Membungkam Indeks Prestasi Mahasiswa dan Paham Pendidikan yang Sudah Gila

Belajar untuk bekerja atau bekerja untuk belajar?

Daffa Dewantara
Majalah Ganesha ITB
4 min readMay 28, 2019

--

A,AB,B,BC,C,D,E,T. Kalau diacak: T,C,D,A,E,B,AB,BC. Sedikit tidak penting memang — mengacaknya. Tapi nyatanya dunia ini memang sudah se-random itu. Saya tahu rasanya semua indeks yang keluar dari Website Sistem Informasi Akademik ITB. “Merinding disko,” kalau kata akun Adit adit pada halaman komentar di Youtube. Saya mencoba bijak dengan mengganggap masa perkuliahan saya jadi berwarna. Namun pikiran saya memang jadi se-random itu diacak-acak oleh indeks prestasi.

Kita tidak pernah gagal ketika dapat indeks D. Kita memang belum sepenuhnya mengerti akan mata kuliah tersebut. Tapi karena belajar adalah proses kontinu, tidak masalah untuk mempelajarinya lagi semester depan, atau bahkan setelah kita kerja nanti. Karena aneh, jika kita merasa tidak punya waktu setelah berkeluarga nanti. Sementara waktu tetap bejalan 24 jam.

Netizen bersabda.

Kegilaan yang terjadi sekarang adalah penyempitan definisi pendidikan menjadi hanya sekedar mencari gelar. Padahal data menunjukkan bahwa gelar akademik tidak menjamin kesuskesan dan kemakmuran untuk negeri ini. Pada bukunya, seorang filsof jerman berkata bahwa masalah yang terjadi bukanlah sebab institusi ataupun praktik akademik itu sendiri. Melainkan ideologi pendidikan yang sudah tidak manusiawi; cara pandang terhadap dunia pendidikan yang semakin aneh.

Sebab saya menulis ini, saya ingin berbagi sudut pandang terhadap dunia pendidikan terutama di Indonesia. Walaupun alasan lain: saya menulis ini untuk berkata pada diri sendiri kalau, “IP kamu baik-baik saja kok.”

Bekerja Untuk Belajar, Bukan Belajar Untuk Bekerja

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara,”

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1

Dari quotes diatas, setidaknya sekarang kita tahu apa tujuan pendidikan sebenarnya di Indonesia. Belajar bukanlah suatu kegiatan yang berhenti hanya sampai lulus S1 atau S2. Tapi belajar adalah suatu kegiatan yang akan terus berlanjut. Kita belajar bukan untuk bekerja. Tapi kita bekerja untuk belajar.

Saya, sama seperti kalian, adalah orang yang beruntung bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Kita tentu juga mengidamkan istri cantik dan solehah — sebagai laki-laki. Mungkin kita mengganggap pekerjaan dokter, insinyur, dosen, anggota dewan adalah pekerjaan idaman yang dapat membantu kita mencari pasangan yang ideal, atau taraf hidup yang lebih baik. Tapi siapa sih yang menciptakan stigma bekerja sebagai seorang insinyur berbeda dengan seorang petani? Insinyur bekerja. Petani bekerja. Keduanya sama-sama belajar. Keduanya bisa membuat taraf kehidupan kita menjadi lebih baik.

Padahal, dokter, insinyur, anggota dewan, atau dosen sebenarnya adalah perkerjaan yang dibuat-buat. Di dunia pararel saya memikirkan anggota dewan, dosen, insinyur, dan dokter yang tidak perlu dibayar dengan uang. Karena sebekerja-berkerjanya pekerjaan adalah seorang tukang, penangkap ikan, atau penggembala kambing. Insinyur hanya membuat rencana lalu operator yang menjalankannya. Dosen mengajar tapi tidak perlu membersihkan kelas karena ada cleaning service yang melakukannya. Dokter menandatangani surat keterangan sakit sementara kita makan makanan yang berasal dari penangkap ikan. Jadi paham kan bekerja itu apa?

Belajar adalah suatu usaha kita untuk menjadi manusia seutuhnya. Bukan untuk bekerja. Karena sejatinya kita semua adalah pekerja dengan mencuci piring sendiri, menyapu halaman rumah, atau mengantar adik menuju sekolahnya. Beruntunglah kita berada di dunia yang memberi upah insinyur, dokter, anggota dewan, maupun seorang dosen. Memalukan ketika dosen maupun insinyur membuat aksi kenaikan gaji atau pengurangan jam kerja. Karena yang sewajarnya meminta kenaikan gaji ataupun pengurangan jam kerja adalah kaum buruh — manusia yang benar-benar bekerja.

Realitas sosial memang cukup random saat ini. Tetapi, dengan belajar, manusia diharapkan dapat secara penuh melihat realitas sosial. Bukan hanya mengerjakan kuis take home. Bukan hanya berusaha menaikkan indeks prestasi. Namun sepatutnya kita dapat menciptakan kritik atas segala realita yang telah terjadi di era post-modern ini.

Filsof jerman, Julian Nida-Rümelin.

Puasa telah memasuki 10 hari terakhirnya. Saya masih berada di Bandung menunggu besok. Bernafas sejenak sebelum pulang ke Yogyakarta. Sisi baik ITB adalah memberikan mahasiswanya libur lebih awal. Sisi buruknya adalah ITB membiarkan mahasiswanya sekarat dikoyak-koyak indeks prestasi yang datang lebih awal. Tipikal mahasiswa akan sedikit menyesal dan berharap akan mendapatkan epic comeback-nya semester depan. Terjadi seperti itu setiap semester.

Lucu memang, ketika kita masih membicarakan indeks prestasi sementara percaya bahwa belajar adalah suatu proses hidup. Tapi siapa sih yang tidak disuruh Ayahnya untuk minimal dapat IPK 3? Sebagai makhluk sosial yang berhutang budi, tentu kita pasti akan membayarnya minimal dengan IPK 3 yang tercantum pada ijazah. Jangan bilang bukan Ayah yang menuntut kita dapat IPK bagus. Jangan bilang bahwa masyarakat atau bahkan pasar yang menuntut kita mendapat IPK bagus. Karena kita tidak berhutang apa-apa terhadap masyarakat dan pasar.

Hanya dengan belajar, kita tidak berhak menentukan pekerjaan kita nantinya. Kita tidak berhak menentukan posisi kita dalam suatu masyarakat nanti. Tapi dengan belajar, kita berhak untuk jadi diri kita sendiri. Dan sedikit mengubah dunia ini menjadi lebih baik.

Bandung, 29 Mei 2019.

Referensi:

A.A Wattimena, Reza. (2017). Pendidikan Gila Gelar?: Pemikiran Julian Nida-Rümelin tentang “Kegilaan Akademisasi” (Akademisierungswahn) di Uni Eropa dan Amerika Serikat serta Arti Pentingnya untuk Keadaan Indonesia. 3.

Julian Nida-Rümelin dan Klaus Zierer. (2015). Die neue deutsche Bildungskatastrophe. Zwölf unangenehme Wahrheiten. Freiburg.

--

--