Menguras Jiwa di Hari Raya

Abdul Hamid
Memoar
Published in
5 min readApr 21, 2023
Photo by Ahmad Odeh on Unsplash

Sejumlah motor berjejer di muka kios pangkas rambut, toko pakaian dipadati kaum tua-muda, kios bahan kue dipadati ibu-ibu. Permintaan busana muslim dan muslimah melonjak. Seandainya kamu bernasib sama dengan Ashabul Kahfi, tertidur di gua sekian tahun lalu terbangun dan melihat suasana ini, ingatlah bahwa ini merupakan pertanda Hari Raya Idul Fitri segera tiba.

Pada hari H, giliran masjid dapat kunjungan bejibun orang. Para muslim yang jarang ke mesjid pun akan hadir di waktu ini. Jamaah akan bertumpah ruah hingga ke halaman tempat ibadah. Pada waktu inilah kita akan merasakan kapasitas tempat ibadah di kampung halaman tidak selaras dengan jumlah jamaah. Dan ini hanya dirasakan saat itu saja, karena fans sholat ied lebih banyak ketimbang penggemar salat wajib lima waktu.

Setelah bubar salat ied para kaum muda akan bertamu, para orang tua akan sibuk menerima para tamu. Yang jarang kelihatan di kampung halaman akan saling bertemu.

Hendak memetik apa kita dari momen yang hanya setahun sekali ini, yang hanya akan dirasakan rata-rata puluhan kali saja? Tahun ini mungkin momen ke-27 bagi kamu yang berusia 27 atau 28 tahun. Ada juga yang sudah merasakan momen ke-70 dan pasti yang ini masuk ke dalam golongan orang sepuh.

Pada tiap momen ada perubahan yang dirasakan. Ada saat-saat menerima banyak angpau. Ada juga kalanya lebaran mesti memberi angpau. Tiap momen akan terasa siapa yang sudah absen dari Idul Fitri. Absen untuk selamanya atau karena tidak mudik. Entah itu sudara, kerabat, guru, kawan, atau tetangga, atau diri kita sendiri. Di antara kesempatan berjumpa Hari Raya itu, kita bisa merasakan “masa-masa kejayaan” lebaran yang tidak akan berulang. Waktu akan terus berjalan yang akan melahirkan corak lebaran yang khas.

Maka diam-diam kita tengah menyaksikan bagaimana dunia yang fana dan mudah oleng ini bekerja. Dulu ada nenek dari bapak hadir dalam kumpulan keluarga besar. Sekarang sudah tidak ada. Dulu masih ada uwa atau pakde/makde. Kini beliau sudah harus kita datangi pusaranya. Dulu tak punya keponakan, kini seisi rumah sudah ramai para bocil yang memanggil kita paman atau bibi.

Lebaran adalah momentum tahunan untuk pembersihan. Adalah isyarat untuk kita membersihkan jiwa setelah mengotorinya selama setahun terakhir. Sadar atau tidak, ada tindakan kita yang mengotori ruh atau nurani yang menuntun kita pada petunjuk Pencipta. Pernah melihat kolam kamar mandi yang tidak dikuras selama 12 bulan? Jika airnya diibaratkan jiwa, maka sekotor itulah diri kita.

Yang mengotori bisa saja rasa iri dan membuat hati kecil melahirkan kebencian pada teman sendiri, hanya karena asumsi bahwa hidup dia lebih mujur daripada kita. Padahal dia juga sama-sama sedang menderita karena iri pada kita. Kotor hati yang demikian dan lainnya bisa berimplikasi pada kesehatan mental juga tatanan sosial.

Hanya karena ingin sepatu yang lebih keren dari kawan, kita bisa saja mencomot uang proyek. Padahal itu uang pajak udunan rakyat. Apalagi jika keinginannya memiliki rumah mewah dan aset melimpah, tatanan keuangan negara pasti kian hancur.

Untunglah ada lebaran, bisa punya waktu untuk menguras diri karena di waktu biasa kita terlalu sibuk bekerja ambil proyek sana-sini, beli barang ini-itu, lalu saat lelah barulah menghabiskan uang untuk piknik ragawi.

Lebaran adalah panggilan untuk pulang khususon bagi para perantau. Kebahagiaan yang buburuh jauh dari keluarga adalah pada saat lebaran bisa pulang. Tentu keputusan ini tidak akan mudah bagi setiap orang. Berlimpah atau tidaknya uang tidak menentukan. Ini soal azam. Bagaimana keinginan kuat melampaui segala halangan dan keraguan.

Idul Fitri juga merupakan momen yang banyak mengajak kita bernostalgia dan merajut tali persaudaraan. Banyak kerabat yang berubah bentuk baik paras atau posturnya setelah sekian tahun tak berjumpa. Ruang-ruang bermain yang dulunya berdiri pohon sentul, jatake, bambu, dan kebun, kini sudah berganti rumah dan gang jalan untuk masuk sepeda motor.

Kita bisa melihat banyak perubahan saat mudik lebaran, melihat bagaimana rambut ibu dan bapak kian memutih.

Sudah selama inikah kita meninggalkan beliau hingga tak dapat mengawasi kehadiran ubannya? Hingga ada kesan, kok tiba-tiba kian memutih. Kok tiba-tiba kulit mereka jadi semakin tipis dagingnya, tulangnya kian lemah lalu kulitnya tak tampak sekencang dulu.

Meski sering meninggalkan orangtua tapi saat ditinggalkan mereka untuk selama-lamanya kita tak rela. Kita ingin mereka tetap muda, sehat, dan berada di tengah kita untuk makan bersama, piknik, dan lain-lain. Tetapi dunia terlalu fana untuk diharapkan seisinya jadi abadi.

Lantas apa yang hendak kita lakukan pada yang mortal ini? Membiarkannya sampai waktu yang ditentukan tiba atau merawatnya hingga menjadi memori yang abadi?

Seorang anak hakekatnya ada untuk melanjutkan kehidupan. Yang baik dari orangtua ditradisikan, yang tidak pas dengan kebutuhan zaman dimodifikasi. Paling tidak, pesan utama orangtua mana pun adalah agar anaknya merekatkan tali persaudaraan. Bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Dan sebaik-baiknya penguat silaturahmi adalah saling membantu.

Tapi ingat bahwa Idul Fitri bukan tentang diri kita dengan keluarga saja. Kerukuran dalam tali silaturahim sosial juga perlu diperhatikan. Tujuannya adalah untuk menciptakan kedamaian. Amalan ini bahkan disebut Buya Husein Muhammad yang mengutip sabda Nabi Muhammad Saw sebagai amalan yang paling top dibandingkan solat, puasa, dan zakat.

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ هی الْحَالِقَةُ

“Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang lebih utama nilainya daripada nilai shalat puasa dan sedekah (zakat)? Yaitu mendamaikan antar manusia, karena kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik antar mereka adalah kebinasaan/kehancuran agama”.

Tahun ini, 1444 H/2023 M tugas kita mendamaikan susasana sudah jelas. Tidak perlu pecah persaudaraan hanya karena hari Idul Fitrinya berbeda. Kita punya tujuan yang sama untuk meraih ridbo Allah hanya saja caranya yang berbeda.

Semoga kita bisa menguras hati biar melahirkan kedamaian jiwa dan pikiran seperti Gus Dur. Beliau tetap mengunjungi Soeharto meski pernah menyebut bahwa presiden RI ke-2 itu adalah musuhnya. Soal urusan politik dan kebijakan bisa saja baku hantam tapi soal hubungan antarpribadi diusahakan santai saja dan damai.

Dalam menyambungkan tali silaturahmi, kita bisa menggunakan banyak cara seperti mengucapkan salam, memberi hadiah, saling menolong, saling mendengarkan, berbicara bareng, bersikap ramah dan berbuat baik, dan berkunjung ke tempat tinggal orang yang dituju.

Terlalu banyak hal yang membuat kita lupa bahwa jiwa dan persaudaraan kita perlu dirawat. Maka sebisa mungkin mari kita kuras hati ini di Hari Raya dan tak lupa haha-hihi bersama.***

--

--