oh what i wouldn’t trade for your laughter

magfira
Mari #NulisRandom2015
2 min readMay 31, 2015

Guntur kembali menolehkan kepalanya untuk melihat sekilas wajah kakakku. Aku menutup mulutku, berhenti mengutarakan omong kosong tentang makalah Geografi yang bisa dibuat setelah bermain game, dan ikut diam. Kupandangi saja wajah sahabatku. Setengah terpejam, tapi penuh dengan cinta. Senyum kecil mengembang. Tak berusaha untuk ditahan kali ini. Hanya bahagia melihat aksi biasa kakakku yang sedang mengaduk tehnya dan membaca novel di meja makan. Ia tidak menyadari Guntur menatapnya karena ia tenggelam dalam rangkaian kata yang di sana, tak mendengar betapa dangkalnya napas Guntur karena telinganya dipenuhi dengan lagu klasik membosankan itu. Ia tidak pernah menyadari Guntur jatuh cinta dengan dirinya karena dia buta.

Aku tahu tentu saja. Aku tahu segalanya tentang Guntur karena akulah yang berada di sampingnya lebih dari sepuluh tahun. Membantunya memanjat pohon dan melawan anak kompleks sebelah yang suka mencuri kelereng kami. Berbohong pada ayahku bahwa dialah yang membawa lari motornya, bukan aku, lalu menerima tinju di pipi dan berusaha membuatku percaya bahwa dia tidak merasa sakit. Sekeras baja, setangguh pahlawan. Kami terikat oleh janji untuk tidak berdusta. Harus jujur dalam segala hal — segala masalah, segala rahasia, segala pencapaian.

Dua minggu lalu dia datang ke rumahku. Menanyakan keberadaan kakakku sebelum meminta izin untuk masuk ke kamarku. Saat ia duduk di tempat tidurku, tubuhnya tidak berhenti bergoyang dan kulihat keringat mulai turun dari keningnya. Kemudian dari mulutnya keluar kata gay. Aku suka sama kakakmu. Bukan Rina. Tapi Raka. Makanya, kupikir, ya, aku homo. Mungkin. Aku tidak tahu. Masih butuh waktu untuk mengenali semua ini.

Aku masih ingat ketika aku diam sebentar dan menatap karpet bermotif spiral. Berusaha untuk memproses perkataan Guntur di dalam kepalaku. Bahwa dia suka sama kakakku. Bahwa kakakku benar-benar lurus dalam segala hal: ibadah, sikap, tata krama, kecerdasan, dan tentu saja seksualitas. Bahwa perasaan yang bergejolak dalam hatiku bukan lagi karena ingin bebas untuk diketahui oleh Guntur, tapi karena cintaku bertepuk sebelah tangan sebelum aku mengutarakannya. Dan aku yakin jika Guntur akhirnya menemukan keberaniannya unuk mengatakan cinta pada kakakku, aku tahu dia pasti ditolak. Pasti. Guntur tentu tahu soal itu. Kami berdua adalah orang keempat dan kelima yang mendengar kabar Raka punya pacar tiga tahun lalu.

Dan Raka mau melamar kekasihnya. Aku menemukan kotak berisi cincin permata tiga hari lalu di laci mejanya. Cincinnya mengingatkanku pada kilau bintang.

Aku tidak mau memberitahukan hal itu pada Guntur.

Aku tak ingin mengganggu kebahagiaan Guntur. Aku bersedia mengorbankan janjiku untuk menunda kesedihan Guntur. Aku bersedia melakukan apa saja untuk tawa dan senyumnya. Jadi, di sinilah aku, tidak melakukan apa-apa.

Televisi di hadapanku masih menayangkan game yang dijeda. Speaker masih memainkan musiknya. Makalahku masih menunggu untuk dikerjakan. Raka masih membaca. Sahabatku masih menatap. Aku masih diam.

--

--

magfira
Mari #NulisRandom2015

an indonesian lost in this certain intersection of foreign cultures.