“Andigan do Pesta i?”

Lusius Sinurat
Lusius Sinurat
Published in
4 min readMay 27, 2016

Lazim terjadi ketika wanita Indonesia ditanya kapan menikah lantas menjawab “belum ada lelaki yang mau menikahiku.”

Kultur kita emang lelaki banget, sangat patrinialis. Maka sehebat apa pun seorang wanita, ia tak pernah menikahi pria. Aneh bagi orang Indonesia kalai wanita menikahi pria. Hanya pria yang boleh menikahi wanita. Sementara wanita hanya berhak “dinikahi”. Titik.

Memang selalu ada pengecualian di Indonesia, seperti adat Minangkabau yang menganut paham matrilineal. Tapi itu juga hanya simbolik belaka.

Entah karena kelamin wanita bekerja secara reseptif, dan kelamin pria bak panah yang bertugas menyerang secara aktif, tapi paham perkawinan dalam kultur kita secara jelas menomorduakan wanita dalam hal perkawinan.

Kultur perkawinan yang Indonesia banget ini tentu saja memiliki konsekuensi:

Pertama, hanya pria yang boleh menikahi wanita, dan bukan sebaliknya wanita menikahi pria.

Kedua, seluruh biaya prosesi perkawinan pun sudah semestinya ditanggung pria. Tak peduli si wanita lebih banyak duit dari si pria.

Kendati si calin istri lebih banyak uang dan bersedia menanggung biaya pesta adat yang super mahal itu, tapi hal iti tak boleh diketahui publik. Tentu saja si calon suami (dan keluarganya) keberatan bila hal itu sampai terjadi. Bagi orang Indonesia, kelemahan harua disembunyikan. Begitu pula kemiskinan tak boleh dipublikasikan.

Ketiga, wanita tak punya hak menentukan ‘arah keluarga baru’ yang ia akan bangun bersama suaminya. Tentu saja, secara ekonomis hal ini seolah-olah masuk akal. Bukankah si pria telah membiayai pesta, mempersiapkan tempat tinggal, dan kelak akan membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga baru itu? Belum lagi, selama pacaran, si pria lah yang selalu mentraktir si wanita yang sekarang jadi istrinya.

Terkait hal ini, seorang gadis Amerika yang akan dinikahi pria Batak curhat, “Lusius, sepertinya jadi gadis Indonesia (maksudnya Batak) sangat enak ya. Mereka tinggal tunggu ada yang menikahi dirinua. Itu saja sudah cukup. Segala biaya pesta akan ditanggung calon suaminya. Lagian, kenapa juga harus pesta meriah sih?

Saya pikir ini yang membuat pria Indonesia, eh pria Batak, baru akan menikah pada usia 30-an. Tentu, ia harus mengumpulkan banyak duit intuk biaya pesta kawinannya nanti, bukan?

Cinta? Ah, rasanya itu hanya saat pacaran saja mereka ungkapkan. Sebab, setelah menikah mereka akan menjadi pragmatis dan si istri tak menjaga penampilan lagi. Jangan-jangan, bagi orang Indonesia mencintai itu tak lebih dari sekedar memiliki ya, “Aku, Gomong akan mengambil engkau, Dorkas sebagai istriku dalam untung dan malang….”.

So, kalau istriku sudah kucintai selama pacaran, ia harus milikku yang kujaga, apalagi dia memberiku anak: “Bukankah sinamot/bellis/bõwö alias maskawin sudah kubayar? Bukankah duitku sudah habis demi menyelenggarakan pesta adat, tepatnya demi menunjukkan betapa hebatnya aku kepada keluarga calon istriku? Jaddi, kini kau jadi milikku dan jadilah istri yang baik dan patuh pada suami.”

Teman tadi ada benarnya. Wlaupun sebagai orang Batak yang sedikit mengerti ritual adat perkawinan Batak, dia tak sepenuhnya benar. Karena setelah dinikahi, si wanita justru menjadi orang yang paling ditakuti suaminya. Itu sebanya ada istilah “Polisi Toba” ha ha ha..

Kembali ke persoalan perkawinan versi kuktur Timur, termasuk Indonesia.

Dari sudut itu sangat jelas terlihat betapa wanita (sebelum menikah) selalu pasif. Ia menunggu ditaksir, dilamar dan dinikahi, bahkan siap melahirkan anak yang memakai marga suaminya.

Taoi setelah menikah, wanita justru lebih aktif. Mungkin 1–5 tahun pertama, si istri akan memperlakukan suaminya sebagai tuan di ranjang, pembantu siaga 2r jam untuk suaminya, dan setia memperhatikan seluruh keperluan suami.

Sayangnya, sikap itu tergantung pada tingkat pendapatan suami setelah menikah. Kayaknya perkataan orang pasaran yang percaya “perkawinan adalah pelacuran resmi” ada benarnya. Anda kasih dhit yang banyak ke istri, maka servisnya akan topcer. INtinya, bagi suami yang ingin diperlakukan bak Don Juan, nikajilah gadia molek dan pintar, lalu penuhi segala kebutuhan (juga keinginannya), maka ia akan sabar menantimu di rumah.

Kalau begitu, gimana donh seandainya si pria bangkrut, kehilangan pekerjaan, hingga kehabisan uang? Gampang. Ia tinggal menyuruh istrinya bekerja (jadi apaoun), dan ia rela menjadi bapak rumah tangga yang sabar menunggu istri pulang kerja.

Artinya, seorang suami hanya mempunyai hak atas istri, selama ia mampu membahagiakan istri, khususnya secara material. Di titik inilah suami berhak menyuruh istri melakukan apa saja. Persis pada momen ini istri (orang Batak) akan bersyukur menjadi seorang istri.

Ini bukan soal gender. Ini soal kultur yang tak mudah diubah. Fajtanya hingga hari ini, kebiasaan pesta “mangadati” plus sinamot masih kerap menjadi notifikasi utama sebelum seorang pria memutuskan akan menikah.

Hingga hari ini, ketika pekerjaan dan pendapatan wanita jauh di atas calon suaminya, persoalan “jambar, ulos, simalot, dll. masih kerap dipertahankan. Andai saja si wanita rela membiayai seluruh pesta dan meminta sinamot hanya sebagai simbol (boleh berapa aja), maka kelak si pria akan mengalami alienasi dan kesepian. Sesama bapak-bapak akan mengatainya, “Tabo do ibana bah. Ai inantana do manhor ibana.” (Enak banget dia ya. Istrinya yang membelinya, bukan sebaliknya).

Syukurlah, ada sedikit pergeseran dalam hal adat ini. Beberapa hal nulai ditoleransi. Apalagi Rupiah sudah anjlok jadi 16.0000 terhadapa US Dolar.

Kalau biasanya wanita Indonesia (yanh saya tahu di masyarakat Batak) selalu berharap dinikahi orang kaya, agar kebutuhan dan keinginannya krlak terpenuhi. Ajaibnya, demi mendapatkan istri kaya, banyak pula pria yang akting ‘tampil sok kaya’. Tentu agar ia dapat menikahi wanita dari keluarga kaya.

Kalaupun hal itu terwujud, maka demi harkat dan martabat keluarganya, si pria akan berhutang demi pesta adat,yang meriah dan demi menebus si gadis pujaan lewat sinamot yang banyak. Sebab, semakin meriah sebuah pesta adat, maka ia akan dimuliakan sebagai orang yang kaya dan berhasil.

Ini soal status keluarga bos. Sebab pada akhirnya, dalam konteks budaya Timur, hal terpenting dalam pernikahan bukanlah bagaimana cara membangun keluarga, tetapi pertama dan utama adalah semeriah apa pesta (adat) perkawinan itu dirayakan.

Sedemikian besar efrk pesta adat hingga orang kita selalu bertanya kepada siapa pun yang sudah dewasa tapi belum ingin menikah, “Kapan pestanya?”, bukan “Kapan menikah?”

Jadi, andigan do pesta i? (Jadi, kapan pestanya?)

--

--

Lusius Sinurat
Lusius Sinurat

Boook writer, data entry, article writing, content writing, ghostwriting, copywriting, book review, etc.