bukan cerita adam dan hawa

magfira
Mari #NulisRandom2015
3 min readJun 2, 2015

--

Mereka bilang untuk menikah dan mempunyai anak adalah mimpi setiap wanita. Tapi, ternyata, di balkon apartemen yang ditatap oleh bulan purnama dan tiga lilin yang berjejer di tehel-tehel yang sudut-sudutnya kusam, kenyataan memberitahuku bahwa gadisku tak mempunyai mimpi itu.

Lututku sakit menahan bebanku dan kerasnya lantai. Keringat cepat-cepat melantangkan kebebasan dan membasuh seluruh ekspektasiku pergi. Kotak cincin yang terdiam di atas telapak tanganku menjadi pengingat bahwa kebahagiaan yang kuharapkan dari balutan cincin di jari manisnya takkan datang hari ini. Rasanya tubuhku membeku dari ujung rambut ke ujung kaki, takkan mencair hingga satu abad terlewati, dan aku menjadi anakronisme di dunia baru yang dipenuhi dengan layar sentuh dan alien yang bersanding dengan manusia.

Eve, gadisku, pasti melihat wajahku yang tak mengekspresikan apa-apa. Mataku bahkan enggan merilis air mata kesedihan. Aku diam saja di hadapannya, di balkon yang sempit ini, dengan kecanggungan menggantung di atmosfer. Ia pun berlutut di depanku, menangkup pipiku dengan kedua tangan mungilnya, lalu mencium keningku, pipiku, hidungku, bibirku, dan meniupkan permintaan maaf pada celah mulutku. Aku menerimanya begitu saja, tanpa mendorong tubuhnya ke dinding dan bertanya kenapa berulang kali, karena mungkin memang belum saatnya kami mengucapkan sumpah setia selamanya. Bagaimanapun juga, tiap kali bola mataku menangkap siluetnya, aku bersumpah punggungnya akan menghilang di balik tirai cahaya dan pria bermulut setan akan menyambarnya pergi menjauh dariku.

Kubisikkan kata-kata tak bermakna padanya — aku baik-baik saja, tidak apa-apa, aku mengerti, maaf sudah mendesakmu — dan ia menganggukkan kepalanya. Permohonan maaf menjadi serenceng nada tajam di telingaku. Napasnya masih hangat di tulang pipiku. Dangkal. Tergesa-gesa. Hidung Eve menjauh, tak lagi membayangi wajahku, dan kudengar bahwa rantaian engahan napas di sela-sela wajah kami berdua adalah milikku.

Tubuh Eve menjulang dan tangannya terulur. Kusambut tangannya, merasakan kulitnya yang halus di bawah jari-jemariku yang kalus, dan mempertanyakan bahwa ini adalah momen yang pantas untuk melepaskan keindahan itu.

Eve membuka bibir ranumnya. “Adam, aku — “

“Aku ingin pergi cari udara segar,” kataku, memotong kalimat yang ia ingin utarakan. Rasa gusar langsung memamerkan dirinya melalui mata membelalak dan mulut yang bergetar.

“Oh. Oh, ya. Tentu,” balasnya, tergagap-gagap. Ia melayangkan tangannya ke sana-sini sebelum akhirnya mengistirahatkannya di atas railing besi yang merefleksikan seluruh aksi kami. “Kau sepertinya membutuhkannya. Wajahmu… um, wajahmu….”

“Pucat?”

“Tampan. Wajahmu sangat tampan.”

Ia hanya bilang aku tampan kalau ia punya intensi rahasia atau jika ia merasa gugup. Ia lebih sering menggamit lenganku di lorong gedung apartemen dan menyanyikan semboyan produk favoritnya jika ia merasa senang. Jika ia sedih, ia akan membeli es krim termahal di minimarket terdekat, lalu menekuk lututnya di sofa dengan sendok berlumuran es krim di mulutnya, sementara matanya terpusat pada film-film artsy yang tak bisa kutangkap apa maksudnya. Kalau dipikir-pikir, aku lebih sering diam saat berada di sampingnya, mendengar ia merongseng tentang pendapat kritikus yang ia anggap tak punya otak dan selera yang bagus, atau ketika harga minyak goreng di mal membludak.

Kubalas pernyataannya dengan anggukan pelan dan tawa kecil yang dipaksakan keluar sebelum meletakkan kembali kotak cincin dengan beludru merah yang elegan ke dalam kantong celanaku. Gema langkah-langkahku di dalam rumahku sendiri menggangguku hingga membuatku ingin marah pada diriku sendiri, seakan mengingatkanku bahwa masih banyak waktu yang perlu dihabiskan agar semuanya menjadi baik-baik saja. Pintu kubanting dan membahana di lorong yang sempit itu. Ada tetangga yang berjalan melewatiku saat aku mencapai lift, dan aku bersumpah aku mendengar ia mengataiku sebagai orang gila.

Aku bukanlah orang gila. Aku hanya ingin bahagia dan aku egois karena itu. Apa itu salah?

Teriakan dalam hati menjelma menjadi kesunyian yang memaluti dunia. Jujur saja, ini sangatlah melelahkan.

--

--

magfira
Mari #NulisRandom2015

an indonesian lost in this certain intersection of foreign cultures.