Ringkasan Buku: The Age of AI

Eka Y Saputra
Mahad al-Hadlarah as-Siberniyah
12 min readJul 2, 2024

Dialihbahasakan dari Blinkist Free Daily: The Age of AI.

Judul: The Age of AI And Our Human Future

Penulis: Henry Kissinger, Eric Schmidt, Daniel Huttenlocher

1/7

Poin Utama

Pengaruh kecerdasan artifisial (AI) jauh melampaui penerapan teoritiknya. Saat ini, AI telah menjadi bagian dari nyata dari peradaban dunia. Perkembangannya yang sangat cepat dan menyentuh berbagai bidang mulai dari penciptaan seni hingga sistem persenjataan canggih. Kecepatan pengembangan dan penerapan kecerdasan artifisial dalam kehidupan sehari-hari memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai tata kelola dan etika penggunaannya. Sejauh mana masyarakat dan para pemimpinnya mampu mengawasi evolusi AI adalah tantangan utama era ini.

Dalam ringkasan ini, kita akan mengeksplorasi asal mula kecerdasan artifisial, menilik kapabilitasnya saat ini, dan merenungkan kemungkinannya di masa yang akan datang. Yang lebih penting lagi, kita akan menyelami pertanyaan-pertanyaan kritis dan kompleks yang timbul di era yang kian ditentukan arahnya oleh teknologi AI.

2/7

Sejak Turing Hingga Saat Ini

Kecerdasan artifisial telah berkembang dengan sangat cepat sejak masih berupa konsep teoretis hingga berwujud teknologi canggih, semisal pembelajaran mesin (machine learning), dan masih terus melaju melampaui perkiraan kita.

Ialah Alan Turing, sang filsuf dan ilmuwan abad ke-20, yang mengajukan metode evaluasi demi menentukan apakah mesin mampu menunjukkan kecerdasan setara manusia. Ia menggagas model evaluasi berupa tantangan kreatif alih-alih pengujian matematis. Turing menggambarkan sebuah eksperimen yang melibatkan seorang penguji yang melakukan percakapan tertulis dengan sebuah komputer dan seseorang lainnya, tanpa mengetahui siapa yang menuliskan respons kepadanya. Si penguji lantas menilai kemampuan mesin untuk mendemonstrasikan respons, pemikiran, dan kecerdasan emosional ala manusia melalui kapabilitas bahasa alamiahnya.

Pendekatan ini menitikberatkan pada pengujian kapabilitas mesin atas tugas-tugas seperti fluiditas bahasa, penyelesaian permasalahan, dan adaptasi atas informasi baru. Kecakapan matematis saja tidaklah cukup. Kriteria untuk kecerdasan ala Turing — yang kemudian dikenal sebagai Turing test — masih sangat berpengaruh hingga hari ini. Kriteria ini menjadi tolok ukur kunci atas kemajuan AI, lebih penting daripada pengukuran kecepatan dan akurasi.

Para peneliti menemukan bahwa kode berbasis aturan (rule-based code) saja tak mampu meniru kesadaran manusia. Untuk itu, teknik-teknik yang menggunakan jaringan syaraf (neural networks) — yakni jejaring simpul-simpul yang dipergunakan dalam pembelajaran mesin — dikembangkan demi memampukan kecerdasan artifisial memahami informasi yang bersifat ambigu dan tak sempurna sebagaimana kita melakukannya. Jika kita memberikan kepada AI contoh-contoh yang cukup tentang struktur molekuler dan efektivitas antibiotik, ia akan mampu memprediksi obat-obatan baru yang bahkan belum pernah terbayangkan oleh para ilmuwan. Berikan kepadanya novel-novel klasik dan artikel-artikel berita, maka ia akan mampu menggubah kisah-kisah orisinal yang tak jarang mengerikan.

Selain untuk mengatur program-program komputer agar bekerja sesuai perintah, kode telah dikembangkan untuk belajar berdasarkan data latihan yang diberikan.

Di dalam bidang biologi, sistem prediksi pelipatan protein milik AlphaFold mendemonstrasikan kemampuan ini dengan baik. Ia mencapai rating akurasi yang melampaui capaian sains sebelumnya dengan berlatih menggunakan data DNA, sehingga memampukan para bologis untuk memvalidasi pelbagai teori dalam skala yang menakjubkan.

Untuk mewujudkannya, para ilmuwan memanfaatkan basis data raksasa seperti Protein Data Bank yang memuat lebih dari 170 ribu struktur protein 3D yang disusun secara eksperimental. Mereka juga mempergunakan dataset seperti UniProt, yang memuat jutaan sekuens protein tanpa struktur 3D yang diketahui. Dengan kombinasi informasi dari rangkaian data latihan tersebut, AlphaFold belajar bagaimana seharusnya kenampakan dari protein-protein yang terlipat dengan baik, juga menentukan protein-protein mana saja yang belum terselesaikan. Setelah sekian kali proses penyempurnaan, proses latihan ini menghasilkan pelipatan-pelipatan protein yang belum pernah ada sebelumnya, sekaligus membuka kemungkinan untuk memahami interaksi antara penyakit dan obat dengan lebih baik.

Dengan sekian banyak keunggulan yang dimilikinya, kecerdasan artifisial juga mempunyai batasan-batasan yang kerap ditampakkan dengan bias dan kesalahan-kesalahan yang tak terduga.

Kelemahan dalam data latihan atau pengawasan manusia bisa sangat mengacaukan keluaran sistem, seperti ketika Tay, chatbot milik Microsoft, tanpa diduga mengeluarkan ucapan-ucapan rasis dan seksis dalam sebuah interaksi publik. Selain itu, kegagalan memahami konteks saat memproses informasi membuat AI melakukan kekeliruan yang hampir tak mungkin dilakukan manusia.

Model bahasa besar (large language model atau LLM) seperti ChatGPT bekerja dengan melatih sistem AI menggunakan dataset teks dalam jumlah sangat besar. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memampukannya mempelajari pola-pola nuansa yang dimiliki oleh bahasa dan sistem penulisan. Sistem kecerdasan artifisial tersebut memprediksi kata-kata apa saja yang paling mungkin muncul dalam suatu pola kalimat untuk bisa menyusun teks yang nampak fasih selayaknya manusia. Dengan demikian, LLM cenderung melatih AI untuk menghasilkan kalimat yang rapi secara tata bahasa, bukan kalimat yang memuat fakta akurat. Akibatnya, tanpa pengawasan yang ketat, kecerdasan artifisial akan terus menerus menuliskan teks-teks yang seolah-olah bisa dipercaya, namun sekaligus manipulatif dan di luar batasan etika seperti yang dilakukan oleh Tay.

Oleh karenanya, krusial bagi kita untuk menanamkan akuntabilitas demi memastikan agar AI tetap selaras dengan etika dan kebermanfaatan sosial. Pemerintah sejumlah negara menerapkan sertifikasi profesional, standar, dan pengawasan kepatuhan sebab pertumbuhan teknologi ini belum nampak akan melambat dalam waktu dekat. Di sisi lain, peluang-peluang luar biasa ada di depan mata jika pengembangan teknologi kecerdasan artifisial didampingi dengan baik oleh para ahli hukum, pakar etika, juga para seniman. Ia akan mampu melahirkan karya-karya kreatif yang merefleksikan indahnya keberagaman budaya manusia.

3/7

Jejaring Global

Aneka platform digital telah menjadi bagian intrinsik dalam kehidupan modern. Platform-platform ini sangat bergantung kepada AI demi mengoptimalkan pengalaman miliaran pengguna di seluruh dunia. Layanan-layanan seperti media sosial, lokapasar, dan mesin penelusuran memanfaatkan algoritma tertentu untuk menghasilkan keluaran unik informasi dan produk bagi masing-masing individu pengguna.

Selain menyajikan berbagai kemudahan, sistem seperti ini juga memunculkan persoalan kompleks terkait akuntabilitasnya. Saat kecerdasan artifisial melakukan kurasi konten, ia bisa saja secara tidak sengaja mendorong perpecahan sosial atau membatasi diskursus akademik yang esensial bagi demokrasi.

Facebook mendemonstrasikan ketegangan ini. Algoritmanya mahir dalam menyajikan rekomendasi konten dan pertemanan demi meningkatkan keterlibatan (engagement) pengguna di dalam platform. Di sisi lain, algoritma yang sama juga memampukan misinformasi sensasional tersebar lebih cepat (semisal menjelang Pemilihan Umum), juga memunculkan kacamata kuda (tunnel vision) digital yang berpusar pada emosi massa dan umpan klik. Dilema yang muncul kemudian adalah bahwa solusi dari permasalahan di atas berisiko pada penyensoran aspirasi publik. Facebook telah mengembangkan standar kebijakan komunitas dan prosedur penurunan konten demi memerangi unggahan toksik dan akun-akun palsu. Sayangnya, tindakan tersebut juga berisiko memblokir para aktivis atau jurnalis yang berupaya untuk mempublikasikan hal-hal kontroversial namun penting untuk diketahui khalayak.

Mekanisme moderasi semacam ini menunjukkan kelemahan AI dalam melakukan analisis atas konteks yang bernuansa. Mesin tak mampu menilai segala situasi dengan sempurna, khususnya konten yang bermuatan humor, perbedaan pendapat politik, dan sebagainya. Apakah penyensoran materi-materi problematik menghalangi paparan sewajarnya atas perbedaan pendapat sebagai pondasi resiliensi sosial? Prinsip-prinsip moral dan intelektual seperti apa yang kita harapkan dalam kehidupan masyarakat kita? Bagaimana cara kita memastikan bahwa kecerdasan artifisial mampu memenuhi ekspektasi sosial semacam ini?

Sepanjang kita bergantung pada AI yang kian canggih sekaligus semakin tidak transparan untuk memproduksi dan memoderasi konten, maka semakin rumit pula percabangan opsi-opsi politis dan teknologisnya. Perkembangannya terlalu cepat bagi para pemangku kebijakan di berbagai negara untuk mampu memutuskan bagaimana model implementasi kecerdasan artifisial yang tepat di dalam budaya mereka masing-masing. Hal ini menjadikan AI bermuatan asumsi-asumsi sosial tertentu yang ditentukan oleh kultur para pengembangnya alih-alih kultur para penggunanya.

Pemerintah bukanlah satu-satunya pemain. Facebook adalah contoh nyata bagaimana korporasi besar yang memanfaatkan kecerdasan artifisial mampu mempengaruhi lanskap geopolitik demi memelihara daya kompetitifnya. Jika benar knowledge is power, maka kita mesti memahami betul siapa yang mengendalikan arus pengetahuan.

Secara umum, perkembangan teknologi AI telah mengangkat kembali persoalan-persoalan purba yang setua perbedaan pendapat antar manusia. Keberagaman opini, misinformasi, dan kebenaran subjektif senantiasa dipergulatkan di ruang-ruang publik. Kecanggihan dan skala global teknologi modern memfasilitasi dan mempertebal pertentangan tersebut. Penting bagi kita untuk merenungkan konsekuensi-konsekuensi berskala besar atas keputusan yang kita ambil terhadap kecerdasan artifisial jika kita hendak membangun dunia yang mampu mendayagunakan secara efektif segenap capaian teknologinya.

4/7

Pertahanan dan Keamanan

Kita telah menyaksikan bagaimana AI mengemulasi dan kerap melampaui manusia dalam hal akuisisi dan penerapan pengetahuan. Situasi ini selain menjanjikan masa depan yang cerah, juga mengundang anasir-anasir jahat untuk ikut serta ke dalam permainan.

Mirip dengan perlombaan pengembangan senjata nuklir pada 1940-an, kecerdasan artifisial menjanjikan revolusi teknologi pertahanan. Integrasi AI ke dalam area penargetan senjata, koordinasi kawanan drone, dan pertahanan siber membawa serta ancaman-ancaman baru yang belum pernah ada presedennya. Tanpa adanya “garis merah” pembatas kehancuran bumi yang membuat negara-negara maju berupaya untuk saling mencegah perang nuklir, kecerdasan artifisial mengaburkan daya kontrol manusia. Lebih jauh, potensi perluasan dan penguatan daya serang senjata dengan bantuan AI meningkatkan kompleksitas strategi pertahanan dan keamanan.

Mari kita menilik sebuah ilustrasi. Senjata-senjata siber otonom yang diperkuat dengan kecerdasan artifisial mampu secara independen menelusuri celah-celah kerentanan lawan. Mereka berpotensi untuk menyesuaikan kode-kodenya sehingga menghasilkan daya rusak melampaui yang kita inginkan. Artinya, seluruh model penangkalan kerusakan tradisional berdasarkan pada risiko eskalasi yang kita bayangkan semakin tak bisa diandalkan. Jika lawan menyisipkan malware dengan AI untuk menyamarkan serangan sebagai sebuah gangguan kecil dalam sistem, maka sistem deteksi dan respons atas serangan yang mestinya tepat waktu dan akurat menjadi kacau.

Doktrin nuklir Perang Dingin bergantung pada sinyal-sinyal ancaman yang nyata demi mencegah krisis. Namun, ambiguitas yang melingkupi dinamika pertahanan era ini mengakibatkan instabilitas atas dialog perdamaian internasional.

Selain itu, kecerdasan artifisial yang diintegrasikan ke dalam sisi strategis pertahanan bisa saja tanpa disengaja memberikan rekomendasi yang bias kepada para komandan di dalam sebuah operasi pertahanan yang kompleks. Perangkat lunak rekognisi terkini bisa kesulitan untuk membedakan objek-objek sederhana di bawah kondisi pencahayaan yang berubah-ubah atau sudut penglihatan yang bergeser-geser. Apakah kita mempercayai AI untuk menentukan sasaran serangan berdasarkan rekognisi wajah atau pola behavioral? Jika iya, lantas siapa yang bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang dibuat oleh AI dalam situasi pertempuran?

Lembaga seperti Institut Riset Radiobiologi Angkatan Bersenjata (AFRRI) berfungsi memberikan rekomendasi kepada militer AS dalam insiden-insiden terkait radiasi. Sayangnya, belum ada lembaga yang setara dalam hal kecerdasan artifisial. Ini menunjukkan bahwa bahkan kekuatan militer terbesar di dunia pun rentan, baik dalam risiko kesalahan penggunaan AI di medan perang maupun risiko serangan AI melalui metode-metode yang tak terprediksi.

Oleh karena itu, perencanaan pertahanan harus mampu menyeimbangkan antara risiko-risiko yang baru muncul dengan realitas teknologi keamanan terkini. Kita harus memandang jauh ke depan, sekaligus memahami bagaimana kecerdasan artifisial bekerja pada saat ini. Selama teknologi baru ini dalam tahap perkembangan, kita masih memiliki kesempatan untuk menyusun norma-norma etika dan kanal-kanal kerjasama internasional demi memandu pengembangan teknologi yang bertanggungjawab.

Peluru tak boleh mendahului diplomasi, sebagaimana pada masa lampau. Melalui kolaborasi akademik dan kebijakan politik, mungkin bagi AI untuk dikembangkan secara aman sebelum telanjur menjadi ancaman. Namun, jika kita tidak cukup memiliki visi ke depan yang mensyaratkan pengambilan tindakan saat ini juga, kita mungkin akan menyaksikan kecerdasan artifisial mengacaukan tatanan global dalam cara-cara yang belum ada presedennya.

5/7

AI dan Identitas Manusia

Lantaran AI mendemonstrasikan kapasitas yang sebelumnya hanya dimiliki oleh manusia, perkembangannya memunculkan persoalan filosofis mengenai relasi teknologi dengan identitas manusia. Pelbagai sistem kecerdasan artifisial saat ini sudah mampu membuat karya seni, musik, sastra, dan lain sebagainya dengan level kompleksitas yang selalu meningkat hingga memperluas kemungkinan-kemungkinan kreatif yang baru. Ketika mesin mulai menembus batas realitas subjektif yang sejak dahulu memberi makna bagi kita, muncullah risiko terkait kemungkinan ketergantungan manusia yang berlebihan kepada perangkat pemenuhan kepuasan artifisial.

Anak-anak yang menikmati pendampingan AI bisa merasa terlalu nyaman dengan nasihat-nasihat yang cocok dengan preferensi pribadi mereka, sehingga variasi pandangan manusia membuat mereka merasa tak nyaman. Dan jika teknologi menyaring informasi agar sesuai dengan bias internal, maka kemampuan untuk memahami perspektif-perspektif alternatif akan semakin berkurang. Kondisi ini menunjukkan bahwa inovasi berpotensi untuk membatasi eksposur yang sehat pada stimuli yang tak mesti disepakati demi membangun resiliensi.

Bersamaan dengan lahirnya sistem-sistem kecerdasan artifisial yang mampu menggantikan peran yang sebelumnya dijalankan oleh manusia, banyak dari kita yang mengalami problem kehilangan lapangan pekerjaan. Kita telah menyaksikan disrupsi besar-besaran dalam hampir semua bidang industri, dari industri kreatif hingga teknologi. Masihkah perlu seorang perupa untuk membuat sebuah lukisan? Bagaimana dengan pengalaman penikmat karya rupa atau musik yang dibuat tanpa campur tangan manusia?

Kita mesti mempertimbangkan algoritma pendeteksi emosi yang saat ini telah mampu menganalisis ekspresi wajah, nada suara, dan sintaksis dalam suatu percakapan untuk menyimpulkan kondisi batin manusia. Sejumlah aplikasi dilengkapi dengan fitur ini sebagai mitigasi bagi para penggunanya yang menyimpan permasalahan emosional di benaknya. Jembatan Mapo di Seoul, Korea Selatan, mengimplementasikan sistem AI untuk pencegahan bunuh diri setelah landmark tersebut menjadi lokasi berisiko tinggi. Dengan CCTV yang dilengkapi analitika video deep learning, sensor kecerdasan buatan mengidentifikasi para pengunjung yang berisiko dan mengeluarkan peringatan kepada petugas layanan darurat agar segera melakukan penanganan.

Di sisi lain, menilai kondisi batin subjektif manusia dengan logika komputasi membawa serta risiko akan dianggap sebagai sebuah perilaku dehumanisasi. Anggapan ini bisa membuat orang tidak sepakat dengan gagasan tersebut. Kita perlu merumuskan titik keseimbangan yang tepat atas manfaat dan risiko sistem semacam ini agar teknologi deteksi suasana batin bisa berkembang tanpa mengisolir kebutuhan subjektif manusia. Meskipun angka bunuh diri di Jembatan Mapo dilaporkan telah berkurang hingga lebih dari 75 persen sejak implementasi sistem AI ini, namun upaya ini mengabaikan akar permasalahan, yakni iklim sosial sebagai penyebab angka bunuh diri yang tinggi.

Sebagaimana pergeseran level seismik lainnya, jika didampingi dengan penuh kesadaran, kecerdasan artifisial akan mampu membentuk konsepsi-konsepsi tujuan dan mengaktualisasikan potensi yang besar. Jika prioritas etik memandu pengembangan AI, peningkatan atas akses dan kemungkinan penemuan-penemuan baru akan membawa lebih banyak manfaat daripada risiko. Jika batasan-batasan yang tegas ditentukan dengan rapi, akan terwujud perlindungan atas wilayah-wilayah di mana manusia bisa berkreasi, melakukan eksplorasi, dan saling menjalin relasi tanpa tergantung pada teknologi. Dengan metode prediksi yang akurat, kecerdasan artifisial bisa meringankan perjalanan hidup manusia alih-alih memberatkannya. Risiko-risikonya cukup substansial, demikian juga potensi manfaatnya.

6/7

AI dan Masa Depan

Ketika mesin cetak dokumen ditemukan, maka untuk pertama kalinya informasi menjadi lebih mudah diakses oleh semua orang ketimbang manuskrip salinan tangan. Di kemudian hari, lahirnya internet memampukan kita untuk menemukan informasi secara global. Hal ini membawa serta akses sekejap atas berita dan penemuan saintifik dari belahan bumi yang jauh.

Sebagaimana mesin cetak dan internet, AI menjanjikan transformasi besar-besaran dalam cara kita mengakses dan memahami informasi. Ha ini dibuktikan dengan daya pikir dan daya kreasi mirip manusia dari kecerdasan artifisial yang selalu meningkat setiap harinya, misalnya dalam pengetahuan medis maupun penciptaan karya seni. Sewajarnya suatu proses transisi, ia bisa bersifat disruptif. Kita telah menyaksikan orang-orang yang menolak teknologi AI, atau barangkali kita sendiri yang telah memanfaatkannya secara serampangan. Kemajuan mensyaratkan panduan etis yang proaktif demi memastikan kecerdasan buatan lebih banyak membawa manfaat daripada risiko.

Masyarakat yang telah mengadopsi AI dalam kesehariannya menghadapi dilema dalam hal pengelolaan kuasa kontrol kecerdasan artifisial untuk tiap-tiap konteks. Bidang-bidang tertentu semisal pengawasan lingkungan bisa sepenuhnya mendayagunakan algoritma untuk memperhitungkan dinamika ekosistem yang sulit untuk dideteksi dengan indera manusia biasa.

Bidang lainnya, semisal penegakan hukum, memerlukan pengawasan manusia untuk memastikan hak-hak konstitusional tetap terlindungi oleh teknologi yang rawan bias saat menganalisis identitas. Pada 2020, kepolisian Detroit mulai menggunakan sistem rekognisi untuk mengidentifikasi tersangka kriminalitas. Sayangnya, sejumlah audit bias rasial menemukan bahwa perangkat lunak tersebut memiliki tingkat kekeliruan sebesar 96% ketika mengidentifikasi wajah orang-orang Afrika Amerika dan Asia.

Kekeliruan muncul dari data pembelajaran AI, yang utamanya berisi wajah orang-orang kulit putih. Pengembangan yang bertanggungjawab untuk sistem seperti ini memerlukan pertanyaan-pertanyaan rinci mengenai bagaimana penggunaan yang tepat atas kecerdasan artifisial, bias apa saja yang terkandung di dalamnya, dan siapa yang bertanggungjawab ketika AI mengecewakan publik.

Bagaimanapun juga, sulit membayangkan kehidupan modern tanpa asisten digital dan panduan kecerdasan artifisial. Ketergantungan kita atas alat bantu tersebut ikut membentuk pola pikir kita, selayaknya ketika mekanisme di luar diri mengambil alih fungsi-fungsi dasar tubuh kita. Para pemikir pencerahan menganggap diri individu sebagai unit politik pertama dengan mendefinisikan akal sebagai jalan pembebasan potensi manusia. Ketika AI menyaring akses atas informasi berdasarkan apa yang dianggapnya sesuai dengan preferensi kita, maka ia sedang membatasi kemerdekaan kita. Ini berarti mengurangi nilai kegunaannya dalam kehidupan masyarakat demokratik.

Ini bukanlah kecaman atas kecerdasan artifisial. Sebab, inovasi tak mungkin bebas dari campur tangan atas segenap aspek peradaban. Dengan mempersoalkan etika dan moral sedini mungkin, kita bisa mengadopsi AI ke dalam kehidupan masyarakat sekaligus menghindari lubang-lubang jebakan yang menghadang. Kebudayaan yang menyeimbangkan antara teknologi dengan kearifan akan bisa menjelajahi periode penuh gejolak ini dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kulturalnya. Dan, jika kemajuan didasarkan pada prioritas-prioritas etis, AI memungkinkan untuk berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Satu-satunya cara untuk membentuk masa depan ialah dengan terlibat penuh di masa sekarang.

7/7

Kesimpulan

Kecerdasan artifisial telah berkembang pesat dari sistem-sistem kecil menuju teknologi fleksibel seperti pembelajaran mesin yang senantiasa melampaui perkiraan kita di berbagai bidang. Risiko-risiko besar muncul dengan kemungkinan tak terbayangkan jika pengembangan AI terus dilanjutkan tanpa panduan etika. Ketika kecerdasan artifisial menunjukkan serangkaian kemampuan yang dulunya hanya dimiliki oleh manusia, persoalan filosofis muncul terkait relasi antara teknologi ini dengan identitas manusia dan masyarakat.

Dengan menyeimbangkan antara kemajuan dan kearifan, menegaskan batasan-batasan, dan memprioritaskan peningkatan nilai manfaat di atas disrupsi, AI diharapkan mampu mencerahkan perjalanan kehidupan manusia alih-alih menyuramkannya. Hanya dengan memberikan panduan bagi umat manusia dalam melewati masa transisi ini dengan penuh kehati-hatian, kita bisa memastikan optimalisasi pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial.

--

--