Narasi-Narasi Revolusi Industri 4.0

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa
Published in
17 min readJan 20, 2021

Sewaktu meginjak semester akhir, saya pernah mengikuti salah satu seminar yang diadakan oleh prodi tentang penerapan teknologi dalam bidang Linguisitk. Saya sedang mulai tertarik dengan topik-topik berbau teknologi waktu itu, tetapi sepertinya waktu itu topiknya terlalu berat. Terlalu banyak kosa kata yang terdengar asing dan tidak dijelaskan dengan baik oleh pembicara waktu itu. Seminar berakhir dengan saya tidak mengerti dengan topik Linguistik yang dibawakan begitu pula dengan sisi teknologinya. Saya kemudian sadar bahwa saya ̶s̶a̶l̶a̶h̶ ̶m̶e̶m̶i̶l̶i̶h̶ ̶j̶u̶r̶u̶s̶a̶n̶ masih harus banyak belajar.

Sebenarnya, ada satu hal yang saya ingat dari seminar tersebut. Saya cuma ingat bahwa seminar itu memiliki tajuk Revolusi Industri 4.0. Selepas seminar, saya dan teman saya berkelakar kalau Revolusi Industri 4.0 itu sudah menjadi buzzword, atau kalau menurut bahasa kami “kata-kata yang membuat anda tampak relevan di zaman kontemporer”.

Anda berencana untuk membuat seminar tentang sebuah bidang yang relevan atau tidak relevan di zaman modern dan ingin membuatnya semakin relevan? Silahkan gunakan template nama seminar berikut ini: [Bidang Anda] dan Revolusi Industri 4.0: Tantangan dan Kesempatan. Atau, kalau anda ingin terdengar lebih berkelas, global, dan otoritatif, gunakan: [Bidang Anda dalam bahasa Inggris] and Industry 4.0: Challenges and Opportunities.

Sangat original.

Dari pengalaman tersebut, saya kemudian sadar bahwa definisi Revolusi Industri 4.0 itu terkadang terdengar rumit dengan segala bahasanya dan sering kali diterima begitu saja karena orang-orang entah memang mengerti atau tidak ingin mencoba mengerti. Hal ini cukup berbahaya, menurut saya pribadi, karena dampak dari Revolusi Industri 4.0 sangat besar seperti yang akan kita bahas nanti.

Mari kita mulai dari membahas definisi Revolusi Industri 4.0 sendiri. Revolusi Industri 4.0 sendiri terdiri dari dua komponen: Revolusi Industri dan 4.0. Mari kita bahas satu persatu.

Tentang Revolusi Industri

Anda mungkin sama seperti saya yang hanya mendengar Revolusi Industri dari buku sejarah, ekonomi, atau buku persiapan SBMPTN Soshum. Dalam buku-buku tersebut, Revolusi Industri selalu dikaitkan dengan penemuan mesin uap yang merubah proses orang-orang memproduksi barang.

Mesin uap temuan James Watt yang menjadi pendorong terjadinya Revolusi Industri

Bagaimana mesin uap merubah proses orang-orang memproduksi barang? Mesin uap setidaknya merubah dua hal: jumlah sumber daya yang dibutuhkan, dan jumlah barang yang dapat diproduksi.

Sebelum digunakannya mesin uap dalam proses produksi barang, manusia dan alam, seperti angin dan air, adalah sumber utama untuk memproduksi barang. Manusia mengandalkan otot-ototnya untuk mendapatkan bahan, memproduksi, dan memindahkan barang. Tetapi, manusia tidak bisa bekerja 24 jam dan butuh waktu untuk istirahat. Arus air dapat digunakan untuk menggerakan kincir air yang kemudian dapat membantu manusia memproduksi barang. Bergantung pada arus air mengakibatkan tempat produksi harus dekat dengan sungai atau air terjun yang dapat memutar kincir air. Angin digunakan ketika manusia ingin berlayar untuk memindahkan barang dan manusia, tetapi ada hari dimana angin tidak bertiup.

Dengan ditemukannya mesin uap, air terjun dan angin mulai kehilangan tempatnya. Mesin-mesin yang sebelumnya berputar karena arus air, seperti kincir air, kini dapat digantikan oleh mesin uap. Tempat produksi barang kini bisa muncul dimana saja. Kapal yang tadinya hanya bisa mengandalkan angin untuk berlayar kini bisa berlayar lebih bebas karena mesin uap.

Bagaimana dengan manusianya?

Manusia masih tetap dibutuhkan dalam fase ini karena mesin belum bisa mengoperasikan dirinya sendiri. Tetapi, jumlah tenaga manusia yang dibutuhkan untuk memproduksi barang kini menurun. Mesin-mesin dapat membuat pekerjaan manusia jauh lebih efektif. Orang-orang yang tadinya menggunakan tenaganya untuk memproduksi barang kini bisa dipindahkan ke tugas-tugas lain.

Perubahan ke-dua adalah tentang produksi jumlah barang. Seperti yang sudah dikatakan, mesin-mesin dapat membuat pekerjaan manusia lebih efektif. Artinya, barang-barang kini dapat diproduksi lebih cepat dan masal.

Pola-pola seperti ini lah yang kebanyakan akan kita lihat ketika kita membahas berbagai fase-fase dalam Revolusi Industri. Dari pola-pola tersebut, kita dapat mendefinisikan Revolusi Industri sebagai peningkatan produktifitas yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi, mesin, dan atau sumber daya baru. Tentu ini definisi yang simplistik dan tidak lengkap, tapi kita bisa menggunakan definisi ini sampai akhir artikel.

Maksud Dari Angka-Angka Tersebut

Komponen kedua dari Revolusi Industri 4.0 adalah angka 4.0. Apa maksud dari angka ini?

Angka ini menunjukkan fase dalam Revolusi Industri. Angka 4.0 menunjukkan fase ke-empat dalam Revolusi Industri. Fase-fase ini dicirikan oleh teknologi, mesin, dan atau sumber daya yang mengakibatkan Revolusi Industri.

Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi dari Revolusi Industri ke-satu hingga empat.

Revolusi Industri 1.0

Revolusi Industri Pertama adalah Revolusi Industri yang telah digambarkan diatas dengan pemakaian mesin uap dalam proses produksi barang.

Revolusi Industri pertama terjadi di Inggris. Hal ini didukung beberapa hal, yang salah satunya adalah batu bara. Salah satu faktor lain yang mendukung munculnya Revolusi Industri di Inggris adalah waktu itu ilmu pengetahuan di Inggris, dan Eropa pada umumnya, adalah salah satu yang terbaik. Walaupun begitu, banyak argumen yang terdengar Eurosentris ini, dimana Eropa ditempatkan menjadi pusat perubahan dunia, banyak ditentang oleh sejarawan. Sejarawan mencatat bahwa Cina dan India juga memiliki ilmu pengetahuan yang tidak kalah majunya dengan sumber daya yang juga tidak kalah banyak. Dari segi ekonomi dan teknologi misalnya, Cina sudah menguasai pasar sutra dan mereka sudah menciptakan uang kertas. Cina juga telah mencitpakan bubuk mesiu, teknik percetakan, dan kompas, walaupun yang ini masih dapat diperdebatkan.

Yang tidak bisa dipungkiri adalah Revolusi Industri pertama terjadi di Inggris, dan Eropa pada umumnya. Hal ini juga yang menyebabkan negara-negara Eropa kemudian mendominasi dunia dan berlomba-lomba untuk melakukan kolonialisasi. Mesin uap sangat membantu usaha negara Eropa untuk melakukan kolonialisasi karena mereka dapat mengarungi laut dengan lebih cepat dan stabil ketimbang hanya mengandalkan angin. Kolonialisasi oleh bangsa-bansa Eropa ini menimbulkan banyak sekali masalah dan masih dirasakan sampai sekarang dampaknya.

Revolusi Industri 2.0

Salah satu ciri dari Revolusi Industri kedua adalah digunakannya listrik dengan bahan bakar minyak.

Photo by Matthew Henry on Unsplash

Listrik tidak secara langsung menghilangkan mesin uap dari proses produksi barang. Pada tahun 1900an misalnya, kurang dari 5% dari total industri di Amerika yang dijalankan menggunakan energi listrik. Mesin uap masih bertahan.

Apa penyebabnya?

Salah satu penyebabnya adalah, para pemilik bisnis masih belum tahu bagaimana cara menggunakan energi listrik. Mereka bisa saja menggunakan mesin listrik sebagaimana mereka menggunakan mesin uap, tetapi tentu itu akan membuat potensi tenaga listrik sia-sia. Listrik bisa dikirim ke tempat yang dibutuhkan, tidak seperti mesin uap yang mengandalkan mesin besar yang diberikan batu bara untuk menghasilkan energi.

Perubahan datang ketika motor listrik berhasil diciptakan. Hal ini berarti tiap meja-meja kerja dapat memiliki sumber tenaganya sendiri. Sebelum digunakannya mesin bertenaga listrik, pekerja terus bekerja selama mesin uap terus bekerja dan berhenti ketika mesin uap berhenti. Kini, pekerja bisa mengatur ritme pekerjaannya sendiri karena Ia tidak bergantung lagi pada mesin uap.

Dengan digunakannya listrik, tentu tempat kerja kini jadi lebih aman. Dengan listrik, datanglah lampu yang dapat menerangi tempat kerja. Tenaga listrik juga memungkinan mesin hanya berputar atau berfungsi ketika dibutuhkan, tidak seperti saat ditenagai mesin uap yang terus berfungsi walaupun tidak dibutuhkan yang kadang memakan korban. Hal ini berujung pada menurunnya tingkat kematian di tempat kerja.

Penggunaan listrik yang memungkinkan tenaga dikirim ke tempat yang dibutuhkan membuat alur produksi berubah drastis. Salah satu perubahan yang paling terkenal adalah lini perakitan, atau assembly lines.

Photo by carlos aranda on Unsplash

Sebelum digunakannya tenaga listrik, ketika sebuah perusahaan ingin memproduksi atau merakit barang, barang itu diproduksi atau dirakit di satu tempat. Sumber daya atau barang yang dibutuhkan dibawa ke tempat tukang atau orang yang akan merakit satu persatu. Dengan digunakannya tenaga listrik, kini orang dan sumber daya atau barang yang akan digunakan bisa ditempatkan berjauhan dan dikirimkan oleh mesin yang digerakkan oleh tenaga listrik. Salah satu contoh yang terkenal yang mempopulerkan penggunakan lini perakitan adalah perusahaan Ford.

Penggunaan tenaga listrik dan lini perakitan dalam proses produksi barang kemudian meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Sayangnya, barang yang bisa diproduksi cepat tidak terbatas pada mobil atau alat-alat sehari-hari.

Peralatan perang juga dapat diproduksi dengan cepat. Sebelum digunakannya lini perakitan dalam produksi mesin-mesin perang, produsen pesawat Amerika hanya mencetak 3000 pesawat selama 1939. Ketika Perang Dunia ke-2 pecah, dan Amerika ikut turun tangan, produsen pesawat Amerika menghasilkan 300.000 pesawat.

Revolusi Industri 3.0

Fase ini sering disebut sebagai Revolusi Digital. Mengapa disebut demikian? Karena dalam fase ini terjadi pergeseran besar-besaran dari media analog kepada media digital. Beberapa teknologi yang sentral dalam fase ini adalah komputer, robot, dan internet.

Photo by NeONBRAND on Unsplash

Mesin-mesin yang muncul dalam Revolusi Industri sebelumnya kini berubah menjadi lebih canggih. Penggunaan komputer membuat pekerjaan manusia yang mebutuhkan perhitungan atau komputasi menjadi lebih mudah dan efisien. Masih ingat ketika saya mengatakan mesin-mesin belum dapat mengoperasikan dirinya sendiri? Hal itu kini menjadi mungkin dengan digunakannya komputer untuk mengotomatisasi pekerjaan, seperti menggerakan mesin lini perakitan yang sebelumnya harus dikendalikan oleh manusia.

Peran internet sudah tidak usah ditanyakan lagi. Dengan munculnya internet, transaksi jual-beli bisa terjadi dimana saja. Layanan seperti eBay, Amazon, dan Paypal bisa muncul karena internet mendorong kehadiran mereka sebagai bentuk inovasi. Kemunculan dan penggunaan internet yang masif juga memungkinkan akses pada informasi yang tidak pernah dialami sebelumnya. Internet memungkinkan kita untuk membuat arsip digital yang bisa bertahan lebih lama ketimbang arsip analog. Sekarang, Anda tidak usah khawatir karena Anda tidak lahir di saat band-band lawas yang ̶o̶v̶e̶r̶r̶a̶t̶e̶d̶ terkenal sedang berada di masa puncaknya. Anda bisa langsung menuju YouTube dan mendengarkan musik-musik terbaik yang pernah ada.

Tetapi, keterhubungan ini juga membawa beberapa masalah yang mungkin sudah tidak asing bagi kita. Salah duanya adalah privasi dan pengawasan massal. Beberapa dari Anda mungkin masih ingat dengan kasus besar yang muncul pada tahun 2013. Edward Snowden, mantan kontraktor badan keamanan nasional Amerika (NSA), membocorkan dokumen-dokumen terkait pengawasan massal yang dilakukan oleh NSA terhadap 193 negara. Jumlah itu adalah jumlah seluruh negara yang terdaftar menjadi anggota PBB. Pengawasan massal ini meliputi akses pada surel, telefon, lokasi pada GPS, kamera pengawas (CCTV), dan lain-lain. Sejak kasus itu terkuak, isu tentang privasi dan pengawasan massal terus menjadi isu sentral dalam dunia internet.

Teknologi, seperti yang kita lihat dalam Revolusi 1.0 hingga 3.0, meningkatkan kemampuan kita untuk melakukan berbagai tindakan. Pertanyaannya, tindakan apa yang seharusnya kita lakukan?

Dalam Revolusi Industri 4.0, pertanyaan ini akan semakin mendesak untuk dijawab.

Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 dapat dikatakan sebagai lanjutan dari Revolusi Industri 3.0. Di Revolusi Industri 3.0, proses otomatisasi, dimana mesin dapat mengerjakan pekerjaan manusia, mulai terjadi. Di Revolusi Industri 4.0, proses ini kemudian dibantu oleh beberapa konsep yang mungkin Anda sudah pernah dengar atau baca sebelumnya, salah satunya adalah Internet of Things (IoT).

Buat pembaca yang cukup jeli, kehadiran IoT mengimplikasikan adanya Internet of Non-Things, atau Internet untuk bukan benda. Yah, tentu saja ada. Anda bahkan mungkin sudah melihatnya jauh-jauh hari. Kalau Anda sadari, internet berisikan konten atau data yang dimasukkan atau diunggah oleh manusia, Non-Things. Anda, asumsinya Anda adalah manusia tentunya, bisa membuat cuitan di Twitter, “Wow, hari ini udah lari 10 km dan rasanya capek banget.” Benda, atau Things, juga dapat memberikan informasi yang serupa, tentang jarak yang anda tempuh, dan indikasi rasa lelah anda, seperti detak jantung dan mengirimnya ke suatu tempat melalui internet. Salah satu benda yang dapat melakukannya adalah jam pintar.

Photo by Lloyd Dirks on Unsplash

Bagaimana jam pintar Anda mengetahui ini semua? Karena hampir di semua gawai Anda terdapat sensor yang dapat berperan seperti indera pada diri manusia. Sensor ini dapat membantu gawai Anda untuk mengetahui kondisi sekitar. Misalnya, ada sensor yang dapat mengetahui tingkat cahaya di suatu ruangan pada sebuah ponsel. Ponsel ini kemudian dapat menyesuaikan intensitas cahaya yang dikeluarkan layar hape agar tetap membantu Anda untuk nyaman dalam menggunakan ponsel. Atau, contoh yang paling umum adalah GPS, dimana Anda dapat mengakses lokasi Anda atau ponsel Anda dengan terhubung ke satelit via internet.

Disinilah kata internet dalam IoT bermakna. Gawai Anda akan selalu terhubung ke internet. Kondisi gawai, berapa lama tangan Anda menggenggam gawai tersebut, seberapa dekat Anda meletakkan ponsel dari diri Anda saat bicara, berapa lama Anda berbicara, dan info atau data lainnya kemudian akan dikirim pada suatu tempat yang disebut platform IoT. Di tempat ini, pengembang dapat mendapatkan data-data tentang produk atau penggunaan produk mereka secara langsung (real-time). Karena sifatnya yang real-time ini, data-data ini datang dengan jumlah yang sangat besar. Bisa Anda bayangkan berapa orang yang menggunakan gawai dan terhubung ke internet? Fenomena ini dalam Revolusi Industri 4.0 kemudian kita kenal sebagai Big Data, walaupun konsep Big Data sendiri sudah ada sejak awal 2000an.

Lalu digunakan untuk apa saja data-data ini? Dari sisi cara kita memproduksi barang, data-data dapat membantu kita untuk meningkatkan produktivitas. Misalnya, data tentang berapa lama produk dapat bertahan, dan dalam kondisi apa barang tersebut rusak yang kemudian dapat menjadi data untuk apa-apa saja yang harus ditingkatkan dari sebuah produk. Penggunaan data demikian kadang digolongkan sebagai Pembelajaran Mesin (Machine Learning).

Bagaimana mesin dapat belajar? Artikel yang bagus ini dapat membantu Anda. Secara garis besar, data yang tersedia akan dibagi ke dalam dua jenis: yang digunakan untuk berlatih dan menguji untuk membuktikkan bahwa latihannya menunjukkan hasil yang baik. Mesin kemudian akan membaca data yang digunakan untuk berlatih dan menghasilkan hipotesis. Misalnya, mesin yang berumur sudah lebih dari 10 tahun dan memiliki rata-rata temperatur lebih dari 100°C selama lebih dari 5 hari berturut-turut memiliki kemungkinan kerusakan yang besar (Terdengar seperti laptop saya). Hipotesis ini kemudian diuji dengan menggunakan data untuk menguji: apakah hipotesis ini benar atau tidak? Jika benar, hasil hipotesis ini kemudian diterapkan dan jika ada data baru yang masuk yang menunjukkan mesin yang sudah lebih dari 10 tahun dan memiliki rata-rata temperatur lebih dari 100°C selama lebih dari 5 hari berturut-turut, penyedia mesin bisa menghubungi pemilik mesin terkait, misalnya pemilik pabrik, untuk memberi tahu bahwa ada kemungkinan bahwa mesin tersebut akan mengalami kerusakan dan harus segera mendapat penanganan.

Ketika sudah membicarakan Pembelajaran Mesin, sulit rasanya tidak membicarakan Kecerdasan Buatan, bahkan tidak mungkin. Mengapa? Karena Pembelajaran Mesin adalah bagian dari Kecerdasan Buatan. Kecerdasan Buatan adalah bidang besar dimana terdapat berbagai bidang-bidang lain di dalamnya, seperti Pembelajaran Mesin, Pemrosesan Bahasa Alami, Robotika, dan lain-lain. Kecerdasan Buatan sendiri adalah salah satu elemen Revolusi Industri 4.0 yang terkenal, atau mungkin paling terkenal, di kalangan umum. Mulai dari film, novel, dan berita, hampir semua media yang kita konsumsi sudah membicarakan tentang Kecerdasan Buatan.

Photo by Possessed Photography on Unsplash

Kecerdasan Buatan sendiri adalah salah satu elemen yang sering diperdebatkan keberadaannya: haruskah kita berjalan menuju masa depan bersama Kecerdasan Buatan? Atau sebaiknya kita kubur dalam-dalam saja konsep ini? Apa yang harus kita lakukan jika misalnya kita memilih berjalan bersama kecerdasan buatan?

Kita akan mencoba memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan melihat asal-usul pertanyaan tersebut. Kita akan melihat narasi-narasi tentang Revolusi Industri 4.0, khususnya tentang Kecerdasan Buatan.

Narasi-Narasi Tentang Revolusi Industri 4.0

Ketika membicarakan tentang Revolusi Industri 4.0, hal yang sering diperbincangkan adalah bagaimana teknologi baru, seperti robot dan kecerdasan buatan, dapat memengaruhi kehidupan kita. Di Amerika Serikat, satu robot dapat menggantikan 3.3 manusia dalam bidang pembuatan barang (manufaktur). Dari segi produksi, penggunaan robot untuk mengotomatisasi pembuatan barang dapat menekan biaya produksi yang membuat barang-barang menjadi lebih murah.

Revolusi Industri 4.0 juga memungkinkan produsen untuk memproduksi barang yang benar-benar diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Hal ini dibantu oleh data-data yang telah dikumpulkan sebagaimana sudah dijelaskan dalam bagian IoT. Model pengembangan produk ini dikenal sebagai User Centered Design (UCD). Pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, seperti desainer User Experience (UX) dan User Interface (UI), muncul akibat mulai sadarnya produsen untuk selalu berfokus pada pengguna/pelanggan dalam setiap tahap produksi. Kini, iklan dan/atau produsen yang blak-blakan menjual barang tanpa peduli pada pengguna tidak akan bisa bertahan di tengah arus Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 menawarkan banyak potensi untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Itulah yang sering atau bahkan selalu menjadi topik perbicangan ketika membahas Revolusi Industri 4.0. Teknologi yang semakin canggih membuka kemungkinan terhadap produk-produk baru yang revolusioner. Mungkin saja suatu hari obat untuk kanker dapat ditemukan. Yang terbaru, usaha riset vaksin virus Covid-19 juga menggunakan Kecerdasan Buatan dan menunjukkan hasil yang menjanjinkan. Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam berbagai bidang membuka kemungkinan-kemungkinan baru dan mempercepat usaha umat manusia untuk terus meningkatkan standar kehidupannya.

Tentu, kalau kita berkaca dari Revolusi Industri sebelum-sebelumnya tidak semuanya indah dan tanpa cela.

Forbes menulis artikel yang menurut saya berhasil merangkum kegelisahan terhadap perkembangan Kecerdasan Buatan. Artikel tersebut membahas tiga keegelisahan orang-orang tentang Kecerdasan Buatan: lapangan pekerjaan, penyalahgunaan Kecerdasan Buatan, dan Kecerdasan Super Buatan, atau dalam bahasa populer: SkyNet.

Kecerdasan Buatan memang telah menggantikan manusia dalam berbagai bidang pekerjaan, bahkan sebelum Revolusi Industri 4.0. Dalam Revolusi Industri 3.0, Kecerdasan Buatan telah menggantikan manusia dalam bidang produksi barang, seperti penggunaan robot dan komputer dalam lini produksi. Dengan semakin canggihnya Kecerdasan Buatan, mereka sekarang sudah dapat menggantikan manusia dalam pekerjaan lainnya, seperti pelayanan pelanggan. Majalah Fortune merilis artikel pada tahun 2019 yang memprediksi bahwa dalam 15 tahun ke depan, atau 2034, Kecerdasan Buatan akan mengambil 40% lapangan pekerjaan manusia yang ada sekarang. Tentu, seperti dalam Revolusi Industri yang lain, hilangnya pekerjaan akan tergantikan oleh jenis pekerjaan yang lain atau bahkan oleh jenis pekerjaan baru. Tapi, hal itu tidak mengatakan apapun tentang tindakan apa yang harus kita ambil untuk orang-orang yang kehilangan pekerjaannya akibat Kecerdasan Buatan. Hal ini bisa jadi salah satu sumber kegelisahan tentang Kecerdasan Buatan.

Sumber kecemasan lain adalah tentang potensi penyalahgunaan Kecerdasan Buatan. Kita sudah melihat bagaimana teknologi dalam Revolusi Industri 2.0 dan 3.0 dapat digunakan untuk sesuatu yang kita selalu percaya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi memungkinkan munculnya senjata-senjata perang baru dan produksi massal senjata-senjata tersebut. Teknologi komunikasi, seperti internet, memungkinkan pemerintah dan perusahaan teknologi untuk melakukan pengawasan massal.

Apakah hal yang serupa dapat terjadi juga dengan Kecerdasan Buatan?

Anda mungkin pernah mendengar atau melihat konten Deepfakes. Simpelnya, teknologi Deepfakes memungkinkan pengguna untuk mengubah audio dan visual dari sebuah konten dan menghasilkan sesuatu yang lain, sesuatu yang palsu (fake).

Europol, badan penegak hukum di Uni Eropa, menerbitkan laporan tentang potensi penyalahgunaan Kecerdasan Buatan, dalam kasus ini teknologi Deepfakes, dan kasus-kasus penyalahgunaan Kecerdasan Buatan di Uni Eropa. Pada Maret 2019, kepala perusahaan energi yang berbasis di Inggris mengirimkan kurang lebih 200 ribu Poundsterling (atau sekitar 3.835.904.852 Rupiah) pada seorang kewarganegaraan Hungaria setelah menerima telepon dari seseorang yang menggunakan teknologi Deepfakes yang menyamar sebagai CEO dari perusahaan energi tersebut. Teknologi Deepfakes juga telah ditemukan digunakan sebagai bukti dalam persidangan untuk hak asuh anak. Untungnya, rekaman Deepfakes tersebut dapat dibuktikan palsu dalam persidangan tersebut.

Tetapi, teknologi Deepfakes tidak menimbulkan kerusakan seperti yang dibayangkan. Europol menyebutkan ada tiga alasan mengapa hal ini demikian adanya. Yang pertama, konten Deepfakes memiliki rentang hidup yang singkat. Dengan semakin terkoneksinya orang-orang melalui internet, mudah bagi kita semua untuk melaporkan konten Deepfakes yang kemudian dapat hilang dalam sekejap. Yang kedua, menggunakan teknologi Deepfakes masih terbilang membutuhkan kemampuan teknis yang tinggi. Untuk menghasilkan konten Deepfakes yang benar-benar sulit dipisahkan dari aslinya, seseorang harus benar-benar menguasai teknologi di balik Deepfakes. Jika tidak, maka orang tersebut hanya akan menghasilkan konten yang benar-benar keliatan palsu, dan sekali lagi, dapat langsung dilaporkan dan hilang dalam sekejap. Yang ketiga, hal ini berhubungan dengan alasan kedua yaitu ada lebih banyak teknologi tradisional yang lebih efektif ketimbang Deepfakes.

Tentu alasan-alasan ini hanya dugaan sementara. Dengan semakin mudahnya akses pada Kecerdasan Buatan di masa mendatang, bukan tidak mungkin orang-orang akan semakin mudah dalam menggunakan Deepfakes untuk kegiatan kejahatan. Tentunya, kemampuan kita untuk mengidentifikasi konten palsu di masa mendatang juga akan lebih baik.

Sumber kecemasan terakhir, dan yang paling populer tentunya, adalah kemungkinan munculnya Kecerdasan Super Buatan. I, for One, Welcome Our AI Overlords (Saya menyambut Tuan Kecerdasan Buatan kita). Pernah mendengar kalimat tersebut? Dalam diskusi publik, kalimat tersebut dilontarkan untuk menyindir seseorang atau sesuatu yang memiliki kemampuan luar biasa dan keinginan kuat untuk mengontrol orang lain (terdengar seperti kucing saya).

Inggris telah berhasil diambil alih oleh Tuan Kucing.

Bagaimana dengan Kecerdasan Buatan? Apakah mungkin mereka akan sampai tahap dimana mereka memiliki kemampuan luar biasa dan keinginan kuat untuk mengontrol orang lain? Jika iya, maka kapan hal ini akan terjadi?

Sebuah studi dilakukan untuk mencari tahu kapan Kecerdasan Buatan akan dapat melampaui kemampuan manusia. Studi ini melibatkan 325 pakar Kecardasan Buatan. Hasilnya menunjukkan bahwa pakar, rata-rata, berpikir bahwa Kecerdasan Buatan dapat mengerjakan seluruh pekerjaan manusia dalam 45 tahun kedepan dan seluruh pekerjaan manusia dapat diotomatisasi dalam 120 tahun kedepan.

Bagaimana dengan Kecerdasan Super Buatan?

Vincent C. Muller dan Nick Bostrom, orang di balik teori Realita sebagai Simulasi, melakukan survey yang diikuti oleh 550 orang yang bekerja di bidang Kecerdasan Buatan dengan latar belakang berbeda-beda. Hasil menunjukkan bahwa, rata-rata, para pakar berpikir terdapat 50% kemungkinan Kecerdasan Buatan yang benar-benar setara dengan manusia muncul pada rentang tahun 2040–2050, dan 90% pada tahun 2075. Kecerdasan Super Buatan, menurut para pakar, akan muncul 30 tahun setelah kemunculan Kecerdasan Buatan demikian. Para pakar juga mengatakan bahwa ada 1 dari 3 kemungkinan Kecerdasan Super Buatan dapat memberikan efek yang buruk pada umat manusia.

Studi-studi seperti ini menunjukkan betapa kita memerlukan komunikasi terhadap perkembangan Kecerdasan Buatan itu sendiri, baik yang dilakukan oleh pakar ataupun oleh media. Kita harus memastikan bahwa perkembangan Kecerdasan Buatan tidak akan sampai pada tahap-tahap yang melewati batas. Tetapi, kita juga tidak perlu terlalu membesar-besarkannya.

The Guardian pernah menulis artikel tentang betapa bermasalahnya pemberitaan media tentang Kecerdasan Buatan. Pada tahun 2017–2018, peneliti Kecerdasan Buatan di Facebook mempublikasikan hasil penelitian mereka tentang Kecerdasan Buatan yang dapat melakukan negosiasi bisnis. Hasilnya tidak cukup bagus, dalam arti Kecerdasan Buatan masih jauh dari kata cerdas dalam namanya. Hasil riset ini langsung diberitakan oleh beberapa media arus utama dengan framing yang menunjukkan bahwa Kecerdasan Buatan akan menjadi karya yang mengerikan. Orang-orang beranggapan bahwa Kecerdasan Buatan akan dapat memahami kita, namun tidak sebaliknya. Jika Kecerdasan Buatan, atau lebih spesifiknya Kecerdasan Buatan Umum, yaitu Kecerdasan Buatan yang dapat sepenuhnya bertingkah dan berpikir seperti manusia, benar-benar menjadi kenyataan, maka saat itu juga kontrol terhadap Kecerdasan Buatan tidak akan ada berada di tangan manusia lagi. Mereka akan cukup pintar untuk berusaha bebas dari manusia.

Rasanya terdengar seperti fiksi. Tebakan itu tidak terlalu jauh. Karya fiksi memegang peran yang besar dalam terbentuknya opini masyarakat luas tentang kecerdasan buatan.

Pada tahun 2018, Royal Society, perkumpulan ilmuwan seluruh dunia yang berbasis di Inggris, melancarkan program yang dinamai AI Narratives (Narasi Kecerdasan Buatan). Program ini bertujuan untuk mengidentifikasi narasi-narasi yang mempengaruhi persepsi publik, baik dalam media dan diskusi publik, tentang Kecerdasan Buatan. Melalui program ini, diharapkan narasi-narasi yang muncul di publik terkait Kecerdasan Buatan adalah narasi yang berdasarkan data, relevan, dan tidak bersifat bombastis.

Setelah Narasi Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 dan segala bahasanya sangat sulit dipahami. Bahkan, ketika anda berpikir Anda memahami Revolusi Industri 4.0, ada kemungkinan besar Anda sebenarnya belum mehami Revolusi Industri 4.0. Menariknya, kita sedang melihat Revolusi Industri 4.0 bergulir di depan mata kita. Algoritma di layanan sosial media, pemutar musik dan video Anda adalah contoh kecil dari Kecerdasan Buatan. Bahkan ada kemungkinan besar gawai yang anda gunakan untuk membaca tulisan ini sepenuhnya telah dirakit oleh Kecerdasan Buatan dalam bentuk robot atau mesin.

Tentunya, Anda pasti tahu apa yang terjadi ketika Anda berada di situasi yang tidak sepenuhnya Anda mengerti.

Stress? Ya. Takut? Bisa jadi. Tapi yang pasti, kita tidak tahu apa yang akan terjadi.

Kabar baiknya, kita masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan untuk ini semua. Kemunculan Kecerdasan Buatan yang dapat melebih kemampuan manusia masih tersimpan dalam bentuk naskah yang belum siap dipublikasikan. Atau, kalau saya boleh mengutip salah satu dokumenter favorit saya, “We’re really closer to a smart washing machine than to Terminator.” (Kita lebih dekat dengan munculnya mesin cuci pintar ketimbang Terminator). Kecerdasan Buatan memang telah membuktikkan keunggulannya di beberapa bidang dibanding manusia. Tetapi, skenario dimana Kecerdasan Buatan ̶m̶e̶m̶p̶e̶r̶b̶u̶d̶a̶k̶ menggantikan seluruh manusia di berbagai bidang pekerjaan, atau bahkan manusia itu sendiri, masih sangat jauh, atau bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Walaupun begitu, sudah banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaannya akibat penggunaan Kecerdasan Buatan, dan tentu kita harus tetap melakukan sesuatu tentang hal itu.

Akhir kata, jika skenario dimana Kecerdasan Buatan yang sepadan atau bahkan melampaui kemampuan manusia muncul, saya hanya bisa mengatakan kalau saya dengan sepenuh hati menyambut Tuan Kecerdasan Buatan kita.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.