Anak Bunga

Gaung
Gaung
Published in
2 min readDec 11, 2019

Karya: Andinti Putri K.

“Pernahkah terlintas di benak kalian, apa gunanya Bunga? Ditanam, diberi pupuk, disirami air, dan dirawat dengan baik. Lalu setelah Bunga itu tumbuh dan mekar apa yang terjadi? Hanya sebagai hiasan taman, atau bahkan bisa jadi dijual. Atau hanya sebagai penghias yang apabila sudah layu dibuanglah Bunga itu dan diganti dengan Bunga yang lain. Jadi, apa gunanya? -Selasa, 20 Oktober 1998-”

Itulah yang tertulis di halaman pertama sebuah buku harian usang yang aku temukan di loteng. Di sampulnya yang tergambar bunga beraneka warna dan bentuk, tertimbun debu yang ketika aku mengusapnya tanganku menjadi hitam.

Kubalik halaman itu hingga halaman ke lima.

“Semudah itukah Tukang kebun itu menjual Bunga yang sudah ia rawat dan sirami? Untuk membayar kembali apa yang sudah diterima? Tidakkah mereka merasa kehilangan Bunga? Hari ini pun Bunga tahu, Tukang Kebun itu tidak menyayangi dan mencintainya sepenuh hati. -Sabtu, 24 Oktober 1998-“

Aku memiringkan kepala dan mengerutkan alis, tanda bingung. Apa yang salah dengan tukang kebun yang menjual bunga? Mungkin mereka hanya ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari saja kan? Bahkan itu hal yang sangat wajar, dan banyak di luar sana yang menjual bunga.

Kubalik lagi beberapa halaman yang sudah tak kuhitung lagi banyaknya, mungkin belasan.

“Pembeli itu hanya menjadikan Bunga sebagai hiasan ruangannya, yang harus selalu terlihat cantik ketika ia datang. Ya, Pembeli itu memang merawat Bunga dengan baik. Selalu disiram dan diberi pupuk, namun tidak pernah diberikan sinar matahari yang cukup. Apa iya, Bunga itu akan tumbuh dengan baik? Tolong jangan berharap seperti itu. -Minggu, 8 November 1998-“

Aku tertawa kecil, siapa yang menanam bunga di dalam ruangan dan tidak diberi sinar matahari yang cukup. Aku yakin, pasti selama pelajaran biologi ia hanya tertidur.

Terlalu malas membaca halaman yang lain, Aku membuka halaman paling terakhir.

“Bunga itu menumbuhkan Tunas baru, tapi sayang ia mulai layu. Dengan kejam si Pembeli itu membuang bunga itu. Dengan terpaksa Bunga bertahan hidup mencari air dan pupuk, bersama si Tunas. -Kamis, 21 Januari 1999-“

Paling bawah terdapat tulisan lagi,

“Inikah nasibku? karena aku sebuah Bunga?”

Aku memiringkan kepala, lagi. Mengapa isi buku ini lama-kelamaan menjadi aneh? Seakan-akan bunga itu hidup seperti manusia, mempunyai perasaan sedih karena perlakuan tukang kebun yang menjualnya dan Pembeli yang membuangnya.

Tidak mau memikirkan lagi, aku pun turun dari loteng. Menuju meja makan yang sudah tertata rapi dengan berbagai lauk-pauk yang ada, tak lupa ada Mama yang sudah duduk menungguku di sisi meja yang kosong. Alis Mama berkerut melihat aku datang, kesal karena aku terlalu lama.

“Kamu habis dari mana Riska? Kok lama sekali."

Aku tersenyum melihat Mama yang cantik meskipun sudah berumur 49 tahun, tak heran kalau Mama mempunyai nama Bunga.

--

--

Gaung
Gaung
Editor for

Media Komunikasi dan Kreasi — Biro pers mahasiswa yang berada di bawah naungan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia FIB UI. Alamat surel: media.gaung@gmail.com.