Pencari Suaka (Tapi Bukan Margasatwa)
Oleh : Vania C
Gedung dua lantai berwarna kuning tersebut bukanlah bangunan yang mewah, bahkan jika melihat jumlah penghuninya juga tidak dapat dikategorikan sebagai layak. Kota tempat bangunan tersebut berdiri juga tidak ramah, bahkan pada penduduk aslinya tidak segan-segan membuat mereka membenci dunia, apalagi kepada pendatang. Namun, kota inipun masih lebih baik dibanding rumah mereka sendiri.
“Aalem, bantu berikan ini, ada sedikit daging lebaran dari masjid kita,” sapa seorang ibu dari sisi lain pagar.
Suasana lebaran Idulfitri dan Iduladha selalu menjadi momen yang ditunggu seluruh penghuni gedung kuning tersebut. Selain karena momen suci bagi agama dan budaya mereka, pada masa ini bantuan yang mengalir selalu lebih banyak dari biasanya. Sembari membukakan pagar, Aalem membantu membawa bungkus makanan yang dibawa orang masjid sambil mempersilahkan masuk.
Ajakan masuk tersebut ditolak secara halus oleh seluruh rombongan “Gausah mas, corona-nya masih parah, kasian kalian kalo sakit,”
Sedikit terperanjat, Aalem hampir lupa kota yang tidak ramah ini sedang menjadi pusat penyebaran pandemi di seluruh negerinya. Padahal atas alasan yang sama pula, dirinya tidak bisa menjalani rutinitas bulanannya untuk mencari kepastian di bagian kota lainnya.
Sembari memberikan anggukan singkat tanda pengertian, Aalem memanggil beberapa anak muda di tenda dekat pagar untuk membantu. Tiga anak laki-laki yang menghampiri bukanlah berasal dari negara asalnya, tetapi komunikasi antonim yang dilakukan cukup buat mereka mengerti mengenai tugas yang diberikan. Momen ketika ketiga anak tersebut berhadapan dengan rombongan masjid untuk mengambil bingkisan daging menjadi tamparan tersendiri bagi Aalem. Rombongan masjid dengan segala perlindungannya, dari masker hingga sapu tangan, berbanding terbalik dengan ketiga anak asal Yaman yang sama sekali tidak menggunakan perlindungan.
Sebelum ditampar lebih jauh, lagi-lagi Aalem mengingatkan dirinya, seburuk apapun keadaan disini tetap jauh lebih baik daripada rumahnya sendiri. Pikiran tersebut didukung oleh berita yang ia dengar beberapa jam sebelumnya. Mengenai hujan roket yang dilakukan kelompok taliban saat sedang dilakukan solat ied di daerah kelahirannya. Berbanding terbalik, sholat ied yang tadi pagi dijalaninya dilakukan di pekarangan gedung kuning. Bersama dengan pria paruh baya Somalia sebagai imamnya. Sangat khusyuk dan tenang, seperti bagaimana seharusnya sholat ied dijalankan.
Menghentikan pergumulan pribadinya, Aalem menyampaikan ucapan terima kasih kepada rombongan masjid yang dibalas dengan sedikit basa-basi mengenai ucapan selamat lebaran dan kelanjutan status para penghuni gedung kuning tersebut.
“Belum tau Bu, sejak PPKM diperketat semakin tertutup juga akses kita untuk keluar. Bahkan jalur yang illegal sekalipun,” jawab Aalem seadanya terkait pertanyaan yang sebenarnya juga mengganggu pikirannya sejak setahun belakangan.
“Ya sudah, sabar saja dulu, dijaga kesehatannya. Jangan lupa kalau ada yang sakit langsung kabarin warga ya biar bisa di data sama satgas,” ucap salah satu pria dalam rombongan tersebut.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, rombongan tersebut berangsur menyebrangi jalan menuju gang tempat mereka bermukim. Pemukiman yang walaupun gedungnya berpotensi dianggap tidak memiliki hak, tapi setidaknya jiwa dan raga mereka sebagai manusia masih dianggap dan diperhatikan sebagai penduduk yang sah. Sebaliknya, penghuni gedung kuning tinggal di bangunan yang memiliki hak, namun jiwa dan raganya tidak dianggap sebagai manusia yang berhak dan sah.
Sembari berjalan membawa daging kurban ke aula gedung untuk dibagikan, pikiran Aalem lagi-lagi kembali pada peringatan pria dalam rombongan. Bahasa indonesianya bisa dibilang cukup untuk berkomunikasi sehari-hari, tetapi belum cukup baik untuk menangkap maksud-maksud terselubung dari setiap basa-basi orang Indonesia. Dipikirkan lagi perkataan pria masjid tersebut benar-benar. Apakah dia sekedar basa-basi mengingat setau Aalem para penghuni gedung kuning tidak memiliki hak untuk mendapatkan bantuan kesehatan apapun. Bisa juga, mengingat semakin parahnya kondisi di Kota Jakarta, akhirnya kota tersebut mengakui hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Namun, pikiran jelek tetap menghampirinya dengan menangkap perkataan pria masjid tersebut sebagai sindiran. Penolakan yang dilakukan sebagian warga saat awal digunakannya gedung kuning melatarbelakangi firasat buruknya.
Lamunannya terhenti saat seorang remaja perempuan menghampirinya. Dari pertanyaan dan cara bicaranya, Aalem yakin dia berasal dari Irak.
“Bamia?” tanyanya dengan aksen yang sangat khas.
“No, but there is a lamb too of you want,” jawab Aalem dengan Bahasa Inggris yang harapannya dapat dimengerti sang gadis.
Gadis tersebut mengangguk tanda mengerti, berbalik dan memanggil adik-adiknya dalam Bahasa Kurdish.
Melanjutkan langkahnya ke tengah aula yang masih memiliki sedikit ruang untuk menaruh makanan bersama. Ruangan bebas dalam gedung kuning ini semakin berkurang, terutama sejak pandemi berjalan. Sudah tidak bisa lagi para pencari suaka yang tinggal di trotoar secara sembarangan. Teringat Aalem ketika dulu sering pergi ke kantor agensi para pengungsi di Kebon Sirih, bagian lain Jakarta yang cukup jauh dari gedung kuning tempatnya singgah. Kunjungannya masih terbilang “normal”, hanya meminta kejelasan dan bantuan sehari-hari dari pihak agensinya, walaupun seringkali tidak diperbolehkan memasuki gedung. Hal tersebut menurutnya “normal” karena kebanyakan sesama pencari suaka, mengunjungi gedung di Kebon Sirih tersebut untuk melakukan unjuk rasa hingga tidur di pinggiran gedung.
Dari waktu ke waktu, petugas Indonesia seringkali melakukan pembersihan dan memulangkan para pencari suaka tersebut ke gedung kuning lagi, sebagai tempat legal dimana mereka bisa tinggal sementara. Pada beberapa kesempatan, gerak-gerik petugas Indonesia seringkali memicu trauma masa lalu tersendiri bagi Aalem. Disaat para petugas menggunakan pentungan dan menarik para pencari suaka dengan paksa ke dalam truk besar terbuka, trauma masa lalu akan negara konfliknya mau tidak mau hadir kembali.
Namanya Aalem, yang berarti ilmuwan. Pemberian namanya ini memiliki manfaat tersendiri bagi dirinya. Masa remajanya dihabiskan sebagai pemuda pintar di tengah konflik berkepanjangan. Berkat kemampuan bahasanya, Aalem membantu militer Amerika Serikat dalam menjadi penerjemah dalam misi untuk menjatuhkan ISIS. Ayahnya juga ikut bekerja sebagai sopir bagi tentara Amerika Serikat, khususnya dalam mencari informasi di kalangan warga lokal. Malangnya, bekerja dengan militer Amerika Serikat, membuat keduanya terjebak dalam keadaan yang akhirnya merenggut nyawa Ayah Aalem.
Diikuti oleh peristiwa tersebut, nyawa Aalem di kota kelahirannya menjadi semakin berbahaya. Dalam pelarian yang panjang melalui jalur darat dan laut, Aalem meninggalkan ibu dan adik-adiknya di Kota Kunduz. Perjalanan jauh ditempuhnya hingga akhirnya Aalem mendapatkan kesempatan untuk melakukan registrasi sebagai pencari suaka di Jakarta. Menunggu hingga bertahun-tahun di pengungsian, para pencari suaka dibiarkan tanpa adanya kejelasan dan kemajuan serta tidak diperbolehkan bekerja ataupun bersekolah.
Pulang ke rumah tentunya bukan opsi yang dapat diambil Aalem. Walaupun kekuatan ISIS sudah tidak sekuat dan sebanyak saat Aalem meninggalkan negaranya. Namun, nyawanya masih terancam bahaya oleh adanya kelompok Taliban yang mulai menguasai kota kelahirannya. Secara realistis, kepulangannya ke tanah kelahirannya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Kembali ke aula gedung kuning, makanan pemberian warga sekitar sudah mulai disantap oleh para penghuni. Kebanyakan dari mereka sudah menjadi penghuni tetap gedung kuning sejak 2019. Namun, kebanyakan dari mereka sudah berada di Indonesia jauh lebih lama dari itu. Ditengah ketidakpastian akan masa depan mereka, setiap penghuni sepertinya tetap menikmati hari raya yang aman dan tanpa ketakutan perang.
Pandangan Aalem jatuh kepada Abdul, pemuda berumur 30-an asal Afghanistan yang sudah hampir 10 tahun “singgah” di Indonesia menunggu kepastian. Pada akhir 2019, tepat sebelum pandemi melanda seluruh dunia, Abdul sudah mendapatkan lampu hijau dari negara ketiga yang akan menerimanya sebagai refugee. Menurut kabar yang diterimanya, dirinya menjadi salah satu penerima suaka Australia yang nantinya akan menempati Pulau Christmas. Sayang, pandemi menghancurkan semua harapan dan rencananya. Sampai sekarang agensi para pengungsi belum memberikan kejelasan apapun mengenai status penerima suaka.
Sejujurnya, negara idaman Aalem yang diharapkannya akan menerimanya sebagai pencari suaka adalah Swedia ataupun Jerman. Namun, setelah realita menamparnya lebih jauh, Aalem menyadari negara apapun yang menerimanya merupakan negara yang terbaik baginya. Sebenarnya, Aalem sudah hampir nyaman dan jatuh cinta dengan Jakarta. Memang kota ini keras dan dingin pada penduduknya. Tetapi, bagi Aalem kerasnya kota Jakarta tidak ada apa-apanya dibanding teror dan ketakutan yang dihadapinya di Kunduz. Terlebih lagi, budaya dan adat-istiadat Indonesia dianggapnya lebih dekat dengan negeri asalnya dibanding negara-negara yang akan menerimanya kelak. Sayangnya, keadaan Indonesia yang tidak dapat mengambil status para pencari suaka, membuat harapannya ini menjadi tidak dapat diraih.
Dilihatnya gadis muda asal Irak yang tadi bertanya kepadanya sedang membagikan daging kepada adik-adiknya. Iba Aalem rasakan bagi anak-anak kecil tersebut, pencarian jati diri mereka akan lebih rumit daripada anak pada umumnya. Apakah mereka Indonesia? Ataukah mereka Iran? Syukur-syukur jika mereka sudah mendapatkan negara yang sudi menampung sebelum umurnya menginjak 20 tahun. Sedih lagi diingatkan, bagaimana mereka sama sekali tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Hanya beberapa kali para relawan membantu mengajar anak-anak di gedung kuning, itupun terhenti total sejak pandemi. Lagi-lagi hak dasar sebagai manusia tidak dapat diraih para pencari suaka.
Suaka, saat pertama kali mengetahui statusnya di Jakarta hanyalah sebagai “Pencari suaka” dan bukan sebagai “Pengungsi” Aalem hanya menerimanya tanpa memikirkannya lebih jauh. Namun, konsekuensi yang diterimanya membuat Aalem menyadari seberapa merugikannya status barunya tersebut. Tidak boleh bekerja tetapi disisi lain kebutuhan sehari-hari hanya bergantung dari kemurahan hati para relawan, tidak mempunyai hak mendapatkan pendidikan dan kesehatan dasar, bertahun-tahun digantungkan kemurahan hati negara lain untuk mengubah status mereka menjadi “Pengungsi”. Dongkol Aalem rasanya, setiap mengingat kata “Suaka” dalam Bahasa Indonesia selain digunakan untuk mereka, para manusia yang mencari perlindungan, digunakan pula untuk margasatwa. Semakin geram perasaan Aalem membayangkan bagaimana para hewan tersebut hidup lebih nyaman dan diperhatikan di suaka margasatwa, daripada mereka manusia yang dengan segala kesialannya lahir di negara penuh konflik.
Dilihatnya lagi si malang Abdul, yang bukannya menyantap makanan mewahnya malah dengan telaten menyisihkan ikannya untuk kucing liar di gedung kuning. Sekali lagi, dalam beberapa hal, hidup para hewan di kota ini jauh lebih manusiawi daripada manusianya sendiri.