By the River Piedra I Sat Down and Wept — Paulo Coelho

Radian Lukman
memoradi
Published in
3 min readSep 13, 2020

By the River Piedra I Sat Down and Wept. Sedih banget nggak sih judulnya? Pertama kali yang ada di benakku setelah membaca judul ini hanya satu hal, yaitu: tragedi. Ternyata, nggak gitu juga sih.

Novel karya Paulo Coelho ini akan menjadi salah satu novel romance favoritku. Kok bisa? Oh tentu. Bagi yang belum tahu, Paulo Coelho identik dengan gaya bahasanya yang ringan, puitis, dan penuh kalimat-kalimat ampuh untuk refleksi diri. Alias quotable banget! Bisa dibilang juga bukunya kayak buku self-help dalam bentuk novel.

Dengan sudut pandang seorang wanita, novel ini seperti sebuah diary. Nah, di diary ini cuman ada 2 tokoh utama. Wanita yang nulis bernama Pilar dan seorang pria yang merupakan teman lamanya saat mereka masih kecil. Sebelas tahun berlalu, mereka dipertemukan kembali. Iya, 11 tahun!

Pilar sudah jenuh akan kisah cinta yang ending-nya gitu-gitu aja. Bahkan, dia tumbuh menjadi seorang wanita yang independen. Tapi siapa sih yang nggak goyah kalau cinta pertamanya tiba-tiba mau ketemuan. Ya jadi mereka bertemu.

Pas bertemu, rupanya, temen lamanya ini jadi pastur. Loh? Ya jadi bingung dong. Kalau dipikir-pikir, menjadi pastur itu kan komitmen yang luar biasa. Nggak sembarangan orang bisa yakin kalau ia mau membaktikan diri sepanjang hayatnya tanpa terikat oleh manusia lain alias pasangan.

Lalu, gimana dong? Aku rasa cukup ya sampai situ aja ya, sisanya dibaca sendiri! :P (biar nggak spoiler) Yang jelas, sudah pasti Pilar akan berpetualangan dengan teman lamanya. Juga, spiritual journey yang sangat bermakna baginya.

Cuman ada nih kutipan yang ngena banget hasil comot dari novelnya!

“Perhaps love makes us old before our time — or young, if youth has passed. But how can I not recall those moments?” — Hal. 2

Sering banget kejadian. Misal ABG tiba-tiba jadi bijak banget gara-gara cinta, atau bapak RT yang kasmaran ama janda sebelah terus caper layaknya anak baru gede. Ada lagunya loh: A-B-G Tua~

“And love can create or destroy — depending on the direction of the wind when it is set free.” — Hal. 52

Cinta bisa menciptakan berbagai hal macam semangat hidup, pandangan baru, dan lain sebagainya. Jangan lupa, cinta juga bisa menghancurkan! Kalau ini, nggak perlu dijelasin lebih lanjut lah ya kayaknya kita semua tahu kenapa.

Namun semua itu tergantung. Tidak semuanya bisa menciptakan yang baik, atau yang menghancurkan. Menurutku sih, ini semua tergantung ‘kebebasan’ dalam cintanya.

“One of the faces of God is the face of a woman.” — Hal. 60

Nah, ini salah satu yang menarik menurutku dalam novel ini. Jadi kan selama ini kita memandang Tuhan dalam sudut pandang maskulinitas. Alias, seperti seorang pria. Nah, di sini dikasihtau sama temen lamanya si Pilar, kalau Tuhan juga ada sisi femininnya. Seperti ibu. Ibu yang melindungi anak-anaknya, menjaga, perhatian, dan sebagainya kepada manusia.

*Itu sih katanya lho ya….

“It says that a city can be moved but not a well. It’s around the well that lovers find each other, satisfy their thirst, build their homes, and raise their children. But if one of them decides to leave, the well cannot go with them. Love remains there, abandoned — even though it is filled with the same pure water as before.” — Hal. 113

Menurutku, ini ngena banget. Ketika sepasang kekasih berpisah, cinta masih tertinggal disana. Karena cinta diibaratkan sebuah sumur yang menghidupkan sekitarnya. Dan sumur, tentu tidak dapat dibawa kemana-mana.

Jadi itulah ulasan ala-ala kadarnya. Bagi yang ingin baca, jangan ragu.. Bahasanya ringan dan cuman 180 halaman. Cocok untuk siapapun yang ingin mencari makna dari suatu hubungan atau yang mau berpetualangan dengan spiritualitasnya.

Bintang 5 deh untuk novel ini!

Paulo Coelho

“Waiting is painful. Forgetting is painful. But not knowing which to do is the worst kind of suffering.” — Paulo Coelho

--

--

Radian Lukman
memoradi
Editor for

Data Enthusiast | Bachelor of Statistics from Diponegoro University