Tujuh Hari

Gaung
Gaung
Published in
3 min readDec 16, 2019

Karya: Haura Zahidah

"Pernah mikir ga sih kenapa bumi itu bulat?"

Sudah ketiga kalinya aku dengar kalimat itu keluar dari mulut Re sejak 5 menit lalu. Mungkin karena dari awal ga aku gubris, makanya pertanyaan itu diulang terus sama Re kayak kaset rusak.

"Soalnya donat juga bulat, Re." jawabku akhirnya

"Lah, terus apa hubungannya, Na?"

"Ga ada, sih."

Kelihatan raut muka Re yang ga puas sama jawaban ngasalku, tapi dia ga protes. Re malah lanjut bengong ngeliatin anak TK yang lagi bubaran sekolah.

Siang ini kami duduk di bangku taman. Aku ngerjain tugas kuliah, Re bengong kayak ayam. Semua bermula dari panggilan telpon Re tadi pagi,

"Na, aku mau bicara."

Ga perlu dijelasin lebih lanjut pun aku tahu harus pergi ke mana. Pilihannya cuma dua, kalau ga di ruang tamu rumah Re, pasti di bangku taman biasa kami duduk. Berhubung selama seminggu terakhir aku ga pernah main ke rumah Re lagi sejak peristiwa itu, di sinilah kami sekarang, taman komplek.

"Na, kata Bunda sejak kecil aku emang banyak nanya. Aku penasaran kenapa langit berlapis-lapis, laut berwarna biru, awan bisa bergerak, manusia bisa bersiul kayak burung tapi burung ga bisa ngomong kayak manusia. Banyak, deh."

"Iya, Re."

"Terus kata Bunda tulis aja semua pertanyaan itu, seaneh apapun pertanyaannya. Nanti Bunda coba cari tahu jawabannya. Bunda emang sebaik itu, Na."

Aku tahu. Dari awal aku tahu niat Re ngajak ketemu, tapi aku berusaha ga mengungkit duluan. Aku mau Re sendiri yang mulai cerita, saat dia sudah siap.

Bunda Re meninggal seminggu lalu. Ga banyak yang berubah, bahkan Re ga menangis sama sekali hari itu. Padahal, Re tipe laki-laki yang ga tega kalau ngeliat kucing terlantar di jalan. Re bakal menangis kecil kalau ketemu pengemis yang kehujanan karena ga punya tempat berteduh yang layak. Re bahkan ga tega bunuh nyamuk. Katanya, buat apa juga?

Itulah kenapa Ayah Re merasa khawatir pas tahu Re cuma bisa menatap kosong mayat Bundanya hari Jumat lalu. Tanpa tangis, tanpa bicara apa-apa. Bahkan sampai detik ini.

"Na."

Aku menoleh ke kanan dan menunggu. Penasaran dengan pertanyaan konyol apa lagi yang bakal keluar dari mulutnya.

"Aku punya satu pertanyaan, tapi Bunda ga bakal bisa bantu jawab lagi. Kamu mau jawab pertanyaan ini, ga, Na, buatku?"

"Iya, Re?"

"Kenapa Bunda pergi, Na?"

Aku tersenyum. Kalimat itu yang kutunggu sejak seminggu lalu. Bukannya sisi Re yang memaksa tertawa di kampus, Re yang ga menangis, atau Re yang bertingkah seakan-akan semua baik-baik saja. Aku menunggu Re yang jujur seperti ini.

"Re, mau dengar aku?"

Re hanya mengangguk lemah. Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang ingin sekali kuucapkan sejak seminggu lalu.

"Na tahu Re sayang banget sama Bunda, melebihi rasa sayang Re kepada siapa pun. Tapi Tuhan lebih sayang sama Bunda, Re. Itulah kenapa Bunda dipanggil Tuhan.

Re, kamu harus tahu kalau Bunda ga pernah pergi. Bunda masih jagain Re dari atas sana. Bisa jadi, Bunda lagi berkelana di langit yang berlapis-lapis itu? Atau terbang bergerak bersama awan, sambil ngeliat Re di bawah sini. Re, kamu boleh kok, menangis. Ada Na kan, di sini? Re, orang hebat bukanlah orang yang ga menangis sama sekali. Orang hebat adalah mereka yang berani menangis dengan jujur, lalu bangkit dan menjadi pribadi yang jauh lebih kuat setelahnya."

Untuk pertama kalinya sejak seminggu terakhir aku melihat air mata Re menetes. Aku memeluknya pelan. Mengelus punggung Re yang naik turun di sela-sela isak tangisnya yang tersedu.

--

--

Gaung
Gaung
Editor for

Media Komunikasi dan Kreasi — Biro pers mahasiswa yang berada di bawah naungan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia FIB UI. Alamat surel: media.gaung@gmail.com.