Cerita Linux

Christopher Tahir
Mainstream Linux
Published in
6 min readDec 30, 2019

Hi, setelah lama saya tidak menulis akhirnya saya menyempatkan diri untuk menulis setelah disarankan teman saya Javent Lienata. Sejak saya berada di dalam ekosistem startup, saya mencoba mengekspos diri saya sebesar mungkin ke dalam dunia teknologi terkini. Saya sendiri bukanlah programmer maupun orang yang memiliki kemampuan teknis di bidang teknologi, namun saya hanya seorang antusias teknologi yang berada di sisi bisnis atau istilah kerennya hustler.

Sejak satu tahun lalu, dalam rangka mencoba prototype yang telah dibuat oleh startup saya yang sebelumnya, maka untuk mempermudah segalanya, saya akhirnya memutuskan untuk menginstalasi komputer saya dengan OS Linux (ya, saya memutuskan untuk menghapus Windows Original saya, namun saya masih memiliki image untuk restore dikala nanti dibutuhkan kembali). Mendengar saran banyak orang, maka akhirnya disarankan untuk mencoba yang paling user friendly yaitu Ubuntu. Saya memberanikan diri untuk mengeksplor dan bahkan mengambil kursus dasar bagaimana menggunakan beberapa command line dari Linux. Alhasil, saya semakin sayang dan juga semakin terbuka wawasannya.

Oh ya, saya bagikan terlebih dahulu spec laptop saya beserta kategori saya sebagai pemakai. Laptop saya adalah Dell XPS 15" 9550 dengan spesifikasi Intel Core i7 6800HQ, DDR4 2133 MHz 16GB, GPU nVidia GeForce 960M 2GB, Intel HD Graphics 530, NVMe SSD 512GB. Jadi terbilang lumayan memadai, sehingga penggunaan memori sendiri tidak begitu saya perhatikan dalam hal ini. Saya sendiri pemakai office suite yang terbilang intensif dengan sesekali menggunakan aplikasi pengedit foto dan juga aplikasi perekam maupun streaming. Jadi bisa dibilang saya memakai ini sebagai non-programmer dan non-IT related.

Dalam satu tahun terakhir saya mencoba beberapa distro dari Linux sendiri dimulai dari Ubuntu kemudian saya mencoba “rasa” lain yaitu KDE Neon, Kubuntu, Linux Mint dan akhirnya saya mencoba Fedora KDE Spin dan Fedora. Saya akhirnya memutuskan untuk berhenti berpindah-pindah setelah mendapati Fedora sangat cocok dengan kebutuhan saya. Sebelum saya memutuskan semuanya, saya akan berbagi perjalanan saya dimulai dari Ubuntu.

Ubuntu

Ubuntu terbilang sangat user-friendly apalagi yang baru berpindah dari Windows, akan langsung jatuh cinta mungkin ketika melihat tampilannya yang bagus dan minimalis. Namun saya sendiri mendapati banyaknya ketidakstabilan dari Ubuntu. Dimana Ubuntu sendiri datang dengan banyak sekali aplikasi yang mungkin tidak kita butuhkan untuk pengguna komputer pada umumnya. Sehingga pada akhirnya untuk bisa bekerja dengan gangguan yang minimal akan banyak sekali waktu yang dihabiskan untuk membuang aplikasi sampah (bloatware) serta memastikan dependencies di aplikasi yang kita pakai tetap terjaga dengan baik.

Contoh yang paling sering terjadi dari ketidakstabilan Ubuntu adalah kadangkalanya setelah suatu aplikasi berjalan dengan baik, tiba-tiba saja ada saja aplikasi yang tidak berjalan dengan lancar. Akhirnya saya menerka-nerka apakah dikarenakan Desktop Environment (DE) dari GNOME ini yang mengonsumsi memori yang berlebihan (dalam case ini penggunaan DE GNOME di komputer saya bisa mencapai 2GB tanpa ada aplikasi terinstalasi). Maka saya mulai berpindah ke distro lain yaitu mencoba KDE setelah menggunakan Ubuntu selama 7–8 bulan.

KDE Neon / Kubuntu

Ketika saya berpindah ke KDE Neon, saya melihat banyaknya bloatware yang terinstalasi jauh berkurang dibandingkan dengan Ubuntu. Dikarenakan KDE Neon adalah distro yang merupakan fork dari Ubuntu itu sendiri kemudian “disempurnakan” sesuai dengan keinginan si pendiri. Namun setelah memakai KDE Neon selama kurang lebih satu bulan ada satu hal utama yang mengganggu saya yaitu ketidak stabilan dari fitur Online Accounts yang berfungsi untuk memberikan izin kepada komputer mem-backup komputer secara online di cloud storage yang digunakan (dalam hal ini Google Drive). Akhirnya setelah adanya ketidakstabilan ini, maka saya memutuskan untuk mencoba Kubuntu.

Di Kubuntu saya menemukan hal ini berjalan lancar, namun lagi-lagi saya menemukan ketidakstabilan dari aplikasi yang terjadi di Ubuntu. Akhirnya saya hanya memakai Kubuntu selama beberapa hari sebelum akhirnya saya mencoba berpindah ke Linux Mint.

Linux Mint

Kali ini saya berpindah masih di dalam “keluarga”-nya Ubuntu yaitu Linux Mint yang merupakan fork juga dari Ubuntu dengan DE yang berbeda yaitu Cinnamon DE. Saya menemukan Cinnamon terbilang cukup baik dan bahkan menurut saya masih sangat baik dibandingkan dengan Ubuntu. Namun dikarenakan laptop saya yang terbilang cukup berumur (3 tahun), baterai sudah hidup segan mati tak mau, maka terpaksa saya harus melakukan beberapa system tweaking agar laptop saya bisa berjalan dengan baik, salah satunya saya melakukan tweak pada Power Management dan juga pada voltase CPU, GPU, CPU Cache, System Agent dan Analog IO komputer saya.

Hasilnya komputer bisa berjalan dengan cukup baik dan hampir mendekati ekspektasi saya. Namun kembali saya menemukan ketidakstabilan yaitu dari tweaking yang saya aplikasikan sering sekali reset tanpa sebab, sehingga Power Management yang diaplikasikan acap kali kacau. Akhirnya saya kembali mencari percobaan selanjutnya. Saya sendiri memakai distro ini selama 2–3 bulan.

Setelah mengobrol dengan team IT di kantor saya, dan mencoba mencari tau mengapa seluruh komputer kantor saya memakai Fedora, maka akhirnya saya mencoba mencari tau dan memberanikan diri mencoba distro dari RHEL (Red Hat Enterprise Linux) — Red Hat, Fedora, CentOS.

Namun sebelum berpindah ke distro RHEL, saya memutuskan untuk kembali ke instalasi pabrikan dari komputer saya yaitu Windows 10. Saya berusaha untuk mencoba kembali ke Windows dengan harapan Windows 10 Fall edition bisa membuat saya kembali ke Windows. Namun yang terjadi adalah saya merasa Windows 10 terasa sangat berat di komputer saya seakan-akan komputer saya dari zaman baheula. Akhirnya setelah melakukan lebih banyak riset dan mencari tau informasi mengenai distro, saya langsung coba menggunakan Linux kembali.

Fedora

Awalnya karena saya cukup menyukai KDE dikarenakan luasnya pilihan pengaturan tampilannya dan juga konsumsi RAM yang hanya sekitar 900MB, maka saya memutuskan untuk mencoba Fedora KDE Spin. Sebelum menginstalasi, saya mencoba Live USB mode terlebih dahulu dan saya menemukan adanya ketidakstabilan beberapa fitur di dalam KDE Spin tersebut. Maka saya memutuskan untuk tidak melanjutkan instalasi dan mencoba untuk menjalankan Fedora Workstation 31.

Fedora Workstation 31 menjalankan DE GNOME yang mana kembali ke permasalahan konsumsi RAM (bukan masalah bagi saya, namun ini bisa menjadi masalah bagi beberapa pengguna). Namun setelah mencoba Live USB mode dan mencoba bekerja menggunakan mode tersebut, saya merasakan stabilitas yang tinggi dari sistem itu. Akhirnya saya memutuskan untuk menjalan Fedora di komputer saya.

Instalasi Fedora terbilang tidak begitu rumit bahkan terbilang mudah apalagi kalau kita menggunakan Windows untuk pembuatan USB Image Boot menggunakan Fedora Media Writer. Jika dibandingkan dengan Windows, maka ISO Image Fedora jauh lebih kecil yang artinya kita bisa memanfaatkan ruang lebihnya untuk dokumen di komputer kita. ISO File Windows saat ini sekitar 6GB sedangkan Fedora sekitar 2GB.

Kesimpulan

Sebagai pengguna komputer saya hanyalah seorang pengguna kantoran intensif (aplikasi yang saya pakai adalah Google Suite di Chrome), alternatifnya untuk yang offline bisa memakai LibreOffice, namun terkadang saya juga melakukan sedikit photo editting dengan memakai alternatifnya yang Open Source yaitu Krita serta terkadang saya merekam beberapa aktivitas komputer saya menggunakan aplikasi OBS.

Jadi, mungkin ada yang bertanya-tanya apakah Linux dalam hal ini Fedora bisa digunakan untuk mainstream users? Jawaban saya adalah sangat bisa. Namun memang dibutuhkan sedikit kemauan untuk mencari jawaban di internet apabila terjadi masalah (sama halnya dengan Windows maupun Mac).

Alasan utama saya memilih Fedora GNOME adalah stabilitas, kelancaran (snappiness) dan juga tampilannya. Tampilan komputer saya terbilang sangat sederhana, aplikasi yang sering saya pakai saya letakkan di dock, selebihnya disembunyikan.

Soal kestabilan, Fedora menggunakan package manager DNF yang mana package manager ini akan selalu mencari dependencies yang dibutuhkan di setiap instalasi, sehingga bisa dipastikan setiap instalasi akan berjalan lancar begitu instalasi selesai.

Kelancaran merupakan satu pembeda paling besar dibandingkan dengan Ubuntu, perbandingan paling sederhana adalah ketika memunculkan seluruh daftar aplikasi (Super/Windows+A). Fedora menurut saya jauh lebih lancar dalam menjalankan aplikasi.

Terminal (command line)

Untuk pengguna pada umumnya yang paling ditakuti mungkin adalah soal pengoperasian tanpa terminal ataupun command line. Pengguna pada umumnya menggunakan GUI (Graphical User Interface) yang mana pengoperasian tinggal klik sana dan sini sudah jalan.

Yang mengatur GUI sendiri adalah DE yang artinya dengan adanya DE, pengoperasian sudah menggunakan grafis bukan terminal. Sehingga saya bisa katakan saat ini Linux sudah user-friendly.

Mungkin saya akan melanjutkan menulis mengenai Linux dan yang berkaitan dari sisi pengguna awam (mainstream users) ke depannya.

Saya tutup dengan terima kasih kepada beberapa teman saya seperti Des Dulianto, Kevin Ongko, Maikel Chandika, Marvin Tim, Albert Suwandhi, Indra Gunawan (semoga tidak salah tag), Javent Lienata dan juga beberapa teman-teman dari Kongkow IT (https://t.me/KongkowITMedan) yang telah memandu saya dikala tangan gatal saya ini mengoprek Linux.

Have a great day and have a wonderful holiday.

--

--

Christopher Tahir
Mainstream Linux

A tech, blockchain & cryptocurrency enthusiast. Sharing about trading in forex & cryptocurrency and also technology in blockchain