LIPUTAN: Daulat & Ikhtiar “Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni”
karena toh di dalam kesenian, kau bisa bebas membiarkan dirimu terlalu menuntut, terlalu kekanak-kanakan, terlalu mimpi, karena tidak ada yang lebih lebih jujur dari kesenian, juga tidak ada hal yang lebih majestic selain dikenang dan mengenang melalui kesenian.
Serangan umum 1 Maret 1949 tentunya merupakan sebuah fenomena historis yang bila ada mahasiswa (apalagi yang fakultas hukum) tidak tahu akan benang merah peristiwanya dan gagap dalam menemukan maknanya, maka lebih baik segera tutupi wajah masing-masing.
“Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya” begitulah kata-kata yang diutarakan oleh salah satu Founding Father kita (bukan Founding Titan yaaa). Pada kesempatan kali ini, sahabat-sahabat kita di Institut Seni Indonesia Yogyakarta bersama Kementerian Pendidikan dan Museum Benteng Vredeburg mengadakan pameran seni untuk memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 yang bertajuk “Daulat & Ikhtiar” pada tanggal 1–30 Maret 2022.
Berangkat dari kesenian, memasuki sejarah dan manusia. Barangkali demikianlah idiom seniman-seniman muda kita dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang penuh dengan aura “Burung Merak” tersebut. Karena toh di dalam kesenian, kau bisa bebas membiarkan dirimu terlalu menuntut, terlalu kekanak-kanakan, terlalu mimpi, karena tidak ada yang lebih lebih jujur dari kesenian, juga tidak ada hal yang lebih majestic selain dikenang dan mengenang melalui kesenian. Sejarah terlalu mengantukkan bila hanya dibaca melalui tulisan-tulisan, maka kesenian hadir untuk memberikan udara segar yang tidak hanya sebagai “parfum” yang menggoda melainkan sebagai suatu pendekatan psikologis-kultural yang mengasah akal budi dan nurani sebagaimana fungsi kesenian itu sendiri.
Apabila sebuah generasi berhasil mengasah kedua hal tersebut, maka sebuah generasi akan mampu menonggaki sejarahnya dengan berbuat sesuatu terhadapnya dengan berhasil mengatasi akibat-akibat sejarah di dalamnya. Ya, sebuah generasi karena itu, tidak boleh mengingkari kesadarannya akan masa silam, bahkan tidak boleh tidak untuk tidak, meskipun tidak sedikit yang dikalahkan oleh hal-hal yang mungkin dimengerti dari sejarah, tapi mungkin juga tidak. Ongkosnya memang mahal, sejarah terlalu besar untuk kita otak-atik, tapi suatu generasi harus bisa menemukan watak dalam sejarahnya agar bisa menemukan artikulasi dan menerjemahkan geraknya ke dalam sistem nilai sejarah yang tepat, dan generasi mutakhir akan tidak mustahil untuk menelurkan itu semua. Maka sekali lagi kesenian, sangat berpotensi juga sebagai media penangkal petir pada hujan sejarah yang berkepanjangan itu semua. Demikian nada dasar yang dilantunkan oleh seniman-seniman kita ini di dalam “Daulat & Ikhtiar”
Tim Peliput:
A. Marcel Satrio Aji, Aditya Duta Perdana, Salma Inaz Firdaus, Maria Magdalena Mutiara, Rafael Yoji Nattaliano, Amir Nusa Permana dan Godeliva Fristy (Kontributor).
Foto:
Amir Nusa Permana
Editor:
Amir Nusa Permana
Kunjungi Kami:
Instagram: lpm_dassein
email: redaksidassein@gmail.com
Spotify: PoeDas (Podcast Dassein)