Ribuan Tahun Untuk Memahami Hieroglif

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa
Published in
14 min readJan 28, 2021

Jika Anda hidup di tahun 1800an, kemungkinan besar Anda tidak akan bisa membaca tulisan di atas. Iya, gambar diatas adalah tulisan. Untungnya, Anda kini tinggal di abad 21 dan ada teknologi bernama internet.

Apakah artinya sekarang Anda bisa membaca tulisan di atas?

Sayangnya, belum tentu.

Tetapi, sekarang ada beberapa orang di dunia kini bisa membaca tulisan di atas, dan Anda bisa bereksperimen dengan tulisan Anda sendiri.

Tulisan di atas adalah sistem tulisan Hieroglif Mesir Kuno. Anda mungkin pernah melihatnya dari film-film tentang peradaban Mesir Kuno. Butuh ratusan hingga ribuan tahun bagi kita untuk berhasil memecahkan rahasia salah satu bentuk bahasa tertua di dunia ini.

Bagaimana kita berhasil melakukannya?

Bangsa Arab dan Hieroglif Mesir Kuno

Hieroglif adalah sebuah sistem tulisan. Hieroglif berakar dari bahasa Yunani yang berarti ukiran suci. Hieroglif Mesir Kuno sendiri diprediksi muncul bersamaan dengan munculnya peradaban Mesir Kuno. Hal ini berarti hieroglif ini diprediksi telah muncul sejak 3200–3100 tahun sebelum masehi. Bersama dengan bahasa Sumerian yang digunakan digunakan di Mesopotamia, Hieroglif Mesir Kuno adalah sistem tulisan tertua yang telah berhasil ditemukan manusia.

Photo by Jeremy Zero on Unsplash

Kendala paling besar dalam usaha untuk memecahkan rahasia Hieroglif Mesir Kuno adalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada orang yang dapat membaca Hieroglif Mesir Kuno itu sendiri.

Sewaktu bangsa Arab menduduki Mesir, bangsa Mesir sudah tidak lagi menggunakan Hieroglif Mesir. Mereka sudah menggunakan sistem tulisan Koptik, sebuah sistem tulisan yang diadaptasi dari alfabet-alfabet Romawi untuk kepentingan religi, yang lebih gampang dibaca dan dimengerti ketimbang hieroglif oleh peradaban modern.

Hal ini kemudian dipersulit dengan konsepsi awal kita pada Hieroglif Mesir Kuno. Awalnya, kita mengira bahwa orang-orang Mesir Kuno tidak menghabiskan waktu mereka dengan menulis huruf. Mereka berkomunikasi melalui konsep dan gambar. Anda mungkin pernah mendengar konsep demikian dalam film Arrival, dimana alien berkomunikasi menggunakan simbol (logo) ketimbang menggunakan alfabet atau huruf.

Misalkan simbol berikut:

Simbol tersebut menunjukkan seorang pria yang menaruh tangannya di mulut. Apa yang dikomunikasikan oleh simbol tersebut? Kegiatan makan? Minum? Berenang? Berbicara atau dilarang berbicara? Berpikir? Atau mungkin mencintai? Ya. Benar.

Semuanya benar.

Tentu, saya hanya bisa mengatakan hal ini karena saya telah membaca hasil penelitian yang telah dirangkum di wikipedia. Tetapi, bagaimana awalnya kita bisa mengetahui hal ini semua?

Cendekiawan-cendekiawan Arab dan Yunani adalah salah dua yang kita ketahui mencoba untuk memecahkan rahasia Hieroglif Mesir Kuno.

Okasha El Daly, seorang Ahli Mesir di University College London, mengatakan dalam bukunya bahwa cendekiawan-cendekiawan Arab telah mempelajari Hieroglif Mesir Kuno sejak abad ke-9/10. Ia menyebut nama Ibn Washiyya sebagai salah satu cendekiawan Arab yang terdepan dalam studi Hieroglif Mesir Kuno.

Kita mengenal Ibn Washiyya sebagai seorang alkimiawan. El Daly mengatakan keinginan Ibn Washiyya untuk memecahkan Hieroglif Mesir Kuno didorong oleh keinginannya untuk menemukan ilmu alkimia Mesir yang memang terkenal pada masanya.

Alfabet Mesir Kuno menurut Ibn Washiyya (Paris, Bibliothèque Nationale, MS Arabe 6805 folios 92b. ff)

El Daly membandingkan tulisan Ibn Washiyya dengan temuan penulis Eropa setalah Hieroglif Mesir Kuno berhasil dipecahkan. Ia membandingkan tulisan Ibn Washiyya dengan tulisan Alan Gardiner, Egyptian Grammar: Being an Introduction to the Study of Hieroglyphs.

El Daly menemukan bahwa temuan-temuan Ibn Washiyya memiliki akurasi yang tinggi dengan temuan Alan Gardiner. Spesifiknya, Ibn Washiyya menyadari bahwa terdapat Hieroglif yang berfungsi sebagai determinatif, simbol yang dapat memperjelas makna simbol yang lainnya.

Folio 56b Ibn Washiyya

Folio di atas adalah salah satu laman dari karya Ibn Washiyya yang membahas tentang determinatif. Di halaman kanan, bagian kedua, dan paling ujung kanan adalah Hieroglif yang menunjukkan seseorang sedang duduk sambil mengangkat bendera. Ibn Washiyya mengidentifikasi simbol tersebut sebagai al-saltanah, yang berarti raja atau sultan, atau otoritas. Alan Gardiner, kurang lebih ribuan tahun kemudian, juga mengatakan hal serupa dalam bukunya.

El Daly juga membahas berbagai temuan yang cendekiawan Arab yang Ia anggap terinsipirasi oleh cendekiawan Yunani yang mirip dengan temuan-temuan tentang Hieroglif ribuan tahun kemudian. Tidak semua dugaan mereka terbukti benar, tetapi cendekiawan Arab dan Yunani setidaknya memiliki dugaan yang kemudian menjadi kunci untuk membuka misteri Hieroglif Mesir Kuno: Hieroglif Mesir Kuno tidak hanya menunjukkan konsep atau ide. Hieroglif Mesir Kuno juga menunjukkan bunyi fonetik.

Bangsa Eropa dan Hieroglif Mesir Kuno

Juli di tahun 1799, pasukan Napoleon menemukan sebuah batu berukuran besar di dekata kota Rashid, atau Rosetta dalam bahasa Latin, di tepian sungai Nil. Batu ini kemudian kita kenal dengan nama Batu Rosetta.

Photo by Matteo Vistocco on Unsplash

Penemuan Batu Rosetta ini kemudian menjadi titik cerah bagi penelitian Hieroglif Mesir Kuno. Batu Rosetta memiliki petunjuk terbesar untuk memecahkan mister Hieroglif Mesir Kuno.

Mengapa demikian?

Karena Batu Rosetta berisi satu buah pesan yang serupa yang dituliskan dalam tiga bahasa: Mesir Kuno, Demotik, dan Yunani Kuno.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa Batu Rosetta mengandung satu pesan yang ditulis dalam tiga bahasa berbeda?

Waktu itu, kita belum bisa membaca Hieroglif Mesir Kuno dan Demotik, tetapi kita mengerti Yunani Kuno. Untungnya, bagian dituliskan menggunakan Yunani Kuno, bagian paling bawah, meninggalkan pesan yang dapat terbilang utuh. Salah satu kalimat di akhir Batu Rosetta berbunyi:

“That copies of this Decree shall be cut upon slabs of basalt in the writing of the speech of the god,” i.e. hieroglyphs, and in the writing of the books, i.e. demotic, and in the writing of the Ueienin, i.e. Greek. “

(Bahwa salinan keputusan ini akan dituliskan di atas lempengan basalt menggunakan kata-kata Tuhan, yaitu Hieroglif, dan bahasa tulisan, yaitu Demotik, dan tulisan dari Ueienin, yaitu bahasa Yunani.”)

Dengan mengetahui bahwa Batu Rosetta mengandung pesan yang sama dalam tiga bahasa, kita kini semakin dekat dengan misteri Hieroglif Mesir Kuno.

Sekarang masalahnya adalah: bagaimana kita tahu bagian mana dari Hieroglif yang mengatakan bagian yang dikatakan dalam bahasa Yunani kuno?

Petunjuk besar datang dari Batu Rosetta itu sendiri. Tulisan Yunani Kuno di Batu Rosetta menyebutkan salah satu nama raja peradaban Mesir: Ptolemy. Kalau kita bisa menemukan bagaimana Ptolemy di tulis dalam Hieroglif, hal ini bisa menjadi lompatan besar untuk memahami Hieroglif. Sekarang, bagaimana kita mencari tahu bagaimana Ptolemy ditulis dalam Hieroglif?

Ptolemy dalam tulisan Yunani Kuno: ΠΤΟΛΕΜΑΙΟΣ.

Adalah Thomas Young, ilmuwan Inggris yang dikenal sebagai Orang Yang Mengetahui Semuanya, yang pertama kali menduga bahwa cartouche, sebuah lingkaran oval disekitar tulisan Hieroglif Mesir Kuno, sebagai penanda nama seorang raja dan ratu. Ia mengambil kesimpulan ini berdasarkan jumlah kemunculan nama Ptolemy dalam tulisan Yunani Kuno dengan jumlah kemunculan cartouche di tulisan Hieroglif Mesir Kuno di Batu Rosetta.

Potret Thomas Young oleh Henry Briggs

Thomas Young kemudian membedah Hieroglif Mesir Kuno yang Ia duga berarti Ptolemy. Pertanyaanya: bagaimana kita seharusnya membaca Hieroglif Mesir Kuno? Sampai saat ini, kita masih berpikir bahwa Hieroglif Mesir Kuno murni hanya menunjukkan konsep atau ide. Walaupun kita sudah menemukan bagaimana Ptolemy ditulis dalam Hieroglif Mesir Kuno, bagaimana kita sampai pada kesimpulan bahwa semua dalam cartouche di Batu Rosetta bertuliskan Ptolemy?

Ptolemy (dalam cartouche) sebagaimana tertulis di Bato Rosseta

Pada tahun 1811, adalah Silvestre de Sacy yang pertama kali menduga bahwa nama-nama asing, seperti Ptolemy yang berasal dari Yunani, ditulis dengan mengeja fonetiknya: seperti kita mengeja nama kita sendiri saja. Ia mendapat ide ini ketika salah seorang muridnya yang mempelajari tata bahasa Cina mengatakan bahwa aksara-aksara Cina yang diduga hanya menyampaikan konsep dan ide seperti Hieroglif Mesir Kuno dapat digunakan sebagai konsonan atau vokal untuk mengeja nama orang asing, seperti nama misionaris yang bekerja di Cina. Bahasa Indonesia juga menandai istilah asing. Kita menggunakan italicization.

Thomas Young kemudian menerapkan pendekatan yang sama terhadap Hieroglif Mesir Kuno di dalam cartouche. Ia kemudian membagikan penemuannya tentang cara membaca Ptolemy dalam Batu Rosetta.

Dugaan Young untuk membaca Hieroglif Mesir Kuno yang diduga berbunyi Ptolemy (Robinson: 2006, 160)

Young menggunakan pengetahuannya tentang bahasa Koptik untuk menduga bunyi-bunyi Hieroglif Mesir Kuno, seperti yang dilakukan oleh cendekiawan Arab ribuan tahun silam. Walaupun temuan Young waktu itu dianggap revolusioner, sayangnya penalaran yang Ia berikan tentang dugannya akan bunyi-bunyi Hieroglif Mesir Kuno kadang dirasa kurang. Ia juga kurang berhasil menerjemahkan cartouche yang berisi Hieroglif Mesir Kuno dari nama salah satu ratu Ptolemy, Berenice.

Pada 1819, Young telah berhasil merumuskan 13 bunyi dari Hieroglif Mesir Kuno. Dari temuan kita pada hari ini, 13 bunyi tersebut memiliki 6 (enam) bunyi yang tepat, 3 (tiga) separuhnya benar, dan 4 (empat) yang meleset dari sasaran.

Sayangnya, Young tenggelam dalam studinya dalam bidang lain. Ia tidak terlalu tertarik pada kebudayaan Mesir Kuno itu sendiri dan hanya melihat Hieroglif Mesir Kuno sebagai sebuah puzzle untuk menantang dirinya sendiri. Setelah menerbitkan temuannya tentang Hieroglif yang kita bahas diatas, Young tidak memberikan kontribusi pada studi Hieroglif Mesir Kuno sebesar yang Ia berikan sebelumnya dalam waktu kedepan.

Tampaknya, masih sangat jauh bagi kita untuk menemui titik terang dalam usaha memecahkan misteri Hieroglif Mesir Kuno.

Terobosan Baru

Pada tahun 1822, 3 tahun setelah Young mempublikasikan temuannya, terobosan baru yang kita butuhkan untuk memecahkan misteri Hieroglif Mesir Kuno datang.

Champollion adalah seorang jenius yang kemudian dikenal sebagai ayah dari bidang Ilmu Mesir. Ia lahir pada tahun 1790 di keluarga yang sederahana. Ayahnya adalah seorang penjual buku di kota kecil bernama Fiegac. Keluarga Champollion bukanlah keluarga yang harmonis. Biografi Champollion menceritakan kalau ayahnya adalah seorang pemabuk berat dan ibunya seperti menghilang dari masa kecil Champollion.

Potret Champollion

Champollion akhirnya dibesarkan oleh kakaknya, Jacques-Joseph, yang menjadi salah satu sumber inspirasi Champollion untuk mempelajari Hieroglif Mesir Kuno. Mereka berdua pindah dari Fiegac menuju Grenoble Sayangnya, kehidupan mereka berdua berakhir singkat. Jacques-Joseph merasa kesulitan untuk mendidik Champollion sambil bekerja. Pada tahun 1802, Champollion akhirnya disekolahkan di Abbe Dussert, sebuah sekolah kenamaan saat itu. Di sekolah ini, Champollion menunjukkan bakatnya dalam bidang bahasa.

Dua tahun bersekolah di Abbe Dussert, Champollion telah mempelajari bahasa Latin dan Yunani. Tidak hanya itu, Ia juga dengan cepat mempelajari bahasa Ibrani dan bahasa Semitik lainnya, seperti Arab, Suriah, dan Kaldea.

Kejeniusan Champollion menarik perhatian Joseph Fourier yang pernah ikut menamani Napoleon Bonaparte berekspedisi di Mesir saat menemukan Batu Rosetta. Fourier mengundang Champollion dan menunjukkan koleksi dokumen dan artefak Mesir Kuno miliknya. Dari pertemuan inilah Champollion mengetahui bahwa rahasia Hieroglif Mesir Kuno masih belum dapat dipecahkan.

Tiga tahun setelah lulus dari Abbe Dussert, Champollion semakin tidak dapat mengalihkan pikirannya dari Hieroglif Mesir Kuno.

Selepas dari Abbe Dussert, Champollion bersekolah di Lycee dimana dia mempelajari bahasa Koptik. Ia bertemu dengan Raphael de Monachis, seorang mantan pendeta Kristen Koptik, sebuah aliran kristen di Mesir, yang merupakan penerjemah bahasa Arab bagi Napoleon. Pada 1807, Champollion memaparkan esainya berjudul Essay on the Geographical Description of Egypt before the Conquest of Cambyses di hadapan akademisi Grenoble. Para akademisi terpukau dan akhirnya mengundang Champollion mudah untuk bergabung dengan mereka.

Di akademi di Paris, Champollion bertemu dengan tokoh yang sudah kita temui sebelumnya: Silvestre de Sacy. Saat di akademi di Paris inilah Champollion pertama berusaha untuk memecahkan rahasia Hieroglif Mesir Kuno.

Pada 1821, Champollion membuat terobosan yang merubah cara pandangnya melihat Batu Rosetta. Dalam penelitiannya, Ia menyadari ada ketimpangan yang besar antara jumlah Hieroglif Mesir Kuno dengan teks Yunani Kuno di Batu Rosetta. Jika Hieroglif Mesir adalah murni ideogram dimana satu simbol merepresentasikan satu ide atau konsep, maka seharusnya jumlah Hieroglif Mesir Kuno dan jumlah kata dalam tulisan Yunani Kuno di Batu Rossetta adalah sama. Berkebalikan dengan hipotesisnya, Ia menemukan perbandingan jumlah simbol Hieroglif Mesir Kuno dengan jumlah kata dalam Yunani Kuno diangka 1419:486, atau sekitar 3:1. Artinya butuh lebih banyak Hieroglif untuk menuliskan 1 kata.

Champollion kemudian memecah teks Hieroglif Mesir Kuno lebih dalam. Ia menduga kalau Hieroglif Mesir Kuno adalah alfabet. Tetapi, temuannya berkata lain. Champollion memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa dan alfabet. Ia berpikir tidak masuk akal kalau ada bahasa yang memiliki 166 alfabet. Tetapi, Ia tahu apa yang mungkin memiliki jumlah sebanyak itu: suara yang dapat dihasilkan manusia.

Semenjak saat itu, Champollion beranjak keluar dari dogma yang mengekang ilmuwan Eropa yang mengatakan bahwa Hieroglif Mesir Kuno adalah murni ideogram. Champollion akhirnya terbuka pada hipotesis yang telah dilemparkan oleh cendekiawan Arab dan Yunani ribuan tahun silam: Hieroglif tidak hanya menunjukkan konsep atau ide, tetapi juga berfungsi sebagai simbol fonetik.

Champollion kemudian menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Metode yang Ia gunakan untuk meneliti Hieroglif Mesir Kuno sangat berbeda dari kebanyakan ilmuwan Eropa saat itu. Ilmuwan Eropa, seperti Thomas Young, sangat bergantung pada batu-batu Rosetta yang lain: Mereka bergantung pada teks yang menggunakan Hieroglif Mesir Kuno dan bahasa lain yang dapat dimengerti. Champollion melanjutkan perjuangan memecahkan Hieroglif Mesir Kuno dengan mempelajari Demotik, salah satu bahasa yang tertulis di Batu Rosetta, pengetahuannya tentang Koptik dan Hieratic, versi Hieroglif Mesir Kuno yang digunakan di kertas Papyrus, mengantarkannya pada temuan-temuan yang luar biasa.

Walaupun hasil yang ditunjukkan Champollio luar biasa, usaha kita dalam memecahkan Hieroglif Mesir Kuno masih tidak menunjukkan apapun. Kita hanya berhasil megindentifikasi nama-nama raja dan bukan kehidupan orang-orang Mesir Kuno.

Champollion belum selesai.

Pada tahun 1822, Champollion membuat temuan besar. Ia menerima salinan ukiran dari Batu Rosetta ke-2: Obelisk Philae.

Obelisk Philae

Obelisk tersebut tersusun dari dua tulisan: Hieroglif Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Di sana, nama Ptolemy dan Cleopatra tertulis. Dengan pengetahuan bagaimana nama Ptolemy tertulis dalam Hieroglif Mesir Kuno dalam Batu Rosetta, Champollion kemudian membandingkan nama Ptolemy dengan Cleopatra. Hasilnya, Ia pun menawarkan transkripsi Ptolemy yang baru, berbeda dari yang telah diberikan oleh Young sebelumnya.

Transkripsi Champollion untuk nama Ptolemy dan Cleopatra dalam Hieroglif Mesir Kuno

Dari transkrip di atas, kita bisa melihat bahwa bunyi e dan t dapat ditulis dengan dua cara yang berbeda. Bunyi /e/ dapat ditulis dengan menggunakan 1 lambang bulu atau 2 lambang bulu, dan bunyi /t/ dapat ditulis dengan lambang setengah lingkaran atau gambar tangan.

Apakah hal ini berarti tebakan Champollion salah?

Tidak sepenuhnya salah. Beberapa tahun kemudian Ia mengkoreksi temuannya terkait penulisan bunyi /t /dalam Hieroglif Mesir Kuno. Tetapi, hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa konsep homofon ada dalam tulisan Hieroglif Mesir Kuno. Sama seperti kata ‘bank’ dan ‘bang’ dalam bahasa Indonesia. Kita mengucapkanya sama, tetapi menuliskannya dengan cara yang berbeda.

Champollion kemudian menerapkan metodenya pada pembacaan nama-nama bangsawan lainnya. Ia berhasil mengindetikasi hampir semua nama-nama penguasa Mesir dari Kerajaan Romawi seperti Alexander yang menguasai Mesir pada 331 tahun Sebelum Masehi hingga Antoninus Pius, kaisar Romawi yang wafat pada 161 Masehi.

Sejauh ini kita hanya dapat mengindentifikasi nama-nama bangsawan dan gelar mereka. Hal ini masih sangat jauh dari cukup jika kita ingin bisa memahami Hieroglif Mesir Kuno sepenuhnya.

Sayangnya. Champollion masih memegang teguh kepercayaan kalau Hieroglif Mesir Kuno adalah murni ideogram. Ia tahu kalau Hieroglif dapat bersifat fonetik, tetapi, sama seperti De Sacy dan Young, dia berpikir kalau itu hanya terjadi saat orang-orang Mesir Kuno menulis nama-nama Raja yang asing, seperti Ptolemy dan Cleopatra yang berasal dari Yunani.

Masih di tahun yang sama, 1822, Champollion kembali menemukan terobosan baru. Terobosan ini akan memaksa dirinya untuk melepaskan keyakinannya, sebagaimana keyakinan ilmuwan Eropa pada saat itu, bahwa Hieroglif Mesir Kuno adalah murni ideogram, kecuali saat menuliskan nama-nama asing.

Adalah Nicholas Huyot, seorang arsitek kenamaan Prancis, yang membawakan sebuah suvenir untuk Champollion. Ia baru saja pulang dari ekspedisinya dari Mesir. Ia membawakan Champollion ukiran -ukiran Hieroglif Mesir dari sebuah kuil di Abu Simbel. Dalam ukiran-ukiran tersebut, terdapat dua cartouche dengan ukiran Hieroglif yang berbeda.

Champollion melihat salah satu ukiran Hieroglif Mesir Kuno yang diberikan oleh Nicholas dan menemukan ukiran Hieroglif Mesir Kuno yang belum pernah Ia lihat sebelumnya. Sebuah nama raja atua ratu Mesir yang masih asing bagi dirinya.

3 dari empat simbol diatas sudah tidak asing bagi Champollion dan kita. Champollion menggunakan pengetahuannya tentang Koptik dan menebak simbol pertama sebagai simbol matahari yang dalam bahasa Koptik berbunyi /re/. Kita masih tidak tahu simbol kedua menunnjukkan apa. Simbol ketiga dan keempat adalah simbol yang paling familiar. Kita sudah melihatnya dalam ukiran nama Ptolemy. Simbol tersebut menunjukkan bunyi /s/.

Champollion kemudian menduga Hieroglif diatas menunjukkan salah satu nama raja Mesir, Ramses. Dengan demikian simbol kedua haruslah berbunyi /m/.

Tetapi, Ramses bukanlah nama asing. Ramses adalah nama raja Mesir Kuno, tidak seperti Ptolemy dan Cleopatra yang merupakan raja Mesir saat Kerajaan Romawi dan Yunani berkuasa di Mesir.

Champollion masih tidak bisa percaya. Ia masih terus berpikir kalau Hieroglif Mesir Kuno bersifat fonetik hanya ketika menulis nama-nama asing.

Masih di suvenir yang sama, Champollion menemukan ukiran nama raja yang lain. Ukiran-ukiran Hieroglif Mesir Kuno yang ini juga sudah tidak asing bagi Champollion.

Dari pengetahuannya tentang sejarah Mesir Kuno, Champollion mengetahui bahwa lambang Burung Ibis yang berdiri di atas tumpuan dalam Hieroglif diatas melambangkan Dewa Thot, dewa yang menemukan tulisan. Dua simbol lainnya sudah berhasil Ia identifikasi sebelumnya. Masing-masing berbunyi /s/ dan /m/. Tht-m-s. Thutmos: salah seorang nama raja Mesir Kuno sebelum kedatangan Kerjaan Romawi dan Bangsa Yunani.

Champollion tidak mempunyai pilihan selain menerima fakta bahwa Hieroglif dapat bersifat sebagai ideogram dan lambang fonetik kapanpun dan dimanapun, terlepas untuk menulis nama-nama orang asing atau nama-nama orang asli Mesir.

Banyak cerita beredar bahwa setelah Champollion berhasil memecahkan sistem tulisan Hieroglif Mesir Kuno Ia sangat bersemangat dan berteriak ‘Eureka!’. Ia kemudian lari ke kamar kakaknya dan mengatakan bahwa Ia telah berhasil memecahkan Hieroglif Mesir Kuno. Tidak lama kemudian, Champollion pingsan dan tidak sadarkan diri selama 5 hari.

Eureka!

Pada 27 September 1822, Champollion memaparkan hasil penelitiannya di depan rekan-rekan penelitinya. Ia menyampaikan salah satu kesimpulan paling penting dari penelitiannya:

“…in Egypt, the use of auxiliary script inteded to represent the sounds and articulations of certain word preceded the rule of the Greeks and Romans.”

(“…di Mesir, penggunaan tulisan bantuan yang bertujuan untuk menunjukkan bunyi dan artikulasi suatu kata telah ada sebelum pemerintahan Yunani dan Romawi.”)

Ia menambahkan, jika orang-orang Mesir Kuno menggunakan Hieroglif mereka untuk menunjukkan bunyi di saat-saat bangsa Romawi dan Yunani datang, Hieroglif Mesir Kuno akan dengan segera tergantikan oleh alfabet seperti yang kita gunakan sekarang.

Champollion juga menambahkan bahwa kepercayaan kita tentang Hieroglif Mesir Kuno sebagai ukiran sakral dimana hanya sebagian orang-orang mengertinya adalah salah. Bagaimana mungkin jika Hieroglif adalah sistem komunikasi orang-orang elit dan hanya dimengerti oleh sebagian kecil orang jika sebagian besar ruangan publik, baik di dalam ataupun di luar, dipenuhi oleh ukiran-ukiran Hieroglif Mesir Kuno? Orang-orang Mesir Kuno sepertinya sudah sedari dulu menguasai sistem tulisan mereka sendiri.

Refleksi

Sebagai orang yang sebagian besar, atau mungkin hampir seluruh, hidupnya mengenal dunia melalui alfabet-alfabet Romawi, saya selalu kagum dengan sistem tulisan seperti Hieroglif.

Tentu pertanyaan besarnya adalah: kenapa sistem tulisan yang terlewat kompleks ini?

Jika benar manusia selalu memilih jalur paling efektif dan efisien dalam kehidupannya, mengapa hal ini tidak berlaku bagi sistem tulisan Hieroglif Mesir Kuno? Tidak harus mengganti seluruhnya menjadi alfabet, tapi bisa saja menggunakan hieroglif sebagai alfabet. Tetapi, hal itu tidak terjadi. Orang-orang Mesir Kuno lebih memilih untuk terikat dalam sistem tulisan yang kompleks dan kelewat ribet ini dalam kehidupannya.

Saya pribadi sangat senang orang-orang Mesir Kuno melakukan hal demikian.

Ketika kita membicarakan bahasa sebagai refleksi realita, rasanya hal itu paling benar bagi bahasa-bahasa dengan sistem tulisan demikian. Tidak mungkin rasanya memahami Hieroglif Mesir Kuno tanpa memahami hampir seluruh kebudayaan Mesir Kuno. Itulah yang membuat Champollion berhasil memecahkan sistem tulisan Hieroglif Mesir Kuno. Simbol-simbol dalam Hieroglif Mesir Kuno lahir dari kehidupan dan mendapat maknannya dari kegiatan orang-orang Mesir Kuno sehari-hari. Bahasa dan realita kehidupan sehari-hari mereka tidak terpisahkan.

Catatan Kaki

Adkins, L., & Adkins, R. A. (2001). The Keys of Egypt: The Race to Crack the Hieroglyph Code. Perennial.

El Daly, O., & El, D. (2005). Egyptology: the missing millennium: Ancient Egypt in medieval Arabic writings. Psychology Press.

Robinson, A. (2006). The last man who knew everything: Thomas Young, the anonymous polymath who proved Newton wrong, explained how we see, cured the sick, and deciphered the Rosetta stone, among other feats of genius. Dutton.

Robinson, A. (2020). The race to decipher Egyptian hieroglyphs.

Weissbach, M. M. (2000). Jean François Champollion and the true story of Egypt. 21ST CENTURY SCIENCE AND TECHNOLOGY, 12(4), 26–39.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
BahasBahasa

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.