaan menikam jantung rohanimu karena menghayati ketimpangan, kesenjangan, dan ketidakmampuan. Siapa yang bersedia mendengar keluhanmu?
Kepada siapa engkau hendak merebahkan keletihanmu? Kepada minuman keras? Kepada ramalan angka-angka? Kepada surat? Kepada lantai empat? Kepada maut?
Adakah peluang dan tidakkah dilarang untuk engkau menumpahkan isi hatimu yang seadanya dan sejujur-jujurnya, kepada orang tua, kepada seorang kawan, kepada kaum agamawan, kepada dosen, kepada polisi, kepada ilmuwan, kepada wakil rakyat, dan lain-lain?
Kalau belakangan ini engkau hayati betapa meningkatnya jumlah kasus bunuh diri yang terjadi pada remaja di usia produktifnya. Kalau engkau saksikan sahabat kita, NJW, terjun dengan keputusasaan dari ketinggian dua puluh meter untuk menyerahkan keputusasaannya itu kepada maut.
Apakah engkau memandangnya sebagai kasus individu atau kasus sosial? Apakah itu urusan pribadi ataukah itu urusan bersama? Apakah tindakan bunuh diri merupakan gejala personal subjektif, refleksi, atau penyakit dari endapan atmosfer kehidupan umum? Apakah kasus bunuh diri tersebut adalah suatu iklim kolektif? Apakah yang akan menjadi terdakwa di hadapan Tuhan adalah NJW ataukah kita juga? Sebab, bukankah seluruh kejadian di lingkungan kita tidak terlepas dari nilai kepemimpinan bersama?
Saya lebih senang mendengar keluhan-kesah teman-temanku setiap malam, daripada harus menghadiri pemakamannya di esok hari. —Bersuarakan