Pecundang Terbaik

M Ikhsan
Médium Bercerita
Published in
5 min readNov 7, 2024

Pemabuk adalah orang yang aneh, mencari sensasi pusing, perut penuh yang tidak nyaman dengan sensasi ingin meledak, yang lebih parah pemabuk juga dapat tertidur dengan genangan muntahnya yang menjijikan. Alkohol juga buruk untuk kesehatan, mantan pesepak bola matanya rusak akibat alkohol. Terus, kok orang bisa kecanduan alkohol? Itu masih menjadi pertanyaan terbesar bagi saya — sampai saya kecanduan.

Ilustrasi Mabuk. Sumber: Freepik

Sunaryo, teman minum saya, mengajak saya untuk minum di sebuah bar busuk. DJ-nya sangat payah, lagu jedag-jedug alay TikTok terus dimainkan dengan volume tinggi. Asap rokok mengepul dari berbagai arah, sulit sekali mendapat udara segar di bar busuk ini. Sesak akibat polusi Jakarta, tidak ada apa-apanya dengan kepulan asap rokok para tikus.

Sebenarnya saya lebih suka minum sendirian di kamar, tetapi terkadang saya bosan minum sendirian, jadi saya menerima undangan Sunaryo. Bagaimana pun juga Sunaryo adalah teman minum terbaik saya; dia mendengarkan bacotan saya dengan antusias ketika mabuk. “Pas lo lagi mabok, bacotan lo kayak prajurit bawahan dari pasukan medioker,” kata Sunaryo pernah berkata.

Saya tidak pernah paham apa yang Sunaryo maksud, dan saya tidak pernah menganggap serius apapun yang keluar dari mulut orang yang sedang mabuk, terutama Sunaryo. Begitulah hubungan saya dengan Sunaryo ketika mabuk, kami hanya ngebacot tidak jelas hingga lelah.

Saya tiba di bar busuk itu pada pukul 11 malam. Tidak terlalu banyak orang, karena hari itu Selasa. Hanya pecundang yang mabuk pada hari Selasa; itulah sebabnya saya minum pada hari Selasa. Sekali pecundang, selalu pecundang, dan saya adalah pecundang terbaik.

Saya menunggu Sunaryo; katanya dia akan datang sekitar pukul 11.30 malam. Malas sekali menunggu Sunaryo di bar busuk ini, lagipula saya sudah tidak sabar menenggak alkohol, jadi saya meminta minuman termurah dan terkuat yang ada.

Bartender memberi saya minuman. Saya sangat senang, akhirnya saya mendapatkan minuman beralkohol yang saya cintai ini. Warna minuman yang saya dapatkan terlihat coklat kehijauan, terlihat seperti Rum dicampur dengan Absinth. Saya menenggak alkohol itu dengan penuh antusias.

“Woy, bartender goblog, gue bilang gue mau minuman termurah dan terkuat, bukan yang terbusuk,” saya berteriak.

“Maaf, pak. Minuman termurah dan terkuat datang dengan rasa busuk yang menjijikkan,” jawab bartender.

“Ya gak mau, saya pelanggan. Saya raja.”

“Maaf, tapi Bapak tidak bisa memisahkan yang termurah, terkuat, dan terbusuk. Itu semua dalam paket.”

“Bangsat, ya udah, gue mau gelas kedua. Gue yakin akan ada gelas ketiga, keempat, dan kelima.”

Ini mengingatkan saya pada apa yang selalu saya katakan sebagai senior desainer grafis, sekaligus pemilik perusahaan yang bergerak pada jasa desain: ada tiga pilihan — bagus, cepat, dan murah — dan Anda sebagai klien hanya bisa memilih dua. Jika klien memilih cepat dan murah, hasilnya tidak akan bagus, ya seperti minuman beralkohol yang saya minum malam ini.

Perempuan cantik tiba-tiba mendekati saya. Dia terlihat seperti berusia awal tiga puluhan dengan rambut keriting kuning. Saya bertanya-tanya mengapa dia mewarnai rambutnya kuning cerah seperti itu, dan bukan pirang seperti Sydney Sweeney, tetapi itu haknya untuk mewarnai sesuai keinginannya. Selama itu tidak mempengaruhi saya, saya tidak akan berkomentar. Mungkin dia hanya menyukai Naruto.

“Mengapa pecundang seperti lo ini selalu minum sendirian di bar busuk, penuh dengan tikus ini?” dia berkata.

Bar busuk ini memang penuh dengan tikus, tempat ini seringkali menjadi tempat minum para koruptor rendahan, bukan koruptor ulung yang dapat merugikan negara hingga ratusan miliar, hanya koruptor rendahan yang merugikan kantor, atau daerah ratusan juta.

Para pengguna uang pajak juga sering ke bar ini, biasanya mereka membuat siasat jahat, serta bersenang-senang dengan wanita yang mereka bayar. Di saat siang, pengguna uang pajak tersebut akan berperan sebagai orang baik, yang seolah mengabdi pada negara, juga sering memberi nasihat-nasihat murah pada setiap orang muda yang ditemui.

“Mau apa lo, hah? Gue lagi nunggu teman, minggir lo miskin,” kata saya. Selain pengaruh alkohol, pengaruh IShowSpeed membuat saya berkata demikian.

Alkohol sudah masuk dalam tubuh, darah saya sekarang mengandung alkohol, ini membuat saya memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya saya pikirkan, dan saya juga menjadi melihat sesuatu yang gila — saya melihat Sunaryo datang dalam keadaan mabuk. Saya tidak tahu bagaimana dia bisa tiba di bar busuk ini dalam kondisi mabuk seperti itu; maksud saya, mengapa harus pergi ke bar saat sudah mabuk? Lagi pula sebelumnya dia minum dimana, sih?

“Persetan dengan semua, dua orang mabuk di bar, sama saja dengan waktunya untuk bacotan orang mabuk, yang tidak bermakna,” kata saya dalam hati.

“Kayaknya nyokap gue bener, buku-buku filsafat yang selama ini gue baca berbahaya bagi gue. Karena nihilisme, absurdisme, pesimisme, dan sinisme, gue jadi tidak bisa merasa bahagia lagi; ide-ide mereka sangat beracun bagi gue,” kata saya.

“Ah masa? Yang bikin lo nelangsa itu buku filsafat, atau lo mencintai perempuan yang gak bisa lo miliki?”

“Bangsat.”

Sejak kapan Sunaryo jadi bermulut bangsat seperti itu, biasanya Sunaryo tidak seperti ini. Baru kali ini Sunaryo menjawab dengan jujur bacotan saya, dan baru kali ini saya menanggapinya dengan serius.

Memang saya jatuh cinta dengan seorang gadis lucu, cantik, dan ramah; dia adalah perempuan pertama yang mencuri hati saya, ketika saya berusia 29 tahun. Dia Jasmine, saya belum pernah bertemu perempuan unik seperti dia. Saya sangat senang bertemu dengannya di kantor. Saya juga memiliki impian untuk membangun keluarga bahagia dengannya, tetapi dia tidak mencintai saya, saya mengambil kesimpulan ini sebab Jasmine sendiri telah punya pasangan.

Saya menetapkan batasan dan mencoba bersikap profesional, tetapi sulit. Mustahil memendam perasaan ini jika saya dan Jasmine setiap harinya selalu bertemu, bekerja, ngobrol, bercanda, saling sapa, dan tertawa bersama. Hanya kepergian saya yang bisa menyelesaikan masalah ini, karena rasa cinta ini sulit untuk pergi, mungkin jiwa dan raga ini yang perlu pergi, atau sesederhana akal saya saja yang cukup pergi.

Saya berpura-pura menjadi orang yang bahagia dan normal di pagi hari dan menjadi pecundang terbaik di malam hari. Saya membuat banyak kesalahan gila bahkan saat saya tidak mabuk — jatuh cinta kepada Jasmine adalah kesalahan terbesar saya. Ini membuat saya tidak bahagia, dan saya mulai minum — mungkin dengan mabuk, saya bisa menjadi orang yang berbeda.

Saya terbangun pukul 8 pagi, genangan muntah busuk membasahi pipi saya, tergeletak di pinggir jalan depan bar; saya melihat petugas keamanan; dia pun melihat saya.

“Berapa kali Anda akan melakukan ini? Anda perlu bantuan.”

“Saya bisa membantu diri sendiri, atau mungkin alkohol bisa membantu saya.”

“Anda yakin?”

“Bacot, gue beli nih mulut lo,” saya tiba-tiba marah.

Saya membuka dompet saya, dan saya tidak punya uang. Seperti biasa, sebelum menyeret saya ke jalan, bartender mengambil uang dari dompet saya untuk membayar minuman saya. Bartender tersebut baik, ia hanya mengambil apa yang sudah seharusnya diambil. Tidak seperti tikus-tikus yang berkeliaran di bar.

“Berhenti minum seperti itu, kebiasaan buruk jangan lagi diulang. Banyak minum alkohol akan mempengaruhi ginjal, jantung, mata, hati, dan otakmu,” kata petugas keamanan dengan penuh perhatian.

Berbicara tentang otakku, dan itu memang sudah rusak. Saya kerap kali memproyeksikan atau berhalusinasi, saya sering melihat, dan berbicara dengan orang yang tidak nyata. Saya memproyeksikannya sebagai teman, atau orang asing, hal ini dilakukan hanya untuk ngobrol saja.

Dokter mengatakan saya melakukan ini untuk mengatasi kesepian saya, seperti mekanisme pertahanan diri. Setiap kali saya merasa kesepian, saya membayangkan seseorang — entah itu seorang teman, atau bahkan orang asing — hanya untuk diajak ngobrol.

“Beep…beep…beep,” gawai saya berdering. Saya melihat gawai saya; saya membaca pemberitahuan dari rekan saya, Jasmine.

“Jangan lupa bertemu dengan klien pada jam 10 pagi.”

Saatnya menjadi orang normal.

--

--

Médium Bercerita
Médium Bercerita

Published in Médium Bercerita

Medium Bercerita adalah publikasi yang memfokuskan dirinya pada fiksi, sastra, dan cerita. Tempat mengubah angan/gagasan menjadi tulisan, dan semoga menjadi realita yang membawa perubahan.

M Ikhsan
M Ikhsan

Written by M Ikhsan

Suka menulis tentang apa saja