Memandang Mahasiswa sebagai Civitas, Bukan Komoditas!

Hanafi Kusumayudha
Majalah Ganesha ITB
7 min readJul 15, 2018

Dari Komunitas Hingga Kenaikan UKT

To read is one thing

To understand what you read is the other thing

To master what you understand what you read is the thing

To act on what you understand what you read is the only thing[1]

Diambil dari Buku Sekolah itu Candu, Roem Simatupang

Pendidikan sejatinya merupakan proses emansipatoris menuju pembebasan diri dari keterkungkungan kebodohan dan penindasan. Pendidikan sangat menentang apa yang disebut dengan “budak”, karena prosesnya mengharuskan manusia untuk berpikir agar secara mandiri subjeknya dapat merdeka, mengenali diri sendiri dan lingkungannya. Menurut Prof. Yasraf Amir Piliang, kondisi manusia dapat dijelaskan melalui perbedaan internal berdasarkan kualitas diri dan derajat humanitasnya, dan strata terendah dari manusia adalah non person/budak[2]. Ketika manusia dianggap sebagai budak, ia ditempatkan setara dengan benda, objek, tidak memiliki hak, suara, bahkan nyawa. ITB sebagai institusi pendidikan seharusnya memandang mahasiswa sebagai subjek yang otonom dan mandiri, bukan objek yang bisa diperlakukan seenaknya sendiri. Pendidikan tidak boleh dijadikan sarana komodifikasi, karena kami adalah civitas, bukan komoditas! Tunggu, pernah dengar istilah civitas academica ITB?

Civitas Academica sebagai Gemeinschaft, bukan Gesselschaft

Apakah suatu nama, tidak mempunyai makna? Lalu mengapa suatu titel “mahasiswa” sangat berarti bagi kita semua? Kalau mahasiswa bisa dimaknai sedalam itu, bagaimana dengan civitas academica? Oh, barangkali kita lupa titel lain kita di ITB, yaitu civitas academica.

Menurut Merriam Webster Dictionary, civitas berarti a body of person constituting a politically organized community, dan satuan terkecil dari civitas adalah civis/warga. Dari sini, kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa civitas merupakan suatu kelompok civis yang secara terorganisir membentuk suatu komunitas, dengan aturan dan norma yang membuat setiap civis saling terhubung satu sama lain.

Di titik ini kita sepakat bahwa civitas bisa disejajarkan maknanya sebagai komunitas. Memangnya apa itu komunitas? Menurut Ferdinand Tönnies, untuk memahami community (gemeinschaft), kita perlu mengandaikan lawan ekstremnya, yaitu society (gesselschaft). Community adalah bentuk kehidupan bersama dimana setiap anggotanya terikat oleh hubungan batin yang murni dan alamiah secara jangka panjang. Hubungannya didasarkan rasa cinta, kekeluargaan, moral, sehingga nilai-nilai norma dan kebudayaan sangat dijunjung tinggi dalam masyarakatnya. Contoh bentuknya adalah keluarga, hubungan persaudaraan, paguyuban, dan masyarakat desa. Di kutub lainnya, society adalah kelompok sosial yang anggotanya berhubungan dengan dasar kepentingan secara mekanis, sehingga sifatnya tidak kekal dan lebih mengutamakan aturan-aturan dan struktur hubungan timbal-balik. Contoh bentuknya adalah hubungan antara penjual-pembeli, bisnis, dan industri.

Bagaimana dengan academica? Istilah academy bisa kita temukan pertama kali dalam “akademi Plato”. Akademi Plato merupakan asal-usul dari sekolah dan universitas, yang mengajarkan manusia untuk berpikir dan mempertanyakan alam. Setiap kata academy, academia, dan academic, semuanya memiliki kesamaan arti yaitu perihal sekolah, ilmu pengetahuan, pendidikan. Berarti dapat kita simpulkan, academica mempunyai arti berlandaskan ilmu pengetahuan. Secara sederhana, dengan tidak bermaksud mengurangi maknanya, civitas academica bisa kita artikan sebagai komunitas akademis/komunitas ilmiah yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Hal ini senada dengan isi Konsepsi KM ITB, bahwa perguruan tinggi memiliki tugas untuk membentuk insan akademis yang berlandaskan kebenaran ilmiah[3]. Insan akademis ini apabila berkumpul akan membentuk suatu komunitas, atau dengan kata lain civitas academica.

Nasihat dari Pendahulu…

Agar makna dari pesan-pesan ini tidak terdistorsi, maka akan saya sajikan tanpa perubahan sedikitpun. Berikut adalah kutipan Orasi Ilmiah dari Prof. Soedjana Sapiie[4] :

“ Lembaga pendidikan tinggi adalah suatu komunitas yang mendedikasikan dirinya pada:

a. Memburu(pursuit) dan mendesiminasikan pengetahuan,

b. Mempelajari, memperjelas dan menjaga (guardian) nilai-nilai kehidupan dan

c. Memajukan masyarakat yang dilayaninya.

Jadi lembaga pendidikan tinggi adalah suatu komunitas, bukan bisnis atau birokrasi. Secara khusus suatu komunitas yang mendedikasikan dirinya pada bidang-bidang kegiatan yang sangat kental dengan nuansa budaya untuk memajukan masyarakatnya. Dedikasi demikian ini hanya mungkin dilakukan dengan baik, bila komunitas itu menghayati nilai-nilai tertentu sebagai landasan berpikir dan bertindaknya. Integritas adalah salah satu nilai utama demikian itu, bila tidak hendak dikatakan yang terutama. Integritas kedalam komunitasnya maupun kepada masyarakat diluarnya.

Jadi masyarakat luas dapat bertanya pada dunia universitas, tentang integritasnya dibidang pendidikan, dibidang riset, menjaga nilai-nilai kehidupan bersama, atau juga dibidang pengabdian kepada masyrakat. Juga pertanyaan tentang integritas univeritas menyusun program-programnya, mengelola administrasinya, menghimpun dananya. Semua pertanyaan diatas itu adalah relevan dalam menilai integritas sesuatu universitas.

Universitas sebagai satuan administrasi jelas harus dikelola dengan baik, dapat memenuhi komitmen finansialnya untuk jangka pendek maupun jangka panjangnya, akan tetapi universitas bukan bisnis atau industri. Sebagai komunitas ia harus peka kepada isu-isu sosial, akan tetapi universitas bukan partai politik atau LSM. Kehidupan keagamaan menjadi bagian yang penting bagai komunitasnya, akan tetapi universitas bukan gereja atau mesjid.”

Dalam kesempatan lainnya, Prof. Soedjana Sapiie juga menuturkan bahwa ITB telah kehilangan sense of community/spirit komunitasnya[5]. “Keadaan sekarang (tahun 2011) sangat jauh berbeda dengan ITB tahun 1970-an,” ucap beliau.

Selanjutnya, saya akan mengutip kata-kata Daoed Joesoef yang spesifik mengritik civitas academica[6] :

“Ketidakpahaman masyarakat umum dan sivitas akademika tentang keberadaan lapisan-lapisan itu mengakibatkan ketidaksadaran bahwa ilmu pengetahuan punya tiga aspek: produk, proses, dan komunitas. Tidak disadari bahwa, kalaupun ia ditangani guna dikembangkan, yang perlu dibangun lebih dahulu ilmu pengetahuan selaku ”komunitas”. Lalu, dalam artian ”proses” yang oleh Thomas Kuhn disebut ”normal science” kemudian baru berupa ”produk”. Tidak seperti yang lazim berlaku di kampus hingga sekarang, mendahulukan ”produk” tanpa menghiraukan ”proses” dan mengabaikan ”komunitas”.”

Menyoal Kenaikan UKT

Sejak tahun 2013, ITB secara resmi menyandang status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Konsekuensi logisnya adalah ITB memiliki wewenang lebih, makin bebas, dan bersifat otonom dalam mengatur urusan dapurnya, termasuk mengatur keuangan universitas. Berbeda dengan kampus lain yang tidak — atau belum — berstatus PTNBH, ITB boleh saja mencari dana dari sumber lain, tidak terbatas hanya dari APBN dan sumbangan mahasiswa saja. Namun kita tak boleh lupa kata Uncle Ben dalam film Spiderman, “with great power comes great responsibility”, yang bila dimodifikasi akan menjadi “with PTNBH comes transparency”.

Tahun ini, berdasarkan Surat Keputusan Rektor ITB №01/SK/I1.B02/KU/2018, UKT mahasiswa yang diterima pada tahun 2018/2019 naik menjadi 12,5 juta rupiah. Menurut rektorat, UKT dinaikkan karena dosen-dosen muda dan karyawan ITB perlu dijamin kesejahteraannya. Selain itu, pembangunan infrastruktur ITB juga sedang kekurangan dana, ditambah dengan menurunnya kucuran dana dari pemerintah. Sehingga wajar-wajar saja UKT dinaikkan, kata mereka. Setujukah Anda? Sepengetahuan saya, sebuah PTN disahkan menjadi PTNBH bila memenuhi standar tertentu, ada asumsi yang digunakan, salah satunya adalah kelayakan finansial. Kelayakan finansial berarti PTN dinilai punya potensi lebih, dan mampu mencari dana tambahan sendiri di luar APBN dan sumbangan mahasiswa, wujud nyatanya adalah ITB mempunyai dana lestari. [8]

Bila kita menggunakan kacamata ITB sebagai sebuah komunitas ilmiah, dimana mahasiswa merupakan bagian dari civitas academica ITB, tentu kebijakan ini patut dipertanyakan. Nampaknya, perlu saya highlight ulang kata-kata dari Prof. Soedjana Sapiie, “lembaga pendidikan tinggi adalah suatu komunitas, bukan bisnis ataupun birokrasi”. Ungkapan ini koheren bila kita hubungkan dengan gemeinschaft vs gesselschaft, ITB adalah komunitas, yang artinya berlandaskan kekeluargaan dan kebudayaan, bukan birokrasi dan aturan yang mengekang, seharusnya. Hal ini secara lebih rinci akan senada dengan gagasan Prof. MT Zen mengenai Knowledge Based Economy (KBE)[7], bukan sebaliknya Economy Based Knowledge. Seharusnya, pertimbangan dalam mengatur ekonomi dilandasi ilmu pengetahuan, yang berarti data-data yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Transparansi data mutlak diperlukan di sini, agar mahasiswa bahkan masyarakat bisa menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh ITB sudah tepat guna atau belum. Jangan lupakan bahwa universitas bertanggung jawab kepada masyarakat, bahkan kata Prof. Soedjana Sapiie, bila perlu untuk menguji integritas suatu universitas, masyarakat diperbolehkan mempertanyakan segala hal ke universitas. Seharusnya tak ada masalah bukan dengan keterbukaan, bila kita adalah komunitas, dalam artian lain keluarga?

Bila ditinjau dari model komunitas-proses-produk nya Daoed Joesoef, kebijakan ini juga rancu menimbulkan ketidakpastian nilai/value yang dipegang oleh perguruan tinggi. Maksud dari Daoed Joesoef adalah dalam membuat produk apapun, perguruan tinggi pertama harus menganggap dirinya adalah suatu komunitas ilmiah, agar nilai, budaya, dan norma yang dipegang menggunakan logika kekeluargaan (gemeinschaft) berlandaskan ilmu pengetahuan, bukan logika keuntungan bahkan logika pasar (gesselschaft), selanjutnya diikuti proses yang benar. Dalam pembuatan kebijakan kenaikan UKT ini, saya khawatir apa yang dikatakan beliau terjadi, “Tidak seperti yang lazim berlaku di kampus hingga sekarang, mendahulukan ”produk” tanpa menghiraukan ”proses” dan mengabaikan ”komunitas”.” Produk hukum berupa SK Rektor muncul terlebih dahulu tanpa proses dan dialog dengan mahasiswa, dan proses pembuatannya pun terkesan satu arah, sehingga core value ITB sebagai komunitas ilmiah tercederai. Atau jangan-jangan asumsi ITB sebagai komunitas sudah tidak relevan lagi?

Karena kampus ini adalah tempat bertanya dan harus ada jawabnya, maka sudah sewajarnya ketika mahasiswa bertanya bagaimana transparansi keuangan ITB, rektorat menjawabnya. Tapi nyatanya apa? Atau bila memang itu rahasia, lebih baik kita ganti adagium yang termaktub dalam plaza widya nusantara menjadi “kampus ini adalah tempat bertanya, kecuali tentang UKT dan PTNBH”. Pertanyaannya sekarang adalah, masihkah mahasiswa dianggap sebagai bagian dari civitas? Atau sudah beralih fungsi menjadi komoditas?

Epilog

Komunitas ilmiah mengandaikan suatu asumsi dan keadaan yang harus terus dijunjung tinggi, yaitu kebebasan mimbar akademik yang menjamin hak bagi munculnya sebuah kritik. Ruang publik dalam komunitas ilmiah seharusnya diisi oleh pertarungan wacana dan gagasan berlandaskan ilmu pengetahuan, bukan kepentingan. Kalaupun benar ITB butuh tambahan dana, mari berdiskusi dengan sehat dan sajikan data-data yang objektif, agar masyarakat juga bisa menilai. Kalau memang ada civitas academica lain yang sedang membutuhkan dana dan kesejahteraan lebih, mari bicarakan layaknya sebuah keluarga. Kalau memang rumah kita (infrastruktur) perlu dibangun dan kekurangan dana, mari kita cari solusinya bersama. Karena mahasiswa juga bagian dari civitas academica, bukan objek yang bisa diperlakukan layaknya komoditas belaka.

Hanafi Kusumayudha

Pemimpin Redaksi Majalah Ganesha ITB

Referensi :

[1] Sajak dari Inggris yang dikutip dari tulisan Prof. Soedjana Sapiie berjudul Pemikiran tentang Reformasi dan Institut Teknologi Bandung halaman 47

[2] Diambil dari Video Orasi Ilmiah Prof Yasraf Amir Piliang yang dapat disimak dari https://www.youtube.com/watch?v=6nUvQnSyz4E sekitar menit ke-29

[3] Lihat Konsepsi KM ITB Amandemen 2015 halaman 3

[4] Orasi Ilmiah Prof. Soedjana Sapiie berjudul Pemikiran tentang Reformasi dan Institut Teknologi Bandung halaman 37–38, diunduh dari http://fgb.itb.ac.id/wp-content/uploads/2016/08/11-Orasi-GBE-Prof-Soedjana-Sapiie.pdf

[5] Kata-kata Prof. Soedjana Sapiie ini dikutip dari video youtube yang dapat disimak pada https://www.youtube.com/watch?v=LmExZlYywmg&t=517s sekitar menit ke-4

[6] Selengkapnya dapat dibaca di https://edukasi.kompas.com/read/2011/09/07/0203188/kesalahan.sivitas.akademika

[7] Orasi Ilmiah Prof. M.T. Zen berjudul Membangun Masyarakat dengan Sistem Perekonomian Berbasiskan Pengetahuan, halaman 13–17, file dapat diunduh dari http://fgb.itb.ac.id/wp-content/uploads/2016/08/12-Orasi-GBE-Prof-MT-Zen.pdf

[8] Lihat Draft Kajian Kenaikan UKT 2018 Kabinet Senurani yang dapat diakses dari tautan bit.ly/KenaikanUKTITB2018

--

--