3,97 Tahun Menjadi Pribumi Terpelajar

pandito pratama
Mahitanawala
Published in
4 min readJul 29, 2017

dari bangunan tak bernomor di Bukit Duri sampai Ganesa nomor sepuluh.

BAB 1 Daftar Ulang di Tamansari 73

“Halo?” “Oi! lo dimana? Gue gaktau tempat pastinya”

“Ke Saraga aja to, deket lapangan tenis anak-anak pada ngumpul sana, gue juga baru sampai.” balas Ardhi.

Tanggal 14 Agustus 2013 waktu itu. Lebaran baru lewat beberapa hari di tahun itu. Nagrek masih dalam kondisi macet-macetnya. Tapi ratusan anak berkemeja putih dan bercelana abu-abu sudah berkumpul di dekat gedung setengah lingkaran itu.

Saya berangkat diantar Ayah dari salah satu hotel Cihampelas bawah. Kita baru sampai Bandung kurang lebih pukul 3 pagi karena memang malamnya, Nagrek macet luar biasa. Untungnya sempat ada kebijakan satu arah, dan kebetulan arah bandung yang diprioritaskan, jadi kita tetap bisa sampai di Bandung sebelum daftar ulang, kalau arah sebaliknya yang diprioritaskan, bisa jadi sekarang aku bukan alumni Institut Teknologi Bandung. Dari arah bawah kami menuju ke atas ke arah Sabuga, sampai di depan annex dan di depan kampus ITB, terpampang spanduk besar “Selamat Datang Putra Putri Terbaik Bangsa, Calon Pemimpin Masa Depan”. Aku rasa saat itu merupakan tahun terakhir spanduk dengan kata-kata seperti itu terpasang, di tahun-tahun berikutnya, kalimatnya diganti yang lebih rendah hati seperti “Selamat Datang Putra Putri Harapan Bangsa”. Ah, padahal tak apa juga sekali-kali berbangga hati.

Ya, hari itu pendaftaran ulang untuk calon mahasiswa yang lulus melalui jalur SBMPTN dan kalau tidak salah hanya beberapa fakultas yang hari itu, FITB dan FTTM termasuk yang kebagian giliran untuk daftar hari itu. Oleh karenanya saya dan Ardhi kebagian mendaftar di hari itu sedangkan Angger aku lupa, dia mendaftar sebelum atau sesudah hari itu. Ardhi adalah mahasiswa FTTM, Angger adalah mahasiswa SAPPK. Keduanya sama denganku, dari SMA Negeri 8 Jakarta, dan kesamaan kami yang lain adalah, kami tinggal di kosan yang sama, Alamanda D44. Cerita tentang D44 ini nantinya akan banyak kuceritakan di bagian selanjutnya.

Aku langsung berkumpul dengan beberapa teman yang aku kenal. Aku ingat waktu itu, setelah sekian lama, aku bertemu lagi dengan teman dekat saat SD ku, Senna, dan kebetulan kami sefakultas.

“Yang SBMPTN masuk, yang SBMPTN masuk.” tiba-tiba terdengar suara oleh panitia dari ujung antrean. Aku pun segera masuk ke dalam. Tak kenal siapa-siapa saat itu. Baru kenal Senna, sayangnya dia berada di beberapa antrean di depanku sehingga terlalu jauh untuk kami dapat berbincang. Lalu aku melihat ada dua perempuan yang warna rok SMAnya sama dengan warna celanaku, pasti ini Vania dan Puti. Bosan tak punya teman untuk mengobrol, langsung saja kusapa salah satu dari mereka.

“Put, FITB juga kan?” sapaku.

Kami tak pernah saling mengenal saat SMA, tapi tau satu sama lain. Oleh karenanya, sapaan sederhana tadi mengalir begitu saja menjadi perbincangan tiga orang teman yang seperti sudah lama kenal.

Ada banyak jenis orang yang baru pertama kali kutemui saat itu. Aku ingat sekali waktu itu ada beberapa anak SMA asal Bandung yang sudah langsung akrab, padahal dilihat dari badge di kemeja yang mereka kenakan, mereka dari SMA yang berbeda, belakangan aku tahu mereka adalah Oji yang waktu itu masih memperkenalkan diri sebagai Iqbal dan masih bingung mau menggunakan kata aku, aing atau gue, dan Guna yang waktu itu masih memperkenalkan diri sebagai Asep.

Antrean pun berjalan dengan lancar, sampai tiba-tiba Senna kehilangan pas fotonya, salah satu dokumen untuk daftar ulang. Aku masih ingat saat itu mukanya yang cukup panik karena takut gagal dalam proses pendaftaran ulang sebagai mahasiswa ITB. Aku pun juga mengalami hal yang sama, karena ternyata calon mahasiswa harus sudah membayar uang SPP semester pertama dan aku belum membayar sama sekali, untung saat itu bisa dilakukan penangguhan terlebih dahulu.

Setelah selesai mendaftar, aku dan beberapa anak SMA 8 lainnya harus ke ruangan khusus terlebih dahulu untuk penangguhan salah satu dokumen yang tidak dapat kami penuhi, yaitu SKHUN. Karena entah kenapa, waktu itu dengan konyolnya SKHUN kami dicap “Dinas Kesehatan” bukan “Dinas Pendidikan” dan baru tersadar setelah berpuluh-puluh lembar SKHUN tercap.

Daftar ulang selesai. Aku resmi jadi mahasiswa dan punya nomor induk mahasiswa. Ardhi, yang ruang pendaftarannya berbeda denganku karena berbeda fakultas, juga sudah selesai melakukan pendaftaran.

Saya orang yang cukup jarang meminta untuk difoto, Ardhi apalagi. Ah tapi saat itu dua makhluk yang pernah jadi ketua pecinta alam dan ketua perwakilan kelas saat SMA ini tidak peduli. Saya pun meminta tolong Vania untuk mengabadikan foto pertama kami menjadi mahasiswa, di depan tulisan Ilmu, Teknologi, Seni.

Aku dan Ardhi, 2013, di depan Pintu Utama Sasana Budaya Ganesa.

Cukup aneh pikirku kala itu. Menjadi mahasiswa, di kota Bandung. Dua hal yang benar-benar baru bagiku. Menjadi mahasiswa dan tinggal di kota Bandung.

Bersambung.

--

--