Benang Merah Represifitas Bangladesh dan Indonesia
Jalanan Kota Dhaka, Bangladesh menyala oleh bara amarah pemudanya yang menggugat keamanan jalan dan lalu lintas. Api terpantik pada 29 Juli 2018 ketika dua mahasiswa, Khanam Mim dan Abdul Karim Rajib meninggal dunia dan tiga belas lainnya mengalami luka-luka akibat ditabrak bis yang dikemudikan ugal-ugalan.
Tragedi ini semakin menggenapkan carut-marutnya peraturan yang mengatur keamanan jalan di Bangladesh. Berdasarkan laporan Power and Participation Centre (2014), lebih dari 1,24 juta jiwa melayang dan 20 hingga 50 juta korban terluka akibat kecelakaan lalu lintas pertahunnya [1].
Demonstran yang kebanyakan terdiri anak sekolah menengah dan mahasiswa pada awalnya menuntut peraturan yang lebih ketat mengenai keamanan jalan ini. Mereka turun ke jalan dan mengambil alih tugas polisi yang mereka anggap tidak berfungsi: memblokir sejumlah ruas jalan, memberhentikan kendaraan sekaligus memeriksa surat-surat izinnya. Momen ini menjadi titik puncak kefrustrasian atas pemerintahan yang tak bertanggung jawab dan semakin korup di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Sheikh Hasina.
Aksi protes massa ini membuat Kota Dhaka mencekam setidaknya selama dua minggu terakhir. Pasalnya demonstran mendapat perlakuan represif dari Bangladesh Chhatra League (BCL), organisasi sayap partai politik penguasa Awami League. BCL ironisnya terdiri dari pemuda yang juga pelajar dan mahasiswa. Ratusan demonstran dipukuli dan beberapa demonstran wanita diperkosa oleh anggota BCL.
Alih-alih mengamankan pelaku kekerasan, polisi justru ikut menggebuk demonstran. Media lokal melaporkan setidaknya 140 orang terluka oleh gas air mata dan peluru karet. Belasan jurnalis yang meliput aksi juga ikut terluka. Shahidul Alam, aktivis cum jurnalis, ditangkap kepolisian setelah melaporkan aksi protes dan mengkritisi pemerintah pada wawancaranya di saluran televisi Al-Jazeera. Tak selesai sampai di situ, pemerintah mengancam sekolah untuk menarik muridnya yang terlibat demo. Jaringan internet di seluruh negeri juga diputus untuk memutus informasi yang keliru.
Respon Janggal Pemerintah Bangladesh
Menilik tuntutan massa aksi, kerusuhan yang melanda Kota Dhaka selama dua minggu terakhir bisa saja dihindarkan dengan sederhana. Cukup dengar dan penuhi permintaan para pelajar, selesai sudah perkara.
Demonstran juga tidak meminta sesuatu yang bodoh macam aksi bela Mohammad Salah. Ada ribuan orang yang mati setiap tahunnya akibat keamanan jalan yang sangat buruk. Keluarga yang menderita kerugian psikologi dan ekonomi akibat hal ini tak terhitung jumlahnya, dan di antara mereka banyak yang memegang peran tulang punggung keluarganya. Puluhan nyawa pemuda terbang begitu saja akibat buruknya undang-undang keamanan jalan ini. Hal ini diperkuat dengan banyaknya temuan laporan atau penelitian yang membahas kondisi keamanan jalan di Bangladesh.
Lantas apa yang membuat pemerintah Bangladesh menunggu sampai 6 Juli 2018 untuk merespon tuntutan massa aksi? Kenapa pula pihak kepolisian ikut melakukan represi bersama organisasi sayap pemuda partai penguasa?
Seperti dijelaskan di bagian sebelumnya, kemarahan demonstran akibat kondisi keamanan jalan di Bangladesh melebar ke kekecewaan pada performa pemerintahan yang buruk. Mulai dari hukuman penjara 14 tahun yang dikenakan pada seorang remaja yang mengkritisi pemerintah di internet, hingga represi politik terhadap partai oposisi Bangladesh Nationalist Party (BNP). Yang terakhir akan penulis jabarkan di bagian selanjutnya.
Situasi ini dibaca oleh pemerintah Bangladesh sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dalam negeri. Hal ini masuk akal karena Bangladesh merupakan negara berkembang yang sedang menggenjot pemasukan dari investor luar negeri, sehingga instabilitias politik dalam negeri akan menjadi penghambat iklim investasi.
Menurut bank investasi Goldman Sachs, Bangladesh masuk kategori negara Next-11 (N-11) berdasarkan potensi pertumbuhan ekonominya yang menjanjikan. Pernyataan ini menaikkan nilai tawar Bangladesh sebagai negara tujuan pemodal menaruh investasi. Untuk mendukung kebijakan rezim yang berkuasa, sebuah badan yang mengurusi investasi swasta, Bangladesh Investment Development Authority (BIDA) pun dibentuk pada tahun 2016 dengan Perdana Menteri sebagai presidennya.
Pemerintah Bangladesh beranggapan, dengan membuka pintu investasi selebar mungkin maka lowongan pekerjaan bagi dua juta pengangguran pun akan terbuka lebar. Dengan rencana seperti ini diharapkan angka kemiskinan 31,5 persen populasi per tahun 2015 akan berkurang. Menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang sebanyak itu tentu pekerjaan yang sangat sulit jika hanya ditanggung pemerintah dan investor lokal.
Bangladesh dengan Kerangka Indonesia
Jalur kebijakan ekonomi seperti ini memfasilitasi penduduk kelas atas untuk semakin meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, tenaga ahli pasti akan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Lalu karena diksi pendidikan tinggi juga punya arti pendidikan yang mahal di negeri ini, maka karpet merah jelas terbentang lebar pada penduduk kelas ekonomi menengah atas.
Lantas di mana posisi kelas sosial bawah dalam kebijakan seperti ini? Mereka hanya akan menerima cipratan keuntungan dari semakin sejahteranya para penduduk kelas atas. Terbukanya lapangan pekerjaan termasuk dalam “cipratan” tersebut dan diharapkan akan menaikkan taraf hidup mereka sedikit demi sedikit.
Kebijakan ekonomi serupa marak ditemukan di negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia. Tak hanya kebijakannya, penggunaan aparat keamanan sebagai anjing penjaga modal juga tak jauh berbeda. Kelancaran investor mengekspansi modalnya menjadi harga mati. Kebebasan berpendapat, pelibatan masyarakat dalam pembangunan, dan hidup rakyat kecil tak lebih dari harga murah yang mesti dibayar demi tujuan besar pemerintah.
Tindakan represif kepolisian Bangladesh dapat kita taruh pada posisi yang serupa di Indonesia pada perjuangan reformasi terhadap Orde Baru, atau yang belum lama terjadi adalah kriminalisasi aktivis lingkungan yang melawan pabrik beracun di Sukoharjo.
Kondisi Indonesia yang tengah kental dengan politisasi agama dan ras juga tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Bangladesh. Pertarungan kubu nasionalis dan islamis terwakili pada dua partai politik besar. Awami League mewakili massa nasionalis, islamis moderat, dan sekularis, sedangkan BNP yang terdiri dari pesakitan pro-Pakistan dan politisi islamis ingin membawa sistem negara sharia ke Bangladesh.
Belasan tahun terakhir Awami League mendominasi jumlah kursi di parlemen. Pada pemilihan terakhir di tahun 2016, nyaris seluruh kursi parlemen dikuasai oleh Awami. Tapi jangan sangka Awami menempuh cara-cara yang demokratis untuk sampai ke tahap ini.
Mereka (Awami) melakukan represi terhadap lawan politiknya dengan menangkap sekitar 2.100 pemimpin dan aktivis partai BNP dengan kedok penanggulangan aksi terorisme di tahun 2016.. Strategi ini berhasil bagi Awami untuk merangkul kaum islam moderat namun juga memunculkan intensi publik bahwa kekerasan ekstrimis seperti Islamic State dapat ditoleransi. Dengan mengalirkan langsung arus kebencian pada kelompok Islamis melalui pembingkaian pelaku teror, sentimen keagamaan dan sekterianisme yang berujung pada tindak kekerasan di Bangladesh semakin meruncing.
Strategi “penanggulangan” terorisme ini lebih-lebih diafirmasi oleh pemerintah Amerika Serikat dan India dengan bantuan finansial dan kerja sama militer. Maka dengan sendirinya, citra iklim investasi yang baik pun tetap melekat pada Bangladesh
Organisasi masyarakat (ormas) berwatak preman dengan landasan identitas agama dan nasionalisme juga banyak kita temui di Indonesia. Sebut saja Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI). Mereka tak ragu melakukan kekerasan dan melanggar kebebasan berpendapat yang menjadi pilar penting demokrasi. Organisasi macam ini seolah mendapat impunitas hukum bahkan dipelihara oleh aparat keamanan. Fungsinya jelas untuk memberangus apa-apa yang kiranya mengganggu stabilitas politik tanpa harus mengotori tangan si pemegang kepentingan.
Pernah kita mendengar ditangkapnya anggota Front Pembela Islam (FPI) yang membubarkan diskusi secara sepihak? Atau bagaimana tindak lanjut terhadap pemukulan yang dilakukan oleh anggota ormas kepada massa aksi Tamansari?
Pertanyaan yang perlu kita utarakan tak boleh berhenti saja di sana. Wacana yang lebih mendasar seperti kebangkitan sayap kanan hampir di seluruh dunia atau demokrasi yang kerap kali dikorbankan atas nama pembangunan mesti lebih sering diangkat ke permukaan.
Saat identitas calon pemimpin yang ditonjolkan dalam sebuah pemilihan, seperti terjadi di negeri ini belakangan, maka visi dan program kerja yang ia bawa tak lagi menjadi pusat perhatian. Kita semua lantas sibuk mencari mana yang lebih beriman atau seagama dengan kita. Pun apa gunanya pembangunan jika rakyat yang mestinya menikmati hasil pembangunan tersebut malah diusir dari tempat tinggalnya dan dipukuli karena mengutarakan ketidaksetujuannya. Apakah pembangunan mesti memakan korban seperti sekarang?
Muhammad Rushdi
Pemimpin Umum Majalah Ganesha ITB 2018/2019
Referensi
Jahan, Rounaq. 2018. Political Parties Movements, Elections and Democracy in Bangladesh
Abdin, Joynal. 2015. Investment Climate in Bangladesh: Performance and Possibilities. International Journal Economic & Management Sciences 4:290. doi:10.4172/2162–6359.1000290
BRAC. 2014. Road Safety in Bangladesh: Ground Realities and Action Imperatives. Power and Participation Research Centre