Getir di Kolong Langit Gaza

Oleh: Faris Adianto

LPM das Sein
LPM DasSein
Published in
4 min readNov 6, 2023

--

Dalam pertunjukan maut di bawah kolong langit Gaza, Hamas dan Israel beradu peran getir yang menciptakan adegan penuh gejolak di panggung Timur-Tengah

Pasukan bersenjata Hamas, sebuah organisasi yang menerapkan pendekatan nasionalis-agamis dan menggabungkan pesan dakwah Islam dengan strategi perjuangan bersenjata, dikategorikan sebagai milisi atau pihak yang terlibat dalam pertempuran bersenjata, dan memiliki perlindungan berdasarkan Hukum Internasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 hingga 3 Konvensi IV Den Haag Tahun 1907.

Meskipun dilindungi oleh Hukum Internasional, pasukan ini tidak terlepas dari kewajiban untuk menghormati dan mematuhi semua ketentuan Hukum Internasional yang berlaku. Sayangnya, pasukan Hamas malah menyalahi peraturan internasional dengan menyerang warga Israel di sepanjang garis perbatasan Gaza, yang menimbulkan ketakutan di antara penduduk dan terlibat dalam baku tembak dengan tentara Israel.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, beserta para pendukung sayap kanannya sedang berupaya keras merespons perkembangan peristiwa yang terus berubah. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Layanan Penyelamat Zaka di Israel, jumlah korban terus bertambah dengan cepat. Setidaknya, 200 orang telah kehilangan nyawa di wilayah selatan Israel, dan 1.100 orang lainnya mengalami luka-luka.

Festival musik terbuka, Tribe of Nova, di Israel akan dikenang sebagai tragedi penyerbuan paling mengerikan dalam sejarah negara tersebut, dengan lebih dari 260 orang tewas dan banyak lainnya yang disandera. Sejumlah anggota milisi Hamas yang melakukan infiltrasi dari Gaza berhasil mengecoh pagar perbatasan yang dijaga ketat oleh Israel dan menyerang lebih dari 3.500 pemuda Israel yang sedang berkumpul untuk merayakan hari raya Yahudi di Sukkot sambil menikmati malam musik elektronik.

Para anggota milisi ini datang ke lokasi dengan perlengkapan pelindung tubuh, menggunakan kendaraan berupa truk dan sepeda motor, serta membawa senjata serbu berupa AK-47 dan granat peluncur roket. Di samping menyerang warga sipil dan menimbulkan banyak korban jiwa, kedatangan pasukan Hamas di sekitar festival tersebut juga melibatkan penculikan beberapa puluh orang, termasuk pria, wanita, anak-anak, orang tua, dan orang disabilitas, untuk dijadikan tawanan.

Akibat serangan mendadak tersebut, Israel merespons dengan melakukan serangan balasan (reprisal) terhadap Kelompok Milisi Hamas, termasuk dengan meluncurkan roket ke wilayah Gaza. Sayangnya, serangan Israel yang bertujuan untuk menghancurkan Hamas, telah menyebabkan korban warga sipil di Gaza, dengan 2.215 orang tewas dan 8.871 lainnya luka.

Selain sebagai respons atas aksi penyerangan yang dilakukan oleh Hamas, Israel mengeklaim bahwa serangan mereka adalah tindakan bela diri sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Namun, dalam pelaksanaan hak bela diri tersebut, Israel dianggap melanggar ketentuan Hukum Internasional karena serangannya melebihi batas, dan bertentangan dengan prinsip pembalasan yang seharusnya proporsional sesuai dengan Protokol Tambahan I Tahun 1977.

Di sisi lain, serangan balasan roket Israel yang menyebabkan luka-luka dan kematian pada warga sipil, bertentangan dengan Pasal 51 paragraf 5 huruf b Protokol Tambahan I Tahun 1977 Konvensi Jenewa yang menegaskan tentang hak perlindungan penduduk sipil dan pencegahan bahaya yang dapat diakibatkan oleh operasi militer.

Dalam Hukum Internasional yang mengatur cara dan sarana perang di darat, sasaran sah dalam peperangan adalah kombatan, yang meliputi pasukan resmi serta peralatan militer mereka, dan bukan warga sipil. Hal ini sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Konvensi Den Haag II Tahun 1899 dan Konvensi Den Haag IV Tahun 1907. Oleh karena itu, serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh Kelompok Milisi Hamas telah menciptakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional.

Pada Hukum Humaniter Internasional, ada prinsip tambahan yang diperkenalkan setelah Perang Dunia II, yaitu prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip ini membagi pihak yang terlibat dalam konflik menjadi dua kelompok, yakni kombatan atau peserta tempur dan penduduk sipil. Prinsip pembedaan menegaskan bahwa dalam peperangan, warga sipil dan objek sipil harus terhindar dari serangan, sementara yang boleh diserang adalah kombatan atau peserta tempur serta objek-objek militer lainnya, seperti peralatan militer, markas, dan fasilitas militer.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Israel dan Kelompok Milisi Hamas seharusnya dilakukan melalui Pengadilan Pidana Internasional sebagai tindak penjahat perang dan pelanggaran kemanusiaan atau yang biasa disebut hostis humanis generis.

Namun, hingga saat ini, sulit untuk membawa pelaku kejahatan Israel ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional, meski sejumlah fakta yang terungkap telah menunjukkan bahwa Israel telah melakukan pelanggaran serius terhadap hukum perang.

Hal ini disebabkan karena Israel tidak menjadi negara yang meratifikasi Statuta Roma, sehingga mustahil untuk mengadilinya di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Kemungkinan untuk membentuk pengadilan ad hoc juga sangat kecil, mengingat perlindungan yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS) kepada Israel, yang memiliki hak veto yang pasti akan digunakan jika pengadilan semacam itu diajukan.

Oleh karena itu, sanksi yang dapat diterapkan untuk memberikan tekanan moral pada Israel agar mematuhi Hukum Humaniter Internasional meliputi tindakan, seperti pengucilan, pemutusan hubungan diplomatik, embargo senjata, dan pemutusan hubungan ekonomi oleh masyarakat internasional.

Rujukan:

--

--