Mencari Arti Kebahagiaan — Resensi Buku “The Geography of Bliss” (Eric Weiner, 2011)

Fitriani Mutiara
MauBaca.
Published in
2 min readMar 5, 2021

“Hambatan lain di jalan menuju kebahagiaan: Berbeda orang berbeda pula definisi mereka tentang kebahagiaan. Gagasan Anda tentang kebahagiaan barangkali tidak sama dengan gagasan saya.”

Kebahagiaan. Suatu kerumitan sarat makna yang sulit dicari persamaannya pada setiap individu. Relativitas subyektif inilah yang menjadikan kebahagiaan sebuah topik rumit namun memiliki pesona tersendiri. Jika bertanya pada beberapa orang mengenai makna kebahagiaan, maka bisa dijamin tiap orang akan memberikan jawaban yang agak mirip atau bahkan berbeda jauh sekali. Namun tak pernah sama. Agaknya kebahagiaan bersifat individualistis. Melihat fenomena ini, berbekal moralitas kerdil, watak pemurung serta pengalaman jurnalistik, Eric Weiner memulai perjalanannya merumuskan kebahagiaan.

Weiner, selayaknya pemurung sejati menyatakan bahwa dirinya tak pernah bahagia. Setidaknya belum. Maka dia pun mengunjungi pakar ilmu pengetahuan kebahagiaan di Belanda, Ruut Veenhoven. Dalam benaknya Weiner cukup skeptis bagaimana mencari universalitas pada suatu hal yang dimaknai sebagai perasaan dapat diukur. Venhoveen pun menjawab bahwa tidak perlu mencari universalitas kebahagiaan, yang diperlukannya adalah sebagian orang perlu lebih bahagia dari lainnya, supaya Veenhoven dapat mengolah angka untuk mereduksi kebahagiaan menjadi lembaran data. Pembukaan pada negara pertama ini pun cukup mengejutkan, namun tak menghentikan Weiner untuk melanjutkan perjalanannya memahami kebahagiaan.

“Sederhana saja, ada lebih dari satu jalan menuju kebahagiaan.” — John Helliwell

Buku setebal 512 halaman ini sukses menggambarkan pengembaraan seorang penggerutu ulung mencari kebahagiaan. Di dalamnya pun beberapa kali pemahaman mengenai kebahagiaan tertantang untuk dikaji kembali, atau bahkan dirubah seluruhnya. Tiap negara dalam buku ini, yang dipisahkan per bab menjelaskan eksperimen nyentrik Weiner dalam meriset kebahagiaan di sepuluh negara yang memiliki kemiripan antara satu dan lainnya atau bahkan berbeda sekaligus. Berbagai pertanyaan pun bermunculan: Bagaimana Swiss dengan kebahagiaan kakunya dalam keteraturan lebih bahagia dari Moldova yang egois akan kebahagiaan? Bagaimana Islandia dimana kebahagiaan adalah kegagalan menduduki peringkat lebih tinggi dari Qatar yang kelimpahan minyak? Atau bagaimana Bhutan yang bukan negara kaya, berhasil menduduki peringkat tinggi dalam indeks kebahagiaan?

The Geography of Bliss berhasil memprovokasi pikiran pembaca dalam memaknai kebahagiaan. Kebhinekaan makna kebahagiaan pun berhasil dirayakan dengan ciri khas tersendiri pada masing-masing negara. Bahwa memang tidak ada universalitas kebahagiaan, yang ada hanya kebahagiaan relatif yang unik. Pada akhirnya berkenaan dengan pernyataan Henry Miller bahwa tempat tidak pernah menjadi tujuan seseorang, melainkan cara pandang baru. Dan dalam buku ini, Weiner berhasil menemukan kebahagiaannya sendiri.

--

--