Belajar Genius bersama Eric Weiner

Reiza Harits
MauBaca.
Published in
4 min readJul 12, 2017
Peraih Academy Award, Geoffrey Rush, berperan sebagai Einstein dalam serial televisi “Genius” oleh National Geographic. (sumber foto: nationalgeographic.com.au)

Pada suatu waktu di Athena Kuno, Aristoteles pernah berkata:

“Tidak ada seorang yang genius tanpa sebuah pemikiran yang gila.”.

Pada kesempatan lain, juga di Athena Kuno, kali ini giliran Socrates yang berkata:

“Satu-satunya kebijakan sejati adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa.”

Pemikiran-pemikiran seperti itu mendorong Eric Weiner, seorang jurnalis sekaligus penulis, untuk mengetahui apa sebenarnya yang membuat Athena Kuno sangat bergairah dalam hal kegeniusan dan kreativitas berpikir. Sangat bergairah, sampai-sampai ia menyebut Athena Kuno sebagai tempat yang “menghasilkan lebih banyak pemikiran brilian dibandingkan tempat manapun yang pernah dilihat dunia sebelum maupun sesudahnya.” Mengapa? Ia bertanya. Jawaban yang ia temui sangatlah menarik, yaitu karena warga Athena Kuno senang berjalan kaki.

Faktanya, terdapat kaitan yang menarik antara berjalan dengan kreativitas. Penelitian dalam Journal of Experimental Psychology mengatakan bahwa tingkat kreativitas dari orang yang berjalan kaki “secara konsisten dan signifikan” lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang sering duduk. Dengan berjalan kaki selama lima sampai enam belas menit, angka respon kreatif yang muncul dua kali lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang duduk secara terus menerus.

Eric Weiner, sang penulis buku The Geography of Genius.

Sampai disini mungkin kita bertanya-tanya. Apa itu kreativitas? Apa itu genius? Weiner sendiri sebagai sang penulis berpendapat bahwa kreativitas adalah “respons terhadap lingkungan kita.”.

Dari segi bahasa, genius sendiri berasal dari bahasa Latin. Orang-orang Romawi menganggap genius sebagai sosok tak kasat mata yang terus mengikuti seseorang kemanapun dia pergi (dan omong-omong, lihat kedekatan antara definisi genius ini dengan kata dari bahasa Arab yang juga mirip, yaitu jinn).

Genius mengalami pengubahan makna pada abad ke-18. Makna terkini dalam kamus, seperti dikutip oleh Weiner, mendefinisikan genius sebagai:

“Kekuatan intelektual luar biasa, terutama seperti yang terwujud dalam aktivitas kreatif.”

Beberapa pemikir mencoba untuk melakukan kajian mengenai kegeniusan. Francis Galton, seorang ilmuwan Inggris, berpendapat bahwa genius bersifat herediter atau menurun secara genetik. Dengan kata lain, genius itu dilahirkan. Tetapi pandangan ini mengalami perubahan dan digantikan dengan pemahaman bahwa genius tidak melihat kepada sifat herediter genetik, tetapi dapat dibentuk. Itu berarti, semua orang berkesempatan untuk menjadi genius.

Faktanya adalah: kegeniusan itu berkumpul. Dalam artian, orang-orang genius berkumpul di satu tempat. Athena, Hangzhou, sampai Silicon Valley membuktikan itu. Orang-orang yang ada didalamnya berkumpul dan berkarya, menghadirkan zaman keemasan bagi tempat dimana mereka berkumpul.

Pertanyaannya adalah, mengapa? Mengapa mereka berkumpul di tempat tersebut?

Tempat-tempat tersebut memiliki pemicu. Lalu, apakah pemicu yang ada di Athena sama dengan tempat-tempat lain yang dikunjungi oleh Weiner dalam pencariannya? Ternyata tidak. Hangzhou melesat karena kedekatannya dengan alam, tradisi dengan teh, dan sistem ujian birokrasi yang efektif, Florence karena kekayaan uang dan patronasi, Edinburgh karena tanah dan sistem pembelajaran universitas yang berlangsung dua arah, Kolkata karena sosialisasi terbuka dan inseminasi (percampuran) antara pemikiran India dan Inggris, Wina karena apresiasi masyarakat, imigran dan kafe, serta Silicon Valley karena universitas dan juga gabungan motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang melingkupi banyak pegiat teknologi dan usaha startup disana.

Terlepas dari batas geografis dan waktu yang berjarak di antara mereka, ada garis besar yang berhasil Weiner tarik dari tempat-tempat tersebut. Menurutnya, tempat-tempat yang berhasil memancing kreativitas dan memunculkan kegeniusan adalah tempat-tempat yang ia sebut memiliki seperangkat karakter Tiga K: Kekacauan, Keragaman, dan Kebijaksanaan.

Apa maksudnya?

Kekacauan diperlukan untuk menciptakan perubahan dari status quo yang melingkupi. Keragaman diperlukan untuk menghubungkan berbagai titik-titik sudut pandang yang muncul dari berbagai latar belakang. Sementara Kebijaksanaan adalah yang melengkapi dua K sebelumnya.

Dibutuhkan kebijaksanaan untuk menangkap potensi dari kekacauan dan keragaman yang ada. Ironisnya, menurut Weiner, kebijaksanaan adalah bagian yang paling penting, tetapi paling diabaikan.

Pengabaian akan kebijaksanaan pulalah yang akhirnya menyebabkan tempat-tempat kreatif sulit untuk direka ulang di tempat yang berbeda. Inggris dan Dubai mencoba meniru Silicon Valley (Inggris dengan Thames Valley dan Dubai dengan Silicon Oasis) tetapi menurut Weiner, secara keseluruhan mereka telah gagal untuk membawa gairah kreatif dari Silicon Valley semata-mata karena mereka menganggap bahwa Silicon Valley hanyalah suatu formula yang bisa dengan mudah diduplikasi.

Cara kerja kreativitas tidak seperti itu.

Kreatif membutuhkan proses, atau dalam bahasa Weiner, suatu “pengeraman panjang” diantara friksi-friksi dan ketegangan yang ada dari tempat tersebut, dengan latar belakang tempat dan budaya yang juga berbeda dan beragam. Beberapa pihak tidak cukup bijak untuk memahami hal tersebut. Membangun dan memunculkan kegeniusan butuh proses, sementara beberapa pihak juga tidak cukup sabar untuk menjalani proses tersebut sehingga yang terjadi adalah sifat terburu-buru.

Apakah Weiner berhasil menjawab pertanyaan “mengapa” diatas? Ya, dipandang dalam beberapa hal.

Lalu sekarang, pertanyaan tersebut kembali kepada kita dalam bahasa yang berbeda. Bagaimana kita memandang kreativitas itu sendiri? Apakah kita masih memandang kreativitas dan kegeniusan sebagai suatu anugerah, sesuatu yang muncul dengan sendirinya karena pengaruh genetis, atau sesuatu yang sebenarnya bisa diusahakan dan diolah?

Bagaimana kita memunculkan kreativitas yang kita miliki? Kutipan Weiner ini mungkin bisa menjawabnya:

“Aku bisa mengerti mengapa orang Yunani Kuno sangat senang berjalan. Jalan kaki menenangkan pikiran tanpa benar-benar membungkamnya. Dengan volume yang dikecilkan, kita bisa mendengar diri sendiri lagi.”

Weiner menjawabnya dengan kembali kepada kebiasaan bangsa Yunani Kuno. Mendengar diri sendiri mampu memunculkan kebijaksanaan, sementara kebijaksanaan adalah barang yang paling dibutuhkan sekaligus paling diabaikan. Padahal apabila kita mau memikirkan, sebenarnya disanalah bibit dari sifat-sifat kreativitas dan kegeniusan muncul. Sejarah sudah membuktikan itu.

Sampul buku edisi Indonesia, diterbitkan oleh Penerbit Qanita (Mizan Group)

--

--

Reiza Harits
MauBaca.

Sebenernya pengen jadi arkeolog. But here I am, talking about books.