Kembali Berdoa
Sebagai seseorang yang tidak pernah merasa ingin dilahirkan, merayakan ulang tahun tidak pernah menjadi bagian dari keinginan saya. Namun, kali ini berbeda; hari kelahiran saya dirayakan oleh rekan-rekan kerja. Sebelumnya, saya selalu menyembunyikan tanggal lahir saya, tapi entah bagaimana mereka bisa mengetahui kapan tepatnya saya dilahirkan. Tentu saya tidak bisa menolak perayaan ini, bagaimana pun juga merayakan ulang tahun bisa menjadi tanda kepedulian mereka terhadap saya.
“Selamat Yo, sebelum potong kue pimpin doa dulu lah,” kata mereka.
“Ga ah, malu,” kata saya.
“Bahasa Indonesia aja, sih. Masa malu?” mereka terus memaksa.
“Iya, malu.”
Saya tidak masalah untuk memimpin doa di hadapan mereka, saya hanya malu terhadap Tuhan. Rasanya sudah lama sekali saya tidak tulus menghadap Tuhan untuk berdoa. Jika diingat-ingat, terakhir kali saya bersungguh-sungguh berdoa adalah 11 tahun yang lalu saat menjelang ujian nasional. Hidup yang stabil membuat saya lupa diri, atau bahkan menjadi pribadi yang sombong.
“Yaudah Roni aja pimpin doa untuk Sunaryo,” kata mereka lagi.
Roni adalah seorang rekan kerja yang cukup religius, ia berhasil memimpin doa perayaan ulang tahun saya dalam bahasa Arab dengan pelafalan yang baik. Saya sedikit familiar dengan doa-doa yang diucapkannya karena dahulu saya juga sering berdoa dalam bahasa Arab.
Mendapatkan doa dari rekan-rekan kerja membuat saya bertambah malu. Bagaimana tidak, ketika saya sudah tidak lagi berdoa, orang-orang yang tidak begitu dekat dengan saya justru mendoakan saya.
Suatu malam sekitar pukul tiga pagi, saya terbangun untuk pergi ke kamar mandi dan tanpa sengaja melewati kamar Ibu yang pintunya sedikit terbuka. Dari celah pintu, saya melihat dan mendengar Ibu berdoa. Ibu menggunakan bahasa Arab dan bahasa Indonesia dalam doanya. Ada momen yang menyentuh hati ketika Ibu, dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, memohon kepada Tuhan agar saya dan adik-adik diberi rezeki yang berkah, pasangan hidup yang baik dan setia, serta selalu berada di jalan yang benar.
Doa Ibu selalu menyertai saya. Ibu pernah bercerita bahwa sejak saya masih dalam kandungan, ia sering mendengarkan berbagai ayat suci yang diyakini dapat menjadi bekal spiritual saya nantinya. Sejak dalam kandungan Ibu telah mendoakan saya agar menjadi anak yang saleh dan dapat memberikan kontribusi besar bagi masyarakat.
Ibu juga selalu mengajarkan saya cara berdoa yang baik, doa sebelum tidur, doa setelah bangun tidur, doa sebelum makan, doa setelah makan, doa masuk kamar mandi, doa keluar kamar mandi, dan banyak doa lainnya. Ibu percaya jika kita terus berdoa maka Tuhan akan terus menjaga dan melindungi kita.
Hal tersebut sangat dipercayai oleh Ibu, pernah suatu saat ada kejadian menarik yang pernah dialami oleh adik saya. Ketika itu Ibu mengajak Adik untuk pergi ke rumah tetangga. Ketika di rumah tetangga, Adik ingin buang air, ia pergi ke kamar mandi milik tetangga tersebut.
“Nak, jangan lupa doa masuk ke kamar mandi,” kata Ibu. Memang Ibu sering mengingatkan anak-anaknya untuk berdoa sebelum melakukan sesuatu.
Tidak lama setelah Adik menyelesaikan hajatnya, salah satu tamu juga ada yang ingin buang air. Pintu kamar mandi di buka, dan langsung terlihat ular kobra dalam posisi bertahan. Otomatis tamu tersebut langsung membanting pintu berteriak sekencang-kencangnya.
“ULAARR, ULAAAR KOBRRAAAAA,” Teriak panik. Ini membuat satu rumah menjadi panik.
Ketika pulang ke rumah, Ibu langsung menceritakan kejadian ini dengan detail. Peristiwa ini memang sulit untuk dijelaskan, kapan ular kobra tersebut ada di kamar mandi? Bagaimana ular kobra tersebut bisa ada di kamar mandi? Bagaimana bisa Adik tidak melihat ular kobra tersebut?
Sebagai salah satu ular yang paling mematikan di dunia, Ibu menceritakan peristiwa ini dengan kengerian, di sisi lain rasa syukur juga Ibu ucapkan. Ibu percaya bahwa Tuhan telah melindungi Adik.
Sama seperti Ibu, saya juga mempercayai bahwa ini adalah tanda dari Tuhan. Semenjak peristiwa ini saya menjadi pribadi yang selalu memanjatkan doa, Berdoa sebelum belajar, berdoa sebelum main bola, berdoa sebelum naik kendaraan. Saya tidak bisa menjelaskannya, tapi rasanya hidup lebih baik ketika saya melibatkan Tuhan dalam berbagai aktivitas.
Bagi yang mempercayainya, Ramadan adalah bulan baik yang penuh berkah. Roni yang saleh pernah mengajak saya untuk iktikaf di salah satu masjid. Saya menyambutnya dengan gembira. Dahulu Ayah juga sering mengajak saya untuk iktikaf, utamanya di hari-hari ganjil, sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Mengamati Roni iktikaf, selain salat dan membaca kitab suci, saya sering melihat Roni mengangkat tangan, menundukkan kepala, dengan suara pelan ia meminta, dan mencurahkan ribuan masalah yang ia alami. Sambil bermain gawai, kurang lebih sejam saya terus melihatnya khusyuk.
Setelah usai, Roni menghampiri saya ke barisan belakang, tempat biasa para jemaah untuk beristirahat, senderan, tidur, atau hanya meluruskan kaki. “Panjang juga doa loe. Emang doain apa aja sih?” kata saya penasaran.
“Semua hal. Emang loe enggak pernah berdoa sepanjang ini?” Roni balik bertanya.
“Pernah.”
Saya langsung teringat akan pengalaman spiritual yang pernah saya alami. Betapa melegakannya ketika bisa mencurahkan berbagai macam suara di kepala, bercerita tentang hal yang memberatkan hati. Jawaban dari Tuhan memang tidak langsung datang, tidak seperti ketika kita berbincang dengan manusia. Hanya kepuasannya berbeda, pengalaman spiritual memang hanya bisa dirasakan oleh orang yang meyakininya.
Virus tak terlihat menyebar luas ke berbagai belahan dunia, segalanya berhenti mendadak, termasuk hidup. Badai PHK datang, dan saya pun terkena dampaknya. Meski pun menganggur memiliki sisi menyenangkan, hidup tetap memerlukan uang, dan uang hanya dapat diperoleh dengan bekerja.
Situasi ekonomi yang mendadak sulit menuntut saya untuk menunda beberapa rencana, termasuk menikah. Saya dan pasangan akhirnya memutuskan untuk menunda pernikahan, sementara tabungan yang ada dialokasikan demi memenuhi kebutuhan hidup.
Ketakutan terbesar saya pun menjadi kenyataan ketika Ibu jatuh sakit. Sayangnya, kondisi saat itu menghalangi saya untuk mendampingi Ibu. “Ibu harus diisolasi,” kata perawat.
Menyadari tidak bisa menghadapi situasi ini seorang diri, saya pun menengadahkan tangan dengan kepala tertunduk, seraya berucap, “Hamba datang dalam rasa penuh malu dan bersalah, hamba mohon pertolongan-Mu.”