ignorance is bliss
Ronald dan Ardi masih berceloteh tentang pekerjaan yang selalu membawa mereka menjauh dari kehangatan keluarga. Kami bertiga adalah para pria yang telah menginjak umur tiga puluh dan sisa diriku yang belum menikah dan punya anak. Aku tak akan membuka mulutku dan sok tahu akan hal itu sampai mereka menemukan topik lain untuk dibicarakan. Ponselku mati karena kehabisan baterai, jadi aku tidak bisa bermain game atau mengunjungi jejaring sosial. Jadi, ya, aku duduk di samping Ronald, memainkan sendok dan garpu, karena aku tak tahu harus berbuat apa.
Aku pun melihat seorang wanita duduk di meja seberang. Rambutnya pirang, bergelombang, mengingatkanku pada rambut istri Ardi yang ditata sedemikian rupa pada saat resepsi pernikahan. Memiliki cincin di jari manis kirinya. Memakai kemeja kebesaran dan celana jins kusam. Amat berantakan. Ia memanggil pelayan, memesan segelas kopi dan sepiring wafel dengan es krim vanila, dan mengetukkan jarinya berulang kali ke bidang meja. Tangannya gemetaran. Matanya menerawng. Gelisah.
Aku memalingkan wajahku. Ronald dan Ardi sekarang membicarakan tentang anak mereka. Aku bergabung dalam konversasi dengan pertanyaan, “Hei, bawa mereka main ke rumahku.”
Ronald mendengus. “Apartemenmu tidak sehat untuk anakku. Memangnya kau sudah membersihkannya?”
“Tidak,” jawabku. “Seminggu ini aku lembur, jadi tidak punya waktu untuk beres-beres.”
“Ugh,” gumam Ardi. “Cari istri sana.”
Aku melirik sekilas wanita di seberangku. Cincin emasnya tak melingkar lagi di jarinya.
“Lain kali,” kataku. “Pada waktu yang tepat.”
/-
Aku pulang ke apartemenku jam sebelas malam. Ronald benar mengenai apartemenku tidak sehat untuk anaknya. Sampahlah yang sekarang menghuni setiap sudut rumahku, bersama pakaian-pakaian kotor yang malas kutaruh di mesin cuci. Puntung-puntung rokok dan kaleng bir juga memenuhi area sofaku. Aku akan membersihkannya.
Aku mengempaskan tubuhku ke sofa, merasakan kelelahan menguap sedikit demi sedikit dari tubuhku. Aku menyalakan televisi, mengganti saluran beberapa kali sebelum akhirnya berhenti di acara berita malam. Pembawa acara menyebutkan tentang berita pembunuhan dan nama korbannya, lalu terpampang foto korban kasus tersebut: wanita yang kulihat tadi siang.
Aku membayangkan apa yang akan terjadi jika aku beranjak dari mejaku dan memutuskan untuk duduk di seberangnya. Bertanya mengapa dia gemetar; mengapa dia melepaskan cincinnya. Semalu itukah dirinya untuk ditahu orang lain sebagai istri dari seorang pria? Apakah aku juga akan dibunuh jika aku terlibat dalam kehidupan wanita itu?
Aku pergi ke dapur, mengambil bir dari kulkas, dan meneguknya sampai habis. Kaleng itu kulempar ke pojok kounter dapur. Bunyinya membuat kepalaku pusing.
Aku akan membersihkannya lain kali. Pada waktu yang tepat.