Tulisan ini Bullshit

Senapati Sang Diwangkara
Majalah Ganesha ITB
5 min readSep 28, 2017

Ea clickbait.

Memang disengaja, karena saya mau membahas tentang postmodernisme.

Sebelum saya memutuskan untuk mendaftar Majalah Ganesha, saya memang sudah mulai membaca-baca tentang postmodernisme di internet. Postmodernisme ini sendiri adalah kata yang sangat sangat luas sekali. Lingkup bahasannya melintang mulai dari epistemologi, metafisika, sains, seni, sampai politik. Karena lingkup bahasannya yang begitu bermacam-macam, kadang orang-orang (termasuk saya) bingung apa hubungan antara bahasan-bahasan tersebut. Sebagai usaha memahaminya lebih lanjut, di minggu-minggu terakhir ini saya membaca sebuah buku berjudul “Explaining Postmodernism” karya Stephen Hicks, seorang professor filsafat dari Rockford University.

Jadi apa itu postmodernisme? Kalimat one liner yang paling cocok yang saya temukan adalah “gerakan yang menolak unsur-unsur dari modernisme”.

Hicks, 2004:13

Secara epistemologi, para pemikir postmodern adalah seorang yang anti-reason. Di buku tersebut, Pak Hicks menuturkan bahwa akar pikiran anti-nalar tersebut salah satunya berasal dari Jean-Jacques Rousseau. Di dalam bukunya “Discourse on Inequality”, Rousseau beranggapan bahwa nalar adalah sumber dari degradasi diri manusia. Secara ekonomi, kemajuan teknologi dan agrikultur membuat umat manusia menjadi berkelimpahan dan surplus, tetapi hal tersebut menyebabkan kita menjadi kompetitif dan tidak bekerjasama. Secara fisik, kemudahan-kemudahan yang dilahirkan oleh teknologi menyebabkan degradasi tubuh; yang dulunya kita adalah spesies yang kuat dan mampu, sekarang kita menjadi ketergantungan pada dokter dan alat-alat. Secara estetika, berkembangnya barang-barang dan kemewahan menyebabkan naiknya standar keindahan kita, yang berimplikasi pada ekosistem reproduksi manusia; yang dulunya kita berhubungan secara straightforward, sekarang kita menjadi pilih-pilih, dan dipersulit dengan adanya permainan cinta. Dari nalar, kita mendapatkan peradaban yang maju, namun kita harus mengorbankan kemanusiaan kita untuk mendapatkannya.

Secara metafisika, para pemikir postmodern adalah seorang yang anti-realis. Kalau di sini, Pak Hicks menunjuk Immanuel Kant sebagai salah satu tokohnya. Di dalam bukunya “Critique of Pure Reason”, Kant beranggapan bahwa nalar adalah merely hasil pikiran kita dan tidak bisa berhubungan secara langsung dengan realita yang objektif, as it is (noumenon, thing-in-itself). Kita hanya bisa mengetahui sesuatu yang bisa dimanifestasikan oleh indera-indera kita. Jadi, semisal saya punya gelas, jika gelas ini punya suatu properti yang di luar indera kita, ya kita nggak akan tahu. Pikiran Kant ini mengkritik asumsi implisit dari kedua paham tentang realita (rasionalisme dan empirisisme) yang berkata bahwa pengetahuan itu sesuatu yang objektif, sudah ada di dunia ini, dan sesuatu yang harus dicari (realisme). It is the object that conforms to the subject, bukan sebaliknya. Secara formal, argumen tersebut ditunjukan pada argumen tentang transcendental deduction. Karena panjang, untuk lengkapnya silahkan dilihat sendiri di linknya.

Secara sains, pemahaman postmodern di sini mengikuti pemahaman metafisika di atas. Sains tidak dipahami lagi sebagai sesuatu yang ditemukan di alam dan ketika ditemukan seakan-akan kita telah membuka misteri ilahi, melainkan hanyalah suatu model untuk mendeskripsikan realita. Suatu peristiwa di alam bisa dideskripsikan dengan berbagai cara. Mengutip dari link video di atas, Jupiter dan satelit-satelitnya bisa dimodelkan setidaknya dengan 3 cara: yaitu Jupiter mempunyai pegas invisible yang menyebabkan satelit-satelitnya berosilasi harmonik, atau satelit-satelitnya ‘digenggam’ oleh sebuah gaya bernama gravitasi akibat massa Jupiter yang besar a la Newton, atau satelit-satelitnya bergerak secara geodesik di spacetime yang non-euclid a la Einstein. Sains mulai tidak dipahami sebagai sesuatu yang sangatlah saklek dan objektif, namun sebagai cara terstruktur untuk memahami dunia dan struktur tersebut bisa berbeda-beda dari orang ke orang; dari akademisi ke akademisi.

Postmodernisme juga mempunyai pemahaman politiknya tersendiri. Berdasarkan paham-paham tadi, seharusnya kita menjumpai orang-orang postmodernis di seantero political spectrum. Toh, dunia ini kan sebenarnya subjektif, seenak udel kita dong mau ngikut yang mana? Tetapi bukan begitu yang kita temukan.

Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, and Richard Rorty are all far Left. And so are Jacques Lacan, Stanley Fish, Catharine MacKinnon, Andreas Huyssen, and Frank Lentricchia. Of the major names in the postmodernist movement, there is not a single figure who is not Left-wing in a serious way. — Hicks, 2004:85

Singkat cerita, menurut Pak Hicks, selain karena pendapat J. J. Rousseau di atas (di mana pemikiran Rousseau tadi berujung pada politik kolektivisme), hal ini juga berkaitan dengan paham realita yang subjektif. Dia berpendapat bahwa paham Left-wing telah mengalami kekalahan di beberapa dekade ke belakang dan paham anti-realis dan anti-nalar tadi adalah ‘kendaraan’, alat retorika agar paham tersebut tetap hidup.

Hicks, 2004:173

Di akhir buku tersebut, Pak Hicks menyatakan bahwa paham-paham enlightenment perlu dipertahankan dari serangan postmodernisme. Namun menurut saya pribadi, paham-paham anti-nalar dan anti-realis ini bukanlah suatu kemunduran di dalam filsafat. Paham anti-nalar di sini bukanlah ajakan bahwa kita harus membuang logika. After all, saat mereka menyuarakan hal tersebut, mereka juga menggunakan alasan dan logika. Menurut saya, hal yang perlu di-highlight di sini adalah ajakan untuk mengkritisi logika dan sains itu sendiri, jangan hanya lawannya yang dikritisi. Filsafat modern dan pendahulunya, mengajarkan kita untuk memprioritaskan sesuatu dari sesuatu yang lain: logika di atas perasaan, sains di atas mistisisme, produktif di atas konsumtif, kepentingan bersama di atas kepentingan sendiri, kebahagiaan di atas melankolia, dan lain sebagainya. Dan untuk melengkapi paham anti-nalar tersebut, paham anti-realis ingin menyampaikan pesan bahwa hal-hal tersebut sebenarnya ya hasil kognisi juga, bukan sesuatu yang absolut, dan mengingatkan kita untuk jangan terjebak di dalam overdevosi terhadap sesuatu yang terlihat absolut.

Oh iya, saya belum ngomong tentang seni.

Sebelum postmodernisme melanda, seni dianggap sebagai sesuatu yang berkelas, sesuatu yang powerful, sesuatu yang bisa membuat pikiran menari-nari, sesuatu yang sangat tinggi, mewah, dan magical sampai tidak bisa didefinisikan. Namun setelah relativisme dan kawan-kawannya menyerbu, para seniman mulai keluar dari zona nyamannya dan berpikir, bahwa seni itu sebenarnya juga relatif. “Kalo gitu, semua fenomena bisa dianggap seni dong?”. Maka sejak saat itulah, dunia seni menjadi edan. Tempat kencing itu seni, Monalisa berkumis itu seni, lagu seperti ini pun seni, bahkan tai pun seni. Pesannya jelas: art is meaningless, art is bullshit.

Tulisan ini pun bisa kamu anggap seni! Lihat deh, betapa magical-nya seorang makhluk bisa mengeluarkan isi consciousness-nya, ke dalam suatu deretan coretan simbol-simbol, yang sebenarnya adalah suatu deretan bit 0 dan 1 di dalam memori komputer, yang sebenarnya adalah aliran suatu partikel yang disebut dengan elektron. Untaian bit 0 dan 1 tersebut tiba-tiba bisa sampai ke layarmu, lalu timbul hitam di atas putih, lalu hitam dan putih tersebut bisa masuk ke dalam consciousness makhluk lain…

wkwkwk enggak ding bercanda, tulisan ini bullshit.

--

--