Pinjol Meliar, Siapa Lindungi Rakyat Lapar

Selasa 28 Mei 2024, sekitar pukul 22:00 WIB setelah mujahadah rutin, para santri Pondok Pesantren Budaya Kaliopak menggelar acara Ngaji Dewa Ruci dengan tema “Pinjol: Solusi Ekonomi atau Tuntutan Gengsi”. Program ini didampingi langsung oleh KH. Jadul Maula selaku pengasuh Pondok Pesantren Budaya Kaliopak. Program ini berisi diskusi mendalam tentang fenomena pinjaman online (pinjol) yang menjadi problematika dalam kehidupan digital masyarakat modern.

Zahid Salmani, moderator diskusi, menjelaskan bahwa diskusi ini merupakan upaya elaborasi dari workshop penyusunan naskah Ma’had al-Hadharah as-Siberniyah/Institut Budaya Siber yang berfokus pada pengalaman subjek di dunia digital. Zahid melontarkan pertanyaan menarik tentang pinjol ini; Kenapa dari berbagai pilihan pinjaman uang seperti kredit bank atau pegadaian, masyarakat saat ini lebih memilih pinjol untuk mendapatkan uang tunai cepat daripada pinjaman yang lain? Pertanyaan inilah yang menjadi fokus diskusi Ngaji Dewa Ruci kali ini.

Bangkit Adi Saputra yang menjadi pemantik sekaligus informan dalam diskusi memaparkan bagaimana pinjol menjerat orang-orang yang membutuhkan biaya untuk kebutuhan hidup atau hanya untuk memenuhi kesenangan semata. Dia menjelaskan bahwa pinjol merupakan layanan peminjaman uang tunai yang dilakukan secara daring melalui aplikasi atau situs web. Dia kemudian menjelaskan beberapa karakteristik umum yang ditemui dari penyedia pinjol ini, antara lain: proses cepat, persyaratan mudah, bebas akses, berbasis teknologi digital, dan keamanan data.

Pembahasan dilanjutkan dengan mengidentifikasi aplikasi pinjol populer seperti Akulaku, ShopeePay Later, GoPay Later, Kredivo, Kredit Pintar, dan AdaKami. Bangkit juga menjelaskan bahwa setiap aplikasi pinjol baru akan menawarkan promo yang menggiurkan, sehingga dapat menarik calon peminjam.

Pinjol memiliki perbedaan dengan bank konvensional dalam memberikan pinjaman uang. Perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan pinjol terdapat dalam hal bunga dan jaminan. Bank konvensional memiliki suku bunga yang besarannya relatif sama di tiap bank dan membutuhkan jaminan berupa aset pribadi atau dokumen berharga, sedangkan pinjol memiliki bunga lebih tinggi dan dapat berubah sewaktu-waktu (terutama pinjol ilegal).

Dalam diskusi, klasifikasi pinjol legal dan ilegal dijelaskan oleh Bangkit. Pinjol legal sudah terdaftar pada lembaga OJK (Otoritas Jasa Keuangan) AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) sehingga harus mematuhi kebijakan dari lembaga tersebut. Lain halnya dengan pinjol ilegal yang tidak terdaftar, sehingga sangat berbahaya bagi pihak peminjam terutama dalam hal keamanan data.

Pinjol mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi daripada kredit perbankan di Indonesia. berdasarkan pencatatan OJK, per juni 2023 pertumbuhan pinjol mencapai 18,86% atau jika dinominalkan sebesar Rp 52,7 miliar. Pertumbuhan pinjol ini dua kali lipat lebih besar daripada kredit perbankan yang hanya mencapai 7,76%. Meskipun secara nominal kredit perbankan lebih besar dari pinjol, yakni mencapai Rp 6.656 triliun, tetapi pertumbuhan pinjol tidak bisa dianggap sepele.

Di Indonesia, kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjol ilegal masih didominasi oleh guru sebesar 42%, disusul para korban PHK 21%, ibu rumah tangga 17%, karyawan 9%, pedagang 4%, pelajar 3%, sisanya adalah tukang cukur rambut 2% dan ojek online 1%. Jumlah guru yang yang terjerat pinjol ini tentu sangat miris, hal ini semakin menegaskan bahwa kesejahteraan guru — yang mayoritas berstatus sebagai honorer — masih menjadi masalah yang sangat krusial di Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya guru yang terjerat dalam pinjol ilegal. Pertama, faktor kesejahteraan guru, banyak guru honorer yang penghasilannya dibawah UMR dan terkadang menerima bayaran per tiga bulan. Kedua, akses pembiayaan legal dari perbankan membutuhkan persyaratan yang sulit, sehingga mereka lebih memilih pinjol karena syaratnya mudah. Ketiga, karena banyaknya aplikasi pinjol yang tersebar di dunia digital dan didorong dengan tren gaya hidup mewah yang dipaksakan.

Bangkit juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan pandangan masyarakat tentang fenomena pinjol ini. Gen Z, yang dari awal sudah terbiasa dengan teknologi digital, seringkali terjerumus karena tidak mempertimbangkan dampak jangka jauh dari pinjol dan hanya digunakan untuk memenuhi gengsi. Generasi milenial lebih bersikap hati-hati ketika akan melakukan pinjaman. Sedangkan Generasi boomer dan gen X biasanya tidak terlalu memahami prosedur aplikasi pinjol sehingga jarang ada melakukan pinjaman.

Berdasarkan pengelompokan usia, masyarakat yang paling banyak terjerat pinjol adalah mereka yang memiliki usia 19–34 tahun. Kelompok ini banyak yang terjerat pinjol karena mendapat bunga yang sangat tinggi, sebesar 30% per bulan, sehingga membuat peminjam tercekik secara ekonomi. Lantaran banyak dari mereka tidak bisa melunasi utang, maka maraknya kasus gagal bayar di aplikasi pinjol. Mereka kemudian mendapatkan teror berupa ancaman penyebaran informasi pribadi yang mereka masukkan ketika mendaftar pinjol. Maraknya kasus gagal bayar dalam pinjol ini, selain karena bunganya yang sangat tinggi, disebabkan karena kelompok usia ini sudah terbiasa dengan teknologi digital dan media sosial sehingga memiliki kemungkinan besar terjerumus dalam jeratan pinjol. Penyebab lainnya adalah karena mereka belum memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap.

Dari data yang diperoleh, ditunjukkan penyebab masyarakat terjebak pinjol ilegal, antara lain: membayar utang lain (40,7%), latar belakang ekonomi (15,4%), dana cair lebih cepat (14,1%), memenuhi gaya hidup (10,37%), kebutuhan mendesak (8,4%), perilaku konsumtif (8,4%), tekanan ekonomi (2,9%), membeli gadget baru (1,47%), membayar biaya sekolah (1,3%), literasi rendah (1,19%).

Peserta diskusi juga diberikan ruang untuk mengelaborasi lebih jauh tentang fenomena pinjol ini. Abdul Rohim menyoroti pentingnya literasi digital untuk mengedukasi masyarakat tentang pinjol agar masyarakat bijak dan tidak terjerumus ke dalam masalah pinjol. Bangkit juga menekankan perlunya kesadaran individu dalam mengambil keputusan terkait pinjol. Anaki Wakhid Nur Rohman menambahkan bahaya dari aplikasi pinjol ilegal adalah aplikasi tersebut memiliki peluang besar untuk mengakses data-data pribadi milik pengguna. Abdul Rohman menyoroti tentang mirisnya tren kampus yang mengharuskan mahasiswanya untuk membayar UKT dengan pinjol. Eka Y. Saputra juga mengkritik instansi pemerintah dan keagamaan yang hanya mengeluarkan ancaman maupun kebijakan larangan pinjol tanpa tindakan konkret yang berakibat maraknya kasus bunuh diri orang-orang yang terjerat pinjol.

Pinjol yang berbasis pada teknologi digital telah menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Muncul satu pertanyaan, apakah pinjol ini memang menjadi salah satu cara bagi pihak korporasi maupun investor untuk menjerat dan mengeksploitasi masyarakat kelas menengah ke bawah yang mayoritas minim literasi akan bahaya pinjol?

Berikut ada beberapa alasan kuat mengapa pinjol dianggap sebagai alat yang dapat menjerat dan mengeksploitasi masyarakat:

  1. Suku Bunga dan Biaya yang Tinggi
    Banyak pinjol menawarkan pinjaman dengan suku bunga yang sangat tinggi dan berbagai biaya tambahan. Suku bunga yang tinggi ini seringkali tidak dijelaskan secara rinci pada awalnya, sehingga peminjam tidak sepenuhnya memahami beban yang harus mereka tanggung hingga terlambat.
  2. Proses Pengajuan Pinjaman yang Mudah dan Cepat
    Teknologi digital memungkinkan proses pengajuan pinjaman yang sangat cepat dan mudah. Meskipun ini bisa menjadi keuntungan, namun juga memudahkan masyarakat untuk terjerat utang tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan kemampuan ekonomi mereka untuk melunasi.
  3. Kurangnya Edukasi Finansial
    Banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang kurang mendapatkan edukasi finansial yang memadai. Mereka mungkin tidak memahami resiko dari pinjaman dengan suku bunga tinggi atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membandingkan berbagai pilihan finansial yang ada.
  4. Praktik Penagihan yang Agresif
    Banyak laporan mengenai praktik penagihan pinjol yang sangat agresif dan tidak etis. Praktik ini termasuk intimidasi, ancaman, dan penyebaran data pribadi peminjam ke kontak mereka sebagai bentuk tekanan untuk membayar.
  5. Kerentanan Ekonomi
    Masyarakat kelas menengah ke bawah banyak yang memiliki sumber pendapatan yang tidak stabil. Ketika mereka menghadapi keadaan darurat atau kebutuhan mendesak, pinjol menjadi solusi cepat yang tampak mudah diakses, namun dapat menjerat mereka dalam siklus utang yang sulit diatasi.
  6. Regulasi yang Belum Memadai
    Meskipun ada upaya dari pemerintah dan otoritas terkait untuk mengatur pinjol, regulasi yang ada seringkali belum cukup ketat atau efektif dalam melindungi konsumen. Ini membuat para pelaku usaha pinjol yang tidak bertanggung jawab masih bisa beroperasi dengan leluasa.

Dalam rangka mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah preventif seperti peningkatan regulasi dan pengawasan terhadap pinjol, peningkatan edukasi finansial untuk masyarakat, serta penyediaan alternatif pinjaman yang lebih aman dan terjangkau. Dengan demikian, masyarakat kelas menengah ke bawah dapat terhindar dari resiko jeratan hutang yang eksploitatif dan mendapatkan solusi finansial yang lebih berkelanjutan.

Kiai Jadul mengakhiri diskusi ini dengan menekankan agar pihak pemerintah dan otoritas keagamaan harus berperan penting dalam memberikan himbauan dan literasi digital kepada masyarakat tentang bahaya dari pinjol. Kedua pihak tersebut memiliki peranan yang penting selaku pembuat kebijakan agar tidak ada lagi kasus bunuh diri di masyarakat yang terjerumus dalam teror pinjol ini. Karena selain sejumlah faktor pendukung seperti promo yang ditawarkan menarik, masyarakat yang minim literasi akan pinjol ini, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa tengah terjadi ketimpangan yang amat besar antara masyarakat kelas atas dan menengah ke bawah. Harga kebutuhan pokok termasuk biaya pendidikan saat ini memang mengalami kenaikan drastis. Situasi sosial inilah yang membuat masyarakat mau tidak mau memanfaatkan pinjol demi memenuhi kebutuhan harian dan melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.

--

--