Insinyur tanpa Sense Spasial dan Psiko-Sosial

pandito pratama
Mahitanawala
Published in
4 min readJan 8, 2017

tentang Halte Busway CSW dan penggunanya yang titisan herkules.

Sudah lama saya tak menjajal jalan-jalan ibukota, apalagi sampai ke tengah kota dan pusat perkantorannya. Jalan-jalan besar sudah tak sama wujudnya dengan beberapa tahun lalu saat saya masih sering di Jakarta. Banyak flyover menjulang di atas, pengalihan arus, penutupan jalan karena MRT, ya, banyak sekali pembangunan dalam beberapa tahun kebelakang. Bukan hal yang negatif memang menambah jalan dan mempermudah akses, toh semuanya juga untuk memenuhi tuntutan para warga dari kota yang jumlah penduduknya kedua terbanyak di dunia.

Semua terlihat normal seperti pembangunan pada umumnya sampai saya tiba di suatu perempatan dekat Gedung Sekretariat ASEAN. Ada dua pembangunan yang menghasilkan dua jalan melayang di atas perempatan, yang pertama pembangunan MRT Koridor Lebak Bulus-Bundaran HI dan pembangunan Jalan Layang yang konon akan digunakan Transjakarta Koridor Ciledug-Tendean. Namun bukan pada kedua pembangunan itu kejanggalan berada, namun pada suatu Halte Busway yang berada tepat di atas perempatan tersebut.

Penampakan lantai 1 dari halte, bisa dilihat jalan raya sudah cukup jauh dari tingkat 2 namun itu masih setengah jalan mencapai halte. (Megapolitan, Kompas.com)

Begitulah penampakan dari kejanggalan tadi. Halte tersebut berada sangat jauh dari jalan raya, bertengger di atas permukaan setinggi 20,7 meter, sehingga penggunanya harus menggunakan tangga yang jumlahnya kurang lebih 108 anak tangga. Halte terdiri dari 3 lantai jika lantai dasar yang merupakan jalan raya tidak dimasukkan ke penghitungan. Untuk mencapai lantai 1 saja sudah sangat memerlukan usaha yang besar karena ini sudah sama saja dengan menaikki jembatan penyeberangan orang, namun itu masih 1/3 jalan karena masih ada 2 lantai lagi untuk digapai. Sudah pasti, hanya orang-orang berfisik hebat yang dapat menaikkinya minimal 2 kali sehari. Tidak ada lift, tidak ada eskalator untuk mempermudah orang untuk berada sampai di puncak Halte, mungkin karena alasan spasial juga hal ini ditiadakan, tidak cukup ruang untuk membangun eskalator, tidak cukup ruang juga untuk membangun lift.

Namun sebenarnya masih ada solusi lain untuk meningkatkan keinginan masyarakat untuk menggunakan halte ini, yaitu untuk menambah jembatan penyeberangan tanpa tangga, yang panjang dan perlahan menurun, seperti yang dilakukan di Halte Transjakarta dekat Atrium Senen dan di dekat Semanggi. Psikologi manusia akan mengatakan itu lebih mudah karena kaki tidak perlu menggenjot ototnya karena harus menaikki anak tangga satu persatu. Menaikki jembatan panjang tersebut juga terasa kurang lebih sama dengan berjalan kaki di tempat datar, karena sifatnya yang naik secara perlahan. Kalau memang secara spasial tidak memungkinkan di titik tersebut digunakan jembatan panjang, dapatlah halte tersebut dipindahkan beberapa meter agar dapat dipasang jembatan ramah manusia tersebut, bukankah itu guna insinyur? merekayasa sesuatu agar mempermudah kerja manusia?

Kejadian ini disebabkan bukan terletak pada pembuat halte semata, namun jauh panjang dari proses perencanaan, survei reconnaisance (survei awal ke titik pembangunan), dan ground-truthing. Mungkin ada kekeliruan sedikit bahwa pada perencanaan luput satu aspek tinjauan yaitu morfologi Halte CSW ketika sudah jadi. Namun kekeliruan ini dapat berakibat fatal karena pembangunan jalan layang Transjakarta Ciledug-Tendean yang panjang dan memakan waktu serta biaya dapat dikategorikan gagal. Mengapa? karena bisa saja hanya karena tak mau turun dan naik melalui halte tersebut, orang-orang jadi memilih transportasi lain ketimbang Transjakarta. Belum lagi halte tersebut merupakan halte yang terletak di persilangan langsung antara jalan layang dengan salah satu jalan protokoler yaitu Jl. Sisingamangaraja. Bisa dibilang halte tersebut merupakan salah satu halte paling strategis karena berada di perempatan dekat berbagai macam gedung perkantoran. Halte ini mungkin hanya bagian kecil dari pembangunan besar jalan layang tersebut, namun seperti kata pepatah, “Semua hal besar berawal dari sesuatu yang kecil”.

Agaknya permasalahan pembangunan tanpa memikirkan aspek spasial dan psiko-sosial ini sering kita temui di tanah air. Sebagai contoh, pembangunan masjid dan tempat wudhunya. Seringkali yang dipedulikan bahwa masjid yang penting ada tempat wudhunya, namun bagaimana cara mencapai ke masjid dari tempat wudhu bahwa harus tetap menjaga kesucian yang berarti tidak boleh melewati batas suci seringkali tidak dimasukkan ke aspek perencanaan. Belum lagi pembangunan gedung perbelanjaan yang membuat basement bertingkat-tingkat ke bawah, sehingga membuat basement terbawah sepi pemarkir karena jauh dari gedung perbelanjaan, yang akhirnya pembangunan basement terbawah menjadi sia-sia. Untuk pembangunan gedung perbelanjaan dan basement ini, kita dapat mencontoh dari AEON Mal. Setiap lantai parkiran, jaraknya sama ke dalam Mal. Selain itu sirkulasi udara di parkiran tidak pengap dan sesak. Hal ini membuat tidak ada alasan bagi pemarkir untuk hanya menggunakan lantai spesifik untuk parkir karena paling dekat dengan Mal. Hal ini membuat efektivitas penggunaan lahan parkir menjadi tinggi.

Tulisan ini saya akhiri. Menjadi teringat omongan salah satu Dosen Mata Kuliah Survei Konstruksi saya, Bapak Dr. Ir. Dwi Wisayantono, yang seringkali kesal dengan lulusan geodesi yang hanya bisa menghitung dan mengukur tanpa bisa mengkolaborasikan mata kuliah satu dengan yang lain, keilmuannya dengan keilmuan lain, keilmuannya dengan aspek sosial, dan yang paling penting, mengkolaborasikan keilmuannya dengan aspek spasial.

“Jadi insinyur geodesi bukan berarti cuma ngerti ngukur pake waterpas, pake gps, tapi yang paling penting mempunyai sense spasial, karena harusnya anak geodesi sense spasialnya paling bagus dari jurusan-jurusan lainnya.”

ratama.

--

--