Mendefinisikan Bahasa: Bilangnya A Maksudnya B

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa
Published in
7 min readDec 21, 2020

Beberapa dari pembaca pasti pernah mendengar atau terlibat sendiri dalam percakapan demikian:

A: “Kamu bisa oper garamnya gak”

B: “Bisa.”

A: “….”

B: “….”

A: “Maksud gua tolong ke siniin garamnya, bambang.”

B: “Oh, ngomong dong. Hehe.”

Anda mungkin adalah A. Atau mungkin si B, yang telah mencapai puncak Komedi™. Bagian yang paling menyita perhatian tentu dialog A yang mengatakan “Maksud gua …”. Apakah maksudnya pertanyaan A pada B yang menanyakan apakah B bisa memberikan garam kepada dirinya artinya sama dengan menyuruh dirinya untuk memberikan garam? Kalau iya, mengapa tidak mengatakan demikian sejak awal?

Bagaimana kita tahu makna satu ucapan bermakna lain?

Dalam tulisan saya tentang Semantik, saya pernah mengatakan bahwa dalam Linguistik, makna terbagi ke dalam dua kategori: makna pembicara dan makna kata. Semantik adalah bidang yang mempelajari tentang makna kata. Bagaimana dengan makna pembicara? Lagipula, apa itu makna pembicara? Untuk menjawab itu semua, kita harus berkenalan dengan Pragmatik.

Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari, anda pasti bisa menebaknya, makna pembicara. Makna pembicara adalah maksud atau tujuan dari pembicara ketika ia mengatakan sesuatu. Dalam dialog diatas, A ingin meminta B untuk memberikan garam kepadanya ketika ia bertanya apakah B bisa mengoper garam kepadanya.

Tapi bagaimana kita tahu bahwa A ingin meminta B untuk memberinya garam? Pragmatik mengikutsertakan konteks dalam mempelajari makna pembicara.

Konteks terbagi ke dalam dua jenis: fisik dan kebahasaan. Konteks fisik dalam dialog diatas adalah bentuk fisik garam, entah dalam kemasan apapun. Konteks kebahasaan adalah konteks terkait pembicaraan sebelum-sebelumnya. Misalnya sebelumnya ada seseorang, sebut saja C, yang mengatakan bahwa ada garam di meja makan.

Konteks sangat mempengaruhi makna pembicara. Jika kita mengambil pertanyaan A pada B, dan meletakkannya di konteks yang berbeda, kita akan melihat bahwa makna pertanyaan A akan berubah. Misalkan dalam konteks percakapan doktor-pasien. A adalah dokter yang bertanya apakah B bisa menggerakkan tangannya untuk memindahkan garam di dalam sebuah tes untuk melihat apakah tangannya telah berhasil pulih atau belum. Atau mungkin B tengah menjalani terapi fobia garamnya, dan A ingin tahu apakah B masih fobia terhadap garam atau tidak. Banyak kemungkinan.

Selain melalui konteks, Pragmatik juga mempelajari makna melalui presuposisi. Mungkin terdengar ribet atau wow, tapi sebenarnya presuposisi adalah sesuatu yang simpel. Presusposisi adalah asumsi atau pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan. Anda pasti pernah mendengar atau ditanya polisi untuk menunjukkan SIM dan STNK saat ada tindak razia, “Boleh lihat SIM dan STNK-nya?”. Mengapa si polisi mengira anda membawa SIM dan STNK? Yah tentu saja karena anda sedang membawa kendaraan, dan tentu saja si polisi berpikir kalau anda sudah membawa kendaraan, anda harusnya memiliki SIM dan STNK. Kalau tidak demikian dan polisi tersebut berpikir anda tidak membawanya tentu anda akan langsung diberikan surat tilang saat diberehentikan.

Mari kembali sejenak ke dialog di awal.

Fenomena yang terjadi di atas, ketika A mengatakan satu hal dan mengartikan hal lain, disebut sebagai implikatur. Implikatur terbagi ke dalam dua jenis: konvensional dan konversasional. Perbedaan utama dari kedua jenis implikatur tersebut adalah implikatur konvensional selalu berarti sesuatu dalam konteks apapun. Misalnya ketika seseorang mengatakan, “Dia orangnya gak selalu galak, kok.” Implikatur konvensional dari ujaran tersebut berarti dia kadang berlaku baik, atau tidak galak. Implikatur konversasional, dilain sisi, melibatkan lebih banyak hal dalam kemunculannya.

Kalau bicara soal implikatur konversasional, maka nama Paul Grice sulit untuk dilewatkan.

Paul Grice, salah satu tokoh besar dalam Pragmatik

Paul Grice adalah salah satu tokoh ternama dalam dunia Pragmatik. Ia mempelajari implikatur konversasional dan menghasilkan sebuah maksim, sebuah prinsip fundamental yang harus dianggap benar, tentang komunikasi manusia. Ia menghasilkan 4 prinsip fundamental yang kemudian dikenal dengan Maksim Grice. Implikatur konversasional, menurut Grice, muncul karena orang-orang dalam sebuah tindakan komunikasi saling berekspektasi satu sama lain untuk mematuhi prinsip-prinsip tersebut.

Apa saja prinsip-prinsip tersebut?

Maksim yang pertama adalah maksim kualitas. Maksim ini mengatakan setiap ujaran yang seseorang keluarkan dalam sebuah tindak komunikasi harus memenuhi dua hal: benar dan memiliki bukti yang cukup untuk membuktikkan kebenarannya. Inti dari maksim ini adalah katakan sesuatu yang memang benar adanya.

Maksim kedua adalah maksim kuantitas. Maksim ini mengatakan ketika berkomunikasi, pembicara diharapkan hanya berbicara secukupnya, dan tidak memberikan informasi yang jumlahnya berlebihan.

Maksim ketiga adalah maksim relevansi. Dari namanya, pembaca mungkin bisa menebak aturan dari maksim ini. Ketika berkomunikasi, pembicara diharapkan hanya mengatakan sesuatu yang relevan.

Maksim terakhir adalah maksim cara. Cara yang dimaksudkan disini adalah cara penyampaian. Ketika seseorang mengatakan sesuatu dalam situasi komunikasi, ia diharapkan tidak mengaburkan informasi, membuat ambigu, bertele-tele, dan menyampaikan informasi secara acak atau tidak berurutan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat beberapa contoh. Berikut adalah dialog antara Maman dan Bambang yang bertemu di jalan.

Maman: Halo, Bambang. Kamu mau kemana?

Bambang: Aku mau pergi ke toko buku untuk beli komik.

Maman: Baiklah. Hati-hati di jalan.

Dialog di atas tampak tepat pada intinya, tidak bertele-tele, efisien, dan efektif. Tetapi, tentu tidak semua pembicaraan sehari-hari kita seperti itu. Bahkan untuk ukuran percakapan antara seorang teman, tampaknya tidak akan terdengar seperti itu.

Mari kita tambahkan konteks pada dialog diatas. Misalkan, Bambang berpikir bahwa membeli komik adalah hobi yang terlalu kekanak-kanakan untuk orang seusia dirinya. Dia berusaha menyembunyikan hobinya tersebut dari orang-orang. Maka, bisa saja dialog diatas menjadi seperti berikut:

Maman: Halo, Bambang. Kamu mau kemana?

Bambang: Aku cuma sekedar jalan-jalan. Cari angin. Entar lagi juga pulang.

Maman: Baiklah. Hati-hati di jalan.

Kemudian beberapa saat kemudian Maman bertemu dengan Bambang yang sedang memborong komik di toko buku. Maman kemudian berpikir kalau Bambang berbohong, atau dalam istilah Maksim Grice, melanggar maksim kualitas yang mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam perbicaraan diharapkan berkata jujur.

Mengapa Bambang berbohong?

Kita bisa kembali pada konteks, atau dalam hal ini presuposisi Bambang tentang hobinya yang mengoleksi komik sebagai kenak-kanakan. Bambang pasti sangat tidak ingin hobinya diketahui oleh orang lain. Mungkin Bambang bisa menggunakan layanan online delivery lain kali.

Mari kita lihat lagi beberapa contoh lain.

Misalkan, Andin baru saja mendapat pacar baru. Sahabat dekatnya, Amel, kemudian menanyakan bagaimana rupa si pacar baru Andin.

Amel: Gimana pacar kamu yang baru? Ganteng gak?

Andin: Dia baik hati dan rajin menabung, kok.

Sudah jelas jawaban Andin tidak relevan dengan pertanyaan Amel. Anggaplah Andin tidak berbohong dan memang pacar barunya baik hati dan rajin menabung. Andin dengan jelas melanggar maksim relevansi yang mengatakan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan komunikasi menyampaikan sesuatu yang relevan. Apa hubungannya ganteng dengan baik hati dan rajin menabung? Mengapa Amel berkata demikian?

Bisa jadi Andin melakukannya untuk membela pacarnya. Andin mungkin sudah tahu ‘ganteng’ seperti apa yang dipikirkan oleh Amel, dan mungkin ia berpikir kalau Amel bakal menyindir pacarnya Andin kalau Amel tahu dia tidak ganteng. Lagipula, kemampuan finansial memang seharusnya menjadi prioritas utama dalam kondisi yang serba tidak menentu saat ini.

Tinggal dua contoh lagi untuk masing-masing maksim kuantitas dan cara.

Pembaca mungkin pernah mendengar meme spongebob yang satu ini.

Spongebob Mockery Meme

Bagi yang belum tahu, meme ini digunakan ketika seseorang ingin mengejek komentar atau opini seseorang. Bagaimana contohnya? Tapi serius deh, kalau kalian gak tahu meme ini kalian gak berbudaya banget sih. Lebih baik kalian mengedukasi diri dengan literasi meme habis baca postingan ini.

TaPi SeRiUs DeH, KaLaU KaLiAn GaK TaHu MeMe InI KaLiAn GaK BeRbUdAyA BaNgEt SiH. LeBiH BaIk KaLiaN MeNgEdUkAsI DiRi DeNgAn LiTeRaSi MeMe HaBiS BaCa PoStInGaN Ini

Keliatan bedanya, kan? Kata-katanya sama, tapi cara penyampaian, lebih spesifiknya cara penulisannya, sangat melenceng dari gaya penulisan bahasa Indonesia, bahkan dari gaya non-formal sekalipun. Ketika ada seseorang yang menulis atau menggunakan meme tersebut dalam sebuah diskusi online, bisa dipastikan kalau dia melanggar maksim cara.

Mengapa orang menulis dengan gaya seperti ini? Yah itu tadi, fungsinya meme ini untuk mengejek komentar atau opini seseorang. Mungkin sesuatu yang tidak boleh dikatakan di internet telah dikatakan jadi meme ini harus digunakan.

Sekarang contoh terakhir untuk maksim yang terakhir.

Bayangkan dunia sedang berakhir: hujan meteor dan gunung menjadi seringan kapas dan berterbangan. Bambang sedang bersama Andin, pacar barunya, menyaksikan dunia berakhir di depan mata mereka.

Andin: Sayang, lihat. Meteor sudah meratakan seluruh kota! Gunung-gunung juga berterbangan.

Bambang: Oh begitu.

Pemandangan yang mungkin disaksikan oleh Andin dan Bambang

Respon Bambang dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Reaksinya dirasa terlalu biasa-biasa saja terhadap sebuah kejadian yang sangat besar. Bambang mungkin sudah terbiasa dengan kejadian tersebut. Pengalamannya tinggal di kota besar dengan keseharian hidup-atau-mati mungkin sudah menempa jiwanya menjadi jiwa baja. Bambang mungkin sudah tidak kaget kalau kiamat akan segera datang saat Ia melihat dan menilai kondisi umat manusia yang sudah kelewat batas. Tinggal menunggu waktunya saja, pikir Bambang.

Atau mungkin, Bambang adalah orang yang sengaja mengarahkan meteor ke bumi. Bambang mungkin ingin menjadi makhluk baru yang akan menguasai makhluk lainnya. Untuk melakukan itu, dia perlu untuk menjadi satu dengan bumi dan menyedot semua energi yang dimiliki bumi. Ia harus merusak bumi terlebih dahulu dan saat bumi berusaha menyembuhkan dirinya sendiri, Bambang bisa menyatu dengan energi bumi dan menjadi satu dengan bumi. Setidaknya itu menurut gim yang pernah saya mainkan.

Pragmatik telah menunjukkan betapa kompleksnya situasi yang terjadi di balik proses komunikasi. Suatu ujaran bisa berubah maknanya sesuai konteks dimana ujaran itu muncul. Komunikasi adalah proses yang sensitif dan kompleks yang mematuhi aturan-aturan yang sering tidak tertulis. Ajaibnya, kita melakukannya tiap hari (dan tanpa kita sadari!).

Linguistik memang sering menunjukkan bagaimana kita sebenarnya bisa melakukan hal yang luar biasa kompleks tanpa menyadarinya.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.