Are we investing the right decision?

The new approach of capital budgeting on IT projects

rully feranata
Mandiri Engineering
18 min readNov 19, 2020

--

Kondisi perekonomian yang saat ini dirasakan baik di dalam negeri maupun di internasional selama kurun waktu sembilan bulan terakhir semenjak diberlakukannya pembatasan sosial dimasing-masing wilayah akibat pandemi Covid-19, diwarnai dengan penurunan pertumbuhan sampai dengan persentase minus atau bergeser ke arah pertumbuhan negatif dalam beberapa kuartal terakhir. Berbagai macam kebijakan dalam menangani wabah Covid-19 ini telah berimbas secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga, dimana pada triwulan I 2020 hanya menyentuh angka 2,84% dan ini hanya setengah dari akhir tahun 2019 dimana mencapai 4,96%, hal ini juga didukung dengan statistik indeks penjualan ritel disemua sektor sampai dengan April 2020, dimana penurunan hingga 11,8%.

Situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity) yang saat ini dirasakan ditambah lagi fakta menarik diatas perlu disikapi dengan cermat oleh pelaku industri, terkhusus pelaku industri keuangan yakni perbankan, agar dapat menjaga beberapa komponen indikator kinerja kesehatan perbankan antara lain: rasio kecukupan modal (CAR), rasio likuiditas (Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga), maupun rasio kredit bermasalah (non-performing loan) dalam kisaran yang baik, sehat serta terkendali.

Menilik dengan kondisi perekonomian global yang sedang dalam tahapan pemulihan termasuk di Indonesia dan tingkat persaingan perbankan baik bank lokal maupun asing, masing-masing pelaku industri berkompetisi untuk terus memberikan pelayanan terbaik ke konsumen dan memberikan keuntungan yang lebih tinggi namun tetap berhasil dalam melakukan efesiensi baik secara operasional maupun kebijakan investasi yang akan dijalankan oleh setiap bank.

Perbankan Indonesia masih dianggap kurang efisien, hal ini dapat dilihat dari rasio pendapatan bunga bersih (Net Interest Margin) dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Selama kurun waktu lima tahun terakhir, 2012–2016 dimana rasio NIM masih berada diatas kisaran rerata 5% yang jauh lebih tinggi diatas rerata negara ASEAN lainnya yang berada pada kisaran dibawah 4%, sedangkan rasio BOPO perbankan di Indonesia masih berada diatas 80% jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rerata negara ASEAN lainnya yang berada di angka 40–60%.

Kondisi ini sangat menarik dalam mempengaruhi tingkat persaingan industri perbankan, dimana masing-masing pelaku industri berlomba-lomba mencari pola, metode ataupun pendekatan kebijakan investasi yang efisien dalam hal ekspansi teknologi kedalam kanal-kanal baru, akuisisi nasabah baru dan inovasi produk dan layanan perbankan yang menguntungkan dan tepat sasaran. Dan disisi lain penambahan populasi jasa keuangan dari para pendatang baru antara lain bank-bank asing maupun perusahaan pemula seperti fintech yang turut menyemarakan persaingan layanan keuangan di Indonesia.

Untuk dapat tumbuh secara sehat, perbankan harus mempunyai modal yang cukup, menjaga kualitas assetnya dengan baik, dikelola dan dioperasikan berdasarkan prinsip kehati-hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi kewajibannya setiap saat. Namun hal tersebut merupakan kompetensi dasar dari suatu bank agar bisa terus beroperasional, berbeda halnya jika bank dituntut agar dapat bersaing dengan bank lainnya baik bank dalam negeri maupun bank asing yang saat ini terus meningkatkan ekspansi usahanya di Indonesia.

Persaingan dalam hal memberikan layanan yang prima serta mengerti kebutuhan nasabah menjadi prioritas utama dari setiap bank, akan tetapi untuk dapat menciptakan fitur layanan serta produk perbankan yang revolusioner di era digital seperti saat ini membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit dan bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selain dari biaya investasi pengembangan produk dan layanan terbaru, perbankan juga diharapkan dapat meningkatkan operasional dan ketersediaan layanan, hal tersebut juga membutuhkan biaya.

Namun, masih ada beberapa area yang masih kurang mendapatkan fokus oleh manajemen TI untuk memahami penggerak nilai utama organisasi. TI harus meningkatkan transparansi dan visibilitas, dengan akuntabilitas untuk kinerja yang terkait dengan penggerak nilai ini. Tantangan bagi manajemen TI adalah menyediakan layanan yang dapat mendukung kebutuhan pertumbuhan organisasi, sementara disisi lain meminimalkan biaya operasi yang dikeluarkan. Sangat penting bahwa proporsi investasi TI yang digunakan untuk mengelola sistem saat ini dapat diukur, sehingga dapat disampaikan kepada manajemen senior dan secara adil dibebankan ke seluruh organisasi.

Unit kerja TI harus memahami isu yang kompleks yaitu konsep chargeback (pembebanan balik): sementara dimana ditemukan dalam banyak contoh, dalam proses transaksi keuangan dimana tidak ada uang tunai yang benar-benar berpindah-tangan secara fisik, lalu bagaimana meyakinkan pengguna dapat merasakan keuntungan (nilai) ketika layanan TI tersebut disediakan untuk ‘gratis’?

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi operasional bank komersial berdasarkan beberapa studi empiris dibagi menjadi variabel mikro dan makro antara lain:

1. Variabel Mikro antara lain mencakup total aset sebagai proksi ukuran bank, Return on Asset (ROA) sebagai proksi laba bank, Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio (LDR) sebagai proksi likuiditas bank, Non-Performing Loan (NPL) sebagai proxy dari risiko kredit bank, Net Interest Margin (NIM), tingkat kapitalisasi bank, biaya operasional.

2. Variable Makro antara lain mencakup pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan), nilai tukar rupiah terhadap dolar, tingkat inflasi, kapitalisasi pasar, dan volatilitas suku bunga pasar uang.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi perbankan adalah rasio Net Interest Margin (NIM). NIM memberikan gambaran tentang kinerja lini bisnis utama bank yang mencerminkan sejauh mana manajemen mengelola aset (yang menghasilkan pendapatan bunga) dan kewajiban (yang menghasilkan beban bunga). Rasio NIM menunjukkan kinerja bank dalam menghasilkan profitabilitas, sehingga bank-bank yang memiliki rasio NIM lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kelompok sejawat mereka menunjukkan kondisi bank yang lebih baik, nilai Net Interest Margin yang tinggi terkait dengan efisiensi yang lebih rendah dan kondisi pasar yang kurang kompetitif.

Jika dikaitkan dengan rasio BOPO (Belanja Operasional Pendapatan Operasional), secara umum pergerakan rasio BOPO akan mempengaruhi NIM, yakni ketika BOPO turun maka NIM akan meningkat atau sebaliknya. Rasio BOPO menurun mencerminkan efisiensi suatu bank, ada dua faktor yang membuat rasio BOPO menyusut antara lain perbankan telah mengarah ke digitalisasi dengan memanfaatkan teknologi dan yang kedua adalah kecenderungan bank mulai mengurangi biaya pencadangan sehingga biaya operasional turun.

Pengaruh pemanfaatan teknologi informasi menjadi faktor penentu efisiensi perbankan serta juga mempengaruhi tingkat kompetisi antar bank baik dalam pasar regional maupun pasar internasional, hal ini yang mejadikan dasar penilitian dimana keefektifitasan investasi teknologi informasi menjadi tolak ukur efisiensi dan daya saing dalam mencapai fungsi bank sebagai penggerak ekonomi suatu negara.

Mengenai definisi belanja operasional perusahaan (business operating expense) disini dapat diasosiasikan dengan total biaya dari unit bisnis yang didukung oleh organisasi TI. Hal ini mencakup barang-barang seperti biaya penjualan, biaya umum dan administrasi, biaya pokok penjualan (atau biaya pendapatan), biaya penelitian dan pengembangan, penyusutan, dan biaya amortisasi. Bagi organisasi perbankan, ini mencakup biaya bunga dan biaya non bunga; untuk pendapatan dapat dipengaruhi oleh volatilitas berbasis pasar eksternal, sedangkan belanja operasional bisnis biasanya jauh lebih konsisten dan dapat diprediksi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, lebih baik mencerminkan keseluruhan strategi investasi bisnis. Pada umumnya, organisasi dengan tingkat investasi TI yang lebih besar relatif terhadap biaya operasional memandang TI sebagai pendukung inisiaif strategis dan dapat meningkatkan kinerja bisnis serta tingkat produktivitas perusahaan

Dalam menyusun capital budgeting untuk suatu proyek investasi TI dalam suatu organisasi pada umumnya terdapat beberapa langkah yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:

a) Biaya Investasi

b) Proyeksi Pendapatan

c) Biaya Operasional

d) Nilai Buku Investasi dan Depresiasi Biaya Investasi

e) Laporan Laba-Rugi

f) Proyeksi Modal Kerja

g) Perhitungan NPV, IRR, Payback Period, Profitability Index

h) Proyeksi Arus Kas

i) Perhitunga Biaya Bunga dan Cicilan

j) Proyeksi Neraca

Dalam pembahasan artikel ini saya ingin mengusulkan pendekatan baru dimana dalam menentukan kelayakan suatu proyek investasi teknologi informasi dalam beberapa kesempatan di organisasi yang pernah saya ikuti masih menggunakan pendekatan konvensional yaitu Discounted Cash Flow (DCF). Pendekatan DCF adalah satu metode untuk melakukan perhitungan prospek pertumbuhan atas suatu instrumen investasi dalam beberapa waktu ke depan. Konsep DCF ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika anda menginvestasikan sejumlah dana, maka dana tersebut akan tumbuh sebesar sekian persen atau mungkin sekian kali lipat setelah beberapa waktu tertentu. Disebut “discounted cash flow” atau ‘arus kas yang terdiskon’, karena cara menghitungnya adalah dengan melakukan estimasi dari arus kas yang masuk dimasa mendatang untuk kemudian di-‘sesuaikan’ atau di kurangi dan menghasilkan nilai kas tersebut pada masa kini.

Namun pendekatan tersebut sepertinya perlu kita evaluasi kembali, berdasarkan penelitian yang sudah saya lakukan sebelumnya terdapat variabel-variabel baru yang secara empiris terbukti dapat mempengaruhi hasil dari kelayakan suatu proyek investasi secara signifikan. Selanjutnya akan menentukan pengambilan keputusan mengenai layak atau tidaknya suatu proyek dijalankan, tentunya model valuasi ini dapat diimplementasikan dengan beberapa persyaratan antara lain adalah kesiapan infrastruktur data atau informasi dari masing-masing komponen pembentuk biaya, dan serta kesiapan dari organisasi dalam melakukan perubahan dalam model kerja.

Variabel-variabel baru yang saya maksudkan disini adalah komponen charge back dan transaction cost. Charge-back theory berdasarkan dalam konteks manajemen teknologi informasi adalah mengacu pada praktik penagihan biaya teknologi informasi (TI) kembali ke berbagai departemen dan unit bisnis yang menggunakan TI (Chargeback for cloud services. Future Generation Computer Systems, Baars et al.,2014). Hal ini bukan sesuatu yang baru, karena praktek charge-back adalah metode yang umum digunakan dalam dunia TI lebih khusus untuk layanan jasa komputasi awan (cloud provider) dalam menghitung biaya berbasis jumlah penggunaan layanan infrastruktur ataupun piranti lunak. Pendekatan secara umumnya dimana biaya TI biasanya diperlakukan sebagai overhead daripada biaya langsung. Biaya overhead tersebut tidak tepat diserap baik secara keseluruhan oleh departemen TI atau dibebankan secara merata untuk semua unit bisnis terlepas dari konsumsi individual masing-masing unit bisnis. Skema alokasi biaya yang tidak terkelola dengan baik seperti itu mendorong overutilization layanan yang underpriced dan sebaliknya underutilization dari layanan yang overpriced — keduanya mengarah pada kinerja organisasi yang tidak optimal.

Pada akhirnya, kegagalan memasukkan biaya personil TI juga turut memperburuk masalah. Tingkat pengeluaran overhead yang meningkat ini telah membebani sistem akuntansi biaya tradisional, yang kemungkinan besar menyalahartikan biaya TI, sehingga penentuan kebijakan investasi TI menjadi salah sasaran.

Menurut penelitian yang telah dipublikasikan oleh Gerlach (Determining the cost of IT services. Communications of the ACM, Gerlach et al., 2002), Activity-Based Costing (ABC) adalah salah satu metode dari cost-based accounting yang memenuhi kriteria chargeback, dikarenakan ABC secara jelas mengkomunikasikan “rates” dari setiap aktivitas yang mengkonsumsi sumber daya serta mengapa sumber daya itu digunakan dalam layanan TI. Dalam penilitian ini, metode yang akan digunakan dalam membentuk komponen chargeback adalah menggunakan metode Activity-Based Costing (ABC) dikarenakan metode ini berdasarkan penilitian sebelumnya, sangat sesuai dengan kebutuhan TI saat ini karena faktor-faktor yang telah dijelaskan diatas. Tabel dibawah merupakan contoh implementasi penggunaan ABC dalam memperhitungkan biaya layanan TI yang dimasukkan kedalam komponen biaya proyek.

Berdasarkan table dibawah ini, memberikan gambaran untuk menentukan obyek biaya untuk charge-back menggunakan metode ABC, dapat dikategorisasi menjadi tiga komponen besar antara lain sebagai berikut:

Simulasi nilai biaya layanan TI — Model ABC (Gerlach et al., 2002)

1. Obyek biaya mengkonsumsi aktfitas (product requires activities)

2. Kegiatan mengkonsumsi sumber daya (activities consume resources)

3. Konsumsi terhadap sumber daya yang mendorong biaya (resources cost money)

Dalam menentukan obyek biaya tersebut, hal yang perlu diperhatikan berikutnya adalah dua skenario umum yaitu klasifikasi asset berdasarkan penggunaan: (1) Shared dan (2) Exclusive Asset. Untuk asset yang terklasifikasi sebagai Shared contohnya adalah infrastruktur atau aplikasi yang digunakan secara bersama-sama dalam organisasi secara enterprise-wide. Sedangkan Exclusive Asset adalah infrastruktur atau aplikasi yang penggunaanya hanya melayani secara spesifik satu atau maksimum dua unit kerja saja. Dalam penulisan artikel ini, saya ingin memfokuskan kepada shared assets yang dijadikan acuan dalam melakukan cost allocation dengan pembagian kinerja per divisi dalam penerapannya ke dalam proyek berbasis teknologi informasi untuk aset-aset dengan layanan yang di konsumsi secara bersama-sama.

Variabel yang kedua adalah transaction-cost, dimana kembali saya ingin mengutarakan bahwa teori transaction cost bukan sesuatu hal yang baru, namun teori ini sudah pernah dipublikasikan oleh Williamson (The economics of organization: The transaction cost approach. American journal of sociology, Williamson O.E, 1981) dimana perspektif dari transaction cost yang diperkenalkan melalui konsep transaction cost economy (TCE) dimana dalam perspektifnya dikategorikan menjadi dua; yaitu kekhususan aplikasi (application specific) dan ruang lingkup penggunaan aplikasi (scope of application use) dalam melihat aplikasi dengan menitikberatkan terhadap aktivitas transaksi sebagai aktivitas unit ekonomi paling tertinggi. Dengan menerapkan pendekatan tersebut ke pengaturan tata kelola pada tingkat aplikasi, unit bisnis baik yang masuk ke dalam kontrak dengan (internal atau eksternal) unit TI yang berupaya untuk menghemat biaya total untuk setiap transaksi terkait aplikasi, atau mengoordinasikan operasi aplikasi secara hierarkis. Total biaya terdiri dari biaya produksi secara tradisional (misalnya, untuk faktor input seperti lisensi, fasilitas, dan tenaga kerja yang dikeluarkan) dan biaya transaksi (misalnya, untuk perencanaan, adaptasi, dan pemantauan operasi aplikasi).

Saya ilustrasikan komponen transaction cost dalam diagram berikut:

Ilustrasi komponen transaction cost

Langkah-langkah dalam penyusunan charge-back adalah sebagai berikut:

  1. Sesuai dengan pendekatan alokasi biaya untuk shared assets yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya, untuk menyusun rate chargeback untuk biaya-biaya penggunaan aset secara bersamaan dapat dilihat melalui penjelasan sebagai berikut:

Setiap dari komponen biaya diatas mengekspresikan jumlah dari sumber daya sesuai, yang dikonsumsi oleh TI data center pada suatu periode tertentu

Metode dalam perhitungan dari masing-masing komponen biaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:

· Pada umumnya, biaya sewa ruangan (Cost-Space) termasuk biaya real estate yang diperlukan sebagai data center, biaya untuk sistem pembangkit listrik dan subsistem tambahan lainnya. Hal ini dianggap bahwa pendapatan operasional hanya direalisasikan sebagai bagian dari ruang data center yang dihuni dengan peralatan komputasi termasuk server, storage, jaringan dan lainnya;

· Biaya untuk sumber daya tenaga listrik (Cost-Power)yang termasuk didalamnya adalah alat stabilisator tegangan, baterai cadangan untuk server, pembangkit listrik cadangan (generator set), maupun kapabalitas redundansi untuk setiap komponen;

· Biaya untuk pendingin ruangan (Cost-Cooling) adalah biaya listrik yang digunakan untuk menjalankan alat pendingin ruangan;

· Biaya untuk operasional keseharian termasuk didalamnya adalah biaya personil data center, depresiasi dari peralatan TI dan lisensi piranti lunak

2. Dalam pengelompokan biaya-biaya tersebut, kita terlebih dahulu mengidentifikasi lima kelompok besar yaitu: (i) Software (piranti lunak); (ii) Hosting (server, storage); (iii) Network (jaringan); (iv) Personnel (staff); (v) Facility (listrik, biaya ruangan, pendingin ruangan, UPS, telepon dan fax). Masing-masing dari kelompok biaya tersebut dikelompokan lagi menjadi service group dan service sub-group dengan penjelasan melalui tabel klasifikasi sebagai berikut:

Contoh Taksonomi Biaya

3. Tahapan berikutnya adalah menentukan billing rate dari masing-masing kelompok biaya tersebut, dimana nilai billing rate disepakati bersama antara unit bisnis dan unit TI dari organisasi. Nilai satuan dari billable unit juga memerlukan kesepakatan bersama sehingga membentuk nilai akhir adalah nilai rupiah satuan billing dan rate billable yang disesuaikan dengan masing-masing aplikasi/channel/sistem yang menggunakan aset bersama tersebut, perhitungan nilai rupiah satuan dapat menggunakan persamaan berikut (ilustrasi perhitungan menggunakan simulasi angka semata)

Ilustrasi perhitungan billing rate

4. Tahapan selanjutnya adalah perhitungan billing rate, perhitungan ini dilakukan melalui kesepakatan antara unit bisnis dengan unit TI, hal yang menjadi kriteria untuk mendapatkan rate yang dibebankan ke unit bisnis didasarkan pada jumlah service level agreement (SLA) ketersediaan layanan yang dikenakan untuk sistem tersebut. Ambil contoh untuk channel ATM, SLA yang dikenakan adalah 99.0%. Berikut tabel perhitungan SLA.

Tabel SLA

Untuk SLA ATM dan system lainnya bergantung dari nilai uptime yang dikurangi dengan downtime (ketidak-tersediaan layanan) dengan perhitungan sebagai berikut:

Tabel SLA (lanjutan)

Untuk perhitungan SLA = 2,592,000–25,920 = 2,566,080 seconds, lalu hasil dari SLA tersebut dibagi dengan jumlah transaksi ATM dalam periode 1 tahun dengan perhitungan sebagai berikut: Billing Rate ATM = 25,000,000 / 2,566,080 = 10.26%

5. Selanjutnya setelah kita mendapatkan billing rate dan billable unit, maka kita akan mengalikan dengan jumlah transaksi dari masing-masing channel/sistem/aplikasi yang terdaftar sesuai dengan rate code yang telah disampaikan sebelumnya. Berikut adalah tabel perhitungan untuk semua aplikasi/channel/sistem yang terdaftar dan menggunakan aset bersama dengan masing-masing rate code, billing rate dan billable unit

Langkah berikutnya adalah penyusunan dengan transaction-cost revenue Untuk perhitungan transaction cost didapatkan melalui perhitungan total biaya investasi per aplikasi/sistem/channel dibagi dengan total transaksi dalam satu periode (misalnya 1 tahun), hasil dari pembagian tersebut akan didapatkan biaya transaksi yang dijadikan pendapatan yang akan di hasilkan melalui aplikasi/sistem/channel tersebut. Berikut perhitungan untuk semua aplikasi/sistem/channel yang dibagi menjadi tiga segmen yaitu: (i) retail; (ii) wholesale; (iii) other system;

Kesimpulan

Mengacu dari pembahasan diatas, dimana organisasi berhasil mengidentifikasi biaya-biaya operasional dan melakukan penyesuaian dalam perhitungan untuk dimasukkan kedalam perhitungan capital budgeting proyek investasi dan diambil keputusan investasi yang sesuai dengan batas kewajaran. Jika dibandingkan hasil perhitungan capital budgeting antara metode tradisional dengan metode chargeback dan transaction cost, kita dapatkan perbedaan hasil net present value (NPV), internal rate of return (IRR), payback period dan profitability index. Maka berdasarkan Analisa dan Simulasi yang saya susun terdapat fakta menarik yaitu:

Simulasi perhitungan kelayakan proyek TI

Dari nilai-nilai perhitungan diatas, kita dapat melakukan perbandingan sederhana melalui tabel berikut:

SImulasi perbandingan kelayakan dua metode

Keputusan investasi berdasarkan satu skenario tidak dapat memberikan informasi yang cukup untuk melihat potensi dan risiko suatu proyek, keputusan dapat dievaluasi melalui beberapa ukuran atau kriteria yang merupakan bagian dari persamaan fungsi vector dari value drivers. Setelah proyek telah dievaluasi dan NPV dan IRR telah dihitung, salah satu proses yang paling penting adalah untuk menguatkan hasil dengan menggunakan analisis sensitivitas dari model penilaian. Dalam kasus seperti itu, analisis sensitivitas dimaksudkan untuk menghasilkan peringkat variabel eksogen sesuai dengan perubahan yang kita terapkan pada NPV dan pada IRR setelah variasi dikenakan pada variabel eksogen itu sendiri. Melalui analisis sensitivitas, kita mendapatkan informasi penting tentang perilaku model, struktur dan respon (tanggapan) terhadap perubahan dalam model masukkan. Sebagai dasar untuk keputusan, beberapa asumsi skenario dapat digunakan. Analisis sensitivitas pada dasarnya melihat seberapa banyak variasi mengubah proyek NPV jika parameter input diubah. Dengan analisis ini dapat diketahui parameter-parameter yang paling berpengaruh terhadap penilaian proyek.

Pada artikel ini saya telah menyusun beberapa parameter asumsi yang digunakan dalam perhitungan net present value (NPV) akan dilakukan tes analisa sensitifitas dengan melakukan perubahan terhadap nilai-nilai yang telah dijadikan basis perhitungan seperti dijelaskan melalui Tabel berikut:

Parameter analisa Sensitivity

Peringkat 10 besar parameter sensitive dalam table diatas adalah berdasarkan simulasi yang saya lakukan terhadap perhitungan valuasi proyek TI, dimana pada urutan pertama dari parameter yang paling sensitif adalah variabel BOPO (biaya operasional pendapatan operasional) sehingga sangat mempeharuhi nilai valuasi proyek. Parameter sensitif berikutnya adalah kenaikan chargeback cost secara total dimana nilai 25% pertumbuhan transaksi per tahun tidak boleh melebihi dari 27%, hal ini harus diimbangi dengan biaya transaksi yang dibebankan ke masing-masing aplikasi juga harus diperkecil karena disisi lain perkembangan bisnis harus tetap tumbuh yang direpresentasikan dengan jumlah transaksi yang meningkat dari tahun ke tahun

Analisa dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap 10 parameter paling berpengaruh dari total 68 parameter yang saya identifikasi dengan skenario minimum dan maksimum sedangkan parameter sisanya tetap dan tidak berubah sesuai dengan baseline. Hasil perhitungan terhadap NPV, IRR, Payback Period dan Profitability Index, dapat dilihat melalui tabel perhitungan sebagai berikut:

Tabel perhitungan parameter sensitivity

Dalam penyusunan capital budgeting suatu proyek dalam memitigasi keadaan ketidakpastian untuk keputusan investasi, pada umumnya organisasi mengadopsi beberapa teknik yang kompleks

. Beberapa teknik sophisticated capital budgeting practices (SCBP) yang umumnya dilakukan antara lain: simulasi Monte Carlo, game theory decision rules, real option pricing, decision trees, sensitivity analysis and scenario analysis.

Dengan simulasi Monte Carlo, kita dapat menetukan tingkat volatilitas dan pergerakan dari parameter yang juga dipergunakan dalam analisis sensitivitas yaitu 68 parameter acuan. Dengan menggunakan nilai-nilai dari variabel sensitif, kita akan mendapatkan nilai optimal berdasarkan simulasi Monte Carlo yang dapat mempengaruhi nilai NPV proyek TI. Berikut adalah tabel hasil perhitungan simulasi Monte Carlo terhadap 68 variabel sensitive (saya redaksi demi kepentingan tayangan):

Tabel 68 parameter analisa sensitifitas

Dengan membandingkan hasil dua simulasi Monte Carlo dengan dua target NPV yang berbeda seperti yang terlampir pada Tabel dibawah, menggambarkan pada simulasi 1 NPV sesuai dengan perhitungan discounted cash flow (DCF) dan simulasi 2 dengan target NPV adalah 0. Melalui simulasi tersebut didapatkan perbedaan probabilitas pencapaian target NPV, dimana pada simulasi 1 dengan target NPV adalah 128,355 memiliki probabilitas pencapain target hanya sebesar 25%. Namun, pada simulasi 2 dengan target NPV adalah 0, maka probabilitas pencapaian target adalah 100% dengan 68 parameter sensitif telah dilakukan simulasi Monte Carlo.

Perbandingan dua simulasi montecarlo

Secara umumnya perhitungan diatas dapat menginformasikan bahwa pencetus proyek atau proyek yang telah lolos seleksi dapat secara optimis bias dalam asumsi mereka tentang variabel keuangan dan operasional yang mempengaruhi arus kas, dan ini dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap perkiraan kemungkinan keberhasilan proyek. Melalui distribusi probabilitas baru untuk pertumbuhan dalam salah satu parameter sensitif tertinggi yaitu BOPO tampak pada Gambar dibawah dan membantu kita memvisualisasikan ketidakpastian, disini simulasi Monte Carlo kembali menyediakan fungsi distribusi probabilitas yang membantu kita memvisualisasikan risiko terhadap proyek

Analisa Montecarlo-Kelayakan suatu proyek TI

Dengan memperhatikan peringkat sensitivitas dari perhitungan pada diagram kurva montecarlo diatas, kita dapatkan komponen yang paling beperngaruh adalah nilai dari biaya operasional pendapatan operasional (BOPO), jika persentase BOPO mengalami kenaikan meskipun hanya sebesar 2.14% maka pengaruh terhadap kelayakan proyek akan signifikan yaitu membuat proyek tidak dapat diterima (tidak layak) karena NPV yang dihasillkan negatif. Hal ini sejalan dengan kebijakan dari regulator untuk dapat menjaga tingkat efisiensi operasional bank — BOPO pada kisaran 60–70%, sehingga keputusan dalam meningkatkan efisiensi berada pada manajemen mengenai kebijakan-kebijakan yang akan diimplementasikan.

Begitu pula untuk parameter lainnya yaitu kenaikan chargeback cost adalah komponen kedua tertinggi dalam tingkat sesitivitas, dimana semula organisasi pada umumnya sering melupakan atau meniadakan biaya-biaya pendukung seperti listrik, pendingin ruangan, media penyimpanan, server, ruangan server dalam perhitungan capital budgeting dikarenakan komponen tersebut adalah aset bersama. Namun ketika kita berhasil mengidentifikasi sumber biaya tersebut dan kita berhasil mengukur tingkat penggunaan dari masing-masing jenis biaya tersebut, kita dapat melakukan pembebanan kembali atas aset bersama yang digunakan ke masing-masing unit bisnis, untuk kategori proyek-proyek yang tergolong aset bersama (digunakan oleh banyak unit bisnis) atau aset yang sangat kritis demi kelangsungan jalannya bisnis.

Manajemen sekarang memiliki informasi untuk mungkin membuat beberapa penyesuaian pada desain dan implementasi proyek. Misalnya, target persentase tingkat net interest income (NII) masih sangat penting bagi keberhasilan proyek. Apakah itu membenarkan kenaikan atau penurunan suku bunga dapat dilakukan sewaktu-waktu? Apakah pertumbuhan jumlah nasabah dalam hal ini lebih penting? Atau justru kenaikan jumlah biaya transaksi oleh korporasi jauh lebih penting. Apakah itu juga menunjukkan pengeluaran biaya pemasaran atau operasional tambahan selama masa proyek? Analisis NPV, sensitivitas dan simulasi Monte Carlo dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Tidak banyak organisasi yang berusaha mengukur manfaat yang terkait dengan investasi TI, kurangnya pengukuran ini berarti bahwa organisasi tidak memiliki gagasan nyata manfaat apa yang mereka bisa dapatkan dari investasi TI atau jika investasi ini sebenarnya memiliki efek yang merugikan pada perusahaan. Namun, saat ini hampir semua organisasi memantau biaya lingkungan TI karena itu adalah bagian proses yang mudah, tanpa kekurangan angka-angka yang dilakukan dalam spreadsheet dan sistem akuntansi. Tanpa informasi ini dan transparansi, senior manajemen akan terus memandang TI dengan ketidakpercayaan dan menahan dana untuk investasi yang saat ini beranggapan seperti analogi menuangkan ke dalam lubang hitam.

Mengukur laba dari investasi dalam sistem informasi dan komputerisasi membutuhkan tingkat ketelitian yang sebagian besar organisasi tidak memahami proses tersebut. Bahwa ini akan cepat atau lambat diperlukan oleh semua organisasi dan dapat diprediksi oleh fakta bahwa biaya manajemen informasi terus meningkat sebagai persentase dari semua biaya. Sedikit ironis bahwa di banyak organisasi untuk Return on Investment (ROI) dan ukuran keuangan lainnya dihitung dalam tahap kelayakan dan penilaian proyek, dan bahwa keberhasilan proyek diukur baik pada titik implementasi atau segera sesudahnya. Menerapkan perencanaan investasi dan sistem kontrol TI, dan mengadopsi metodologi formal untuk mengelola proses yang terkait, adalah langkah paling efektif yang dapat dilakukan oleh suatu organisasi untuk meningkatkan akurasi dan validitas strategi investasi TI di masing-masing organisasi.

Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat saya usulkan berdasarkan pembahasan diatas antara lain:

1. Industri perbankan memiliki pasar yang sangat kompetitif, setiap pelaku usaha berusaha untuk meningkatkan daya saing antara lain dengan meningkatkan layanan ke nasabah melalui pengembangan teknologi baru, namun disisi lain menjaga efisiensi operasional perbankan dalam batasan tertentu agar tetap menarik para investor. Hal ini juga didukung oleh upaya melaksanakan proyek investasi yang bersifat mentransformasi untuk meningkatkan daya saing, untuk valuasi proyek melalui pendekatan tradisional tidak lagi cocok dalam mengukur kelayakan suatu proyek investasi TI, melainkan dengan penggunaan metode capital budgeting dengan memasukkan komponen chargeback dan transaction cost dapat secara signifikan membantu manajemen dalam hal keputusan investasi untuk nilai yang wajar sesuai dengan kapabilitas TI yang dimiliki oleh masing-masing organisasi.

2. Efektivitas investasi TI adalah faktor yang sangat signifikan dalam kapabilitas TI untuk memberikan nilai kepada perusahaan. Manajemen TI harus melakukan upaya sadar untuk mengukur dan memantau belanja TI dan setelah ini dipahami, manajemen TI berusaha untuk meningkatkan proporsi pengeluaran untuk peningkatan dan layanan baru yang dirancang untuk mentransformasi perusahaan dan menumbuhkan nilai secara keseluruhan.

3. Analisa sensitivitas dan simulasi Monte Carlo digunakan dalam penilaian strategis untuk pengambilan keputusan investasi serta mengidentifikasi, menganalisa dan mengevaluasi risiko ekonomi, risiko keuangan dan risiko kualitatif dari proyek investasi, dengan adanya simulasi Monte Carlo, manajemen dapat mencari metode dan pendekatan yang berbeda untuk mengelola dan menanggapi risiko proyek investasi tersebut.

4. Aspek lain yang penting yang dapat dipertimbangkan manajemen TI adalah kebutuhan untuk memastikan bahwa tingkat investasi yang dibuat di TI adalah untuk memberikan value for money jika dibandingkan dengan industri yang sejenis dan lingkungan yang lebih luas.

Penggunaan tolok ukur dapat membawa sejumlah manfaat, termasuk menjadi kendaraan untuk kinerja dan kolaborasi yang lebih baik, disisi lain dapat membantu mengidentifikasi kesenjangan dalam efektivitas operasional. Metode manual yang bersifat ad-hoc berdasarkan spreadsheet tidak lagi dapat diterima atau dijadikan solusi praktis; terutama dikarenakan kualitas data untuk pelaporan TI yang akurat dan komprehensif sekarang sangat penting

TERIMA KASIH!!

--

--

rully feranata
Mandiri Engineering

I am just another technology enthusiast that fond of how’s business can exploits some of the information streams