India, Perkawinan, dan Usia Yang Semakin Tua : Mencatat Pengalaman Perempuan.
Oleh : Rama Agung
Kalau kata Kavita Daswani jika ingin mencoba menampaki “neraka urban made in India” ada sebuah solusi menarik. Kamu hanya perlu datang ke salah satu pasar di Bombay, Bhuleshwar, lalu bergabung mejejakan kaki bersama tujuh belas juta pejalan kaki lainya. Dengan banyaknya hiruk pikuk manusia, toko kecil yang memenuhi jalan, tai sapi di mana-mana, ternak bercengkrama dengan gelandangan (sama-sama tertidur), angkutan umum ugal-ugalan, penjual yang berjejakan menjajakan makanan atau garpu anti karat, dan eksistensi lalat yang memenuhi labirin sempit. Jika dibilang banyak pasar yang memenuhi kriteria tadi. Tidak, neraka identik dengan lelembut. Sedangkan di sini lelembut akan menjelma sebagai lelaki dengan gigi penuh dengan noda paan yang bersiul-siul setiap kalian akan berbelanja. Meskipun kalian berbalut kameez[1] bahkan kening yang sudah dibubuhi sindoor[2] tidak akan luput menjadi sasaran. Bahkan eksistensi sapi betina yang menglomproh seenaknya, lebih dimuliakan.
Dalam bukunya yang berjudul Chaturanga, Rabindrnath Tagore pernah bilang bahwasanya banyak kitab suci yang melarang persembahan dengan korban hewan betina, tapi dalam hal manusia, mempersembahkan korban wanita akan memberikan kepuasan terbesar. Bombay dan tradisi matrilinear tidak pernah terpisahkan. Berpeti-peti gelang kaca, perak, dan emas bahkan beberapa vas impor akan masuk kedalam list “Mbak Kawin Apa yang Harus Kamu Berikan Jika Menikahi Pria India.” Tak lupa juga dengan beberapa sari berhias bordir, beberapa sutra kualitas terbaik, bahan baku membuat gorengan pakoda bahkan dapat ditambahkan kedalam list tadi. Bahkan mereka tidak menemukan pasangan mereka sendiri : mereka dijodohkan. Dharam Vir Sigh dalam bukunya yang berjudul Hinduism, An Introduction menyebutkan “Sangatlah tidak pantas bagi pemuda maupun gadis untuk berinisiatif menentukan pernikahan mereka sendiri.” Yang mungkin pernyataan mereka akan berubah ketika melihat perkembangan jaman sekarang. Namun setidaknya mereka harus bertemu (sebagai sopan santun) sebelum menolak. Berkencan dengan laki-laki yang kita ketahui latar belakangnya tak pernah menjadi masalah. Lalu apa jadinya jika berkencan dengan seseorang yang pernah ditahan dua hari karena melakukan pertunjukan tarian telanjang di salah satu barnya di Nashik? Setelah membayar mahal dengan intensi keluarga akan berpikir “Kalau sudah menikah, mereka akan berubah.”
“Seorang ayah yang tidak menikahkan putrinya pada saat yang tepat adalah ayah yang patut dikecam.” — W.M Theodore de Barry dalam bukunya Sources of Indian Tradition berujar demikian. Bahkan perempuan yang terlambat menikah akan menjadi suatu kegagalan bagi orang tuanya, terutama ayahnya. Hal ini berkolerasi dengan tulisan Al. Basham yang berjudul The Wonder That Was India, mereka menganggap kalau usia suami paling sedikit sebelum dua-puluh tahun sedangkan seorang gadis harus segera menikah sebelum masa puber. Lalu apakah ‘sebelum’ masa puber adalah jawaban yang tepat? Tentunya tidak. Ini bukan hanya masalah kesetaraan, melainkan moral. Jika menelisik kebelakang dan bertanya pada kaum lansia yang kini menapaki usia 60 tahun ke atas, mereka akan dengan santai menjawab : “Kami menikah dua-hari sebelum ulang tahun kami yang kesepuluh.” Bertemu dengan laki-laki yang berusia dua kali lipat umurnya, datang ke setiap kuil pemujaan dan menyembah Dewa Ganesha sembari berujar “Dewa berkatilah hamba dengan anak laki-laki.” Yang dapat diartikan bahwa diskriminasi gender sudah ada sejak bayi dalam kandungan. Jika perempuan sekarang dikatakan terlambat, para orang tua akan langsung kerasukan -Setan Pemburu Suami- kesesokan harinya. Mereka mendatangi kuil-kulil untuk mendapatkan keajaiban berwujud suami. Menunduk dan menyentuh kaki-kaki orang suci yang masih hidup atau batu pualam mereka, menyanyikan bhajan, menghadiri pujian dharsan, memakan roti gandum usai berdoa, pergi ke kuil di Puncak Perbukitan Bangalore, Perbukitan Madras, Puasa setiap Senin dan Kamis untuk menghormati Dewa Ganesha dan Puasa setiap Jumat untuk menghargai Dewi Laksmi. Terlepas dari kepercayaan dan keyakinan, semua hal ini dilakukan untuk menghilangkan : Grechari — awan kosmis hitam yang mengantung di atas kepala orang-orang sial- atau menghilangkan rahu di rumah ketujuhnya.
Standar kecantikan yang sebut saja gila juga melekat pada perempuan India. Terutama dengan angapan warna kuit : mereka begitu membangakan dan memuliakan wanita dengan warna kulit cerah. Bisnis krim pemutih dengan kandungan merkuri tinggi sukses di pasaran. Hingga tak bisa membedakan antara mana tubuh manusia dengan thermometer raksa. Standar social yang dibangun oleh bisnis Bollywood dengan potret wanita tinggi semampai, tidak terlalu gendut, lemak hanya boleh ada di bagian bagian tubuh tertentu, kemudian mata yang besar dan bulu mata lentik rimbun juga memberikan sumbangsih bagaimana media memiliki peran besar membangun standar kecantikan yang tidak masuk akal bagi perempuan India. Bahkan nama “ejekan” sekalipun menjadi objektifikasi perempuan di India. They use name like tota (item), pataka (fire cracker), chamiya (sexy babe), and phooljhadi (sex bomb) to insulte them. Bahkan ejakekan untuk laki-laki selalu disangkut pautkan dengan sisi “kewanitaan.” Banci misalnya?
Terakhir, Stigma. Di Ibukota India, Dehli, juga kota dengan tingkat pemerkosaan tertinggi di India. Ada salah satu video pidato standu-up comedy singkat wanita muda India yang ditonton lebih dari delapan belas juta kali di laman YouTube. India woman can be categorized in to 2 types. One is whore and the other one is slut.“Man she refused to sleep with me Man, What a whore… what a whore..” And there is “Bro, You know who she slept with?”“Ahaaa.. Mee! What a slut men. What a slut.”
[1] Pakaian khas India dengan potongan yang sangat longgar dan menyamarkan bentuk badan
[2] titik di kening wanita yang sudah menikah, tidak memakainya berarti : tidak menghormati suami, menyalahi norma, menghina leluhur.