Stasiun
Sebuah cerpen romansa
Kau menatap layar handphone. Di situ tertera pukul 21.14. Dan, kereta tujuanmu adalah pukul 21.30. Kau taruh lagi handphone itu di dalam saku celanamu, dan kau kembali menatap kosong lorong di seberang peron.
Kau merasakan sesuatu yang berbeda di dalam tubuhmu itu. Kau menggigil. Angin bertiup meninggalkan jejak di wajahmu. Dingin malam membuatmu terjaga, walau membuat mata terbuka saja rasanya berat, tapi semua itu kau pertahanankan demi tetap terjaga.
Malam ini adalah malam pertama dirimu sebagai seorang pekerja yang baru pulang dari bekerja. Sebuah pekerjaan yang seharusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang-orang pengangguran.
Entah, mengapa kau merasa kosong saja. Bahkan kau baru sadar sudah kembali duduk sendiri di bangku besi di stasiun.
Kanan-kiri kau mendengar riuh orang lalu-lalang. Suara celotehan wanita dengan dibalas suara lelaki. Kau masih menatap kosong ke seberang peron tempat kau duduk. Menatap wajah-wajah yang nampak kabur, dan berpikir bahwa mereka membalas menatapmu.
Suara kendaraan bermotor sayup-sayup menyela pikiranmu. “Ia datang, kemudian perlahan menghilang,” kau berpikir ada semacam rasa trauma terhadap hal itu.
Kau kembali mengambil handphone di dalam saku celana, membuka kunci, dan memijit sesuatu di sana.
Jari-jarimu bergerak seperti punya kehendaknya. Matamu mengikuti arahannya. Namun, pikiranmu tetap berada di tempat lain.
Sesuatu mengingatkamu terhadap sesosok wanita yang sempat hadir mengisi kekosongan jiwamu. Ternyata semua kebohongan terhadap kesibukanmu hanya menjadi penjeda antara kau dan dia.
Kau berpikir, wanita itu punya cara jitu dan cara tersendiri untuk hadir, mengingatkan, dan membangunkan dari tidur panjang.
Seketika matamu lelah melihat layar handphone dan dengan sekejap kau matikan lagi. Kau masukan kembali ke saku celana.
Kau teringat lagi wajahnya, senyumnya, suaranya, aroma tubuhnya. Kau mengingat lagi masa-masa bersamanya. Kau lebih suka mengenangnya dan tenggelam lama di dalamnya.
Tiba-tiba duduk seorang wanita di sampingmu. Tanpa perintah, kau melirik tempat ia duduk. Ia menebar senyum kepadamu, dan mengucap salam hangat.
Kau membalas salam itu. Dan, turut tersenyum tanpa disadari.
Matanya tak sanggup menatap matamu. Kemudian, wanita itu alihkan pandangan kepada di depannya. Kau mengikuti.
Kalian berada satu bangku yang sama, menatap ke arah yang sama. Namun, kau berharap dia juga mempunyai pikiran yang sama.
Kepalamu mulai sibuk mencari kalimat yang tepat untuk memulai percakapan lagi. Tanganmu meremas-remas bahan celana, dan handphonemu terasa hangat di saku.
Sudah hampir sepuluh menit, kau duduk bersebelahan dengan wanita itu tanpa percakapan. Tanganmu sudah tak meremas-remas bahan celana, malah kau meneggakkan tubuh. Kakimu di bawah salah satunya bergerak-gerak.
Pukul 21.30 keretamu sampai. Dan kau belum juga mengucapkan sepatah dua kata kepada wanita yang duduk di sebelahmu.
“Tidak usah dipikirkan. Biar semuanya berjalan sesuai kehendaknya masing-masing,” ucap wanita itu tiba-tiba.
Kakimu berhenti. Matamu terpaku ke depan setelah mendengar ucapan suara wanita. Detak jantungmu mulai mereda, tubuhmu mulai tenang. Kau mencari dari mana suara itu berasal. Ya, dari sosok wanita di sebelahmu yang tanpa sepengetahuanmu memerhatikanmu.
“Pukul 21.30 adalah jadwal keretamu,” ia menambahi.
Kau mengiakan. Sontak ada senyum tipis di wajahnya. Kau mencium aroma segar dari balik sosoknya yang sedang meringkuk dibalut jas bahan tebal panjang sampai lutut itu.
Kau kembali mengalihkan pandangan dan perpikir mengapa sulit sekali menyapa.
Pukul 21.30 tepat keretamu sampai. Dan, kamu kembali membuka mata, menatap kenyataan yang kini ada di hadapanmu.
Kau memperhatikan bangku sebelahmu tetap kosong. Dan lalu-lalang orang-orang masih terdengar riuh. Suara kendaraan motor masih membuatmu menggigil.
Kini kau menyadari bahwa wanita itu sebetulnya hanya bayanganmu saja. Kau bangkit dari tempat dudukmu. Kau berjalan ke depan, memasuki gerbong yang hanya beberapa menit sudah dijejali banyak manusia.
Ya, kau masih terjaga dan sendiri.[*]