Dia yang Gila Atau Aku?

Radian Lukman
memoradi
Published in
3 min readJul 20, 2020

Ia terus diam. Entah badai apa yang habis diterjang si suami sampai-sampai bosan bercerita. Istrinya pun penasaran. Apa masalah kerja, gaji, atau..wanita lain? Namun tidak. Takkan dibiarkan dirinya larut dalam dugaan sesat berlandaskan firasat.

Harum teh jasmine tercium hingga depan teras, tempat si suami duduk sambil membaca koran. Nampaknya, istri sedang membuat teh untuk mereka berdua.

Diantarnya satu teko serta dua cangkir yang terbuat dari tanah liat ke depan teras rumah. Ia letakkan cangkir di meja, dituanginya satu-satu, lalu duduk.

“Pagi, Mas. Diminum tehnya,”

“Pagi, sayang. Terima kasih,” jawab suami tersenyum.

Suami menyeruput teh perlahan sambil membolak-balikkan koran langganannya. Bola matanya terlihat ke kiri-ke kanan-ke kiri-ke kanan, berulang kali. Sepertinya, ia seorang pembaca cepat.

“Teh buatanmu memang paling enak!”

Istri lantas tersenyum girang. Namun ia kembali cemberut ketika melihat suaminya terdiam. Diperhatikannya lama, lima menit, sepuluh menit, hingga satu jam lewat! Ia tetap terdiam seperti tidak ada orang sama sekali disampingnya.

“Mas, dari kemarin aku melihatmu diam saja. Cerita dong,”

Suami meliriknya tawar.

“Tidak. Tidak ada apa-apa,”

“Masa tidak ada apa-apa! Mas selama dinas memangnya gitu-gitu aja?”

“Ya memang gitu-gitu aja. Lagi juga, aku tidak bisa bercerita denganmu,”

Istri terkejut mendengar jawaban itu.

“Kenapa tidak bisa? Kan bisa diusahakan,”

“Tidak, aku tidak bisa. Kita berbeda,”

“Kan masih bisa dicoba,”

“Begini, aku diam karena ingin mencegah suatu keributan. Aku tidak suka pertikaian, sayang. Sudah berapa tahun aku sadar kita ini berbeda. Aku hanya ingin kita hidup tenteram. Maka dari itu, aku diam saja,”

“Kenapa kamu begitu yakin kalau kita tidak bisa saling berbicara?”

“Ya karena tiap aku bercerita kamu pasti selalu mengalihkan dengan kehidupanmu sendiri! Kalau kamu pernah merasa lebih menderita dari aku, kalau kamu kenal seseorang yang pernah lebih apes, begitu terus! Lalu apa guna?”

Istrinya terdiam. Melihat suaminya ngos-ngosan ketika mengucap kalimat itu. Namun ia belumlah menyerah, ia masih memaksa suaminya bercerita.

“Coba lah dikeluarkan. Tak baik disimpan seorang diri, tidak sehat,”

“Ya memang, mau gimana lagi?”

“Jangan dong, nanti sakit,”

“Kalau sampai mati pun nampaknya aku terima saja,”

“Maksudmu apa berbicara seperti itu? Kamu sedang stress! Dikira dirimu sendiri yang capek? Aku disini jaga rumah, cuci baju-baju busukmu itu, sambil menunggumu pulang. Dan kamu, disini, merasa yang paling lelah? Hingga ingin mati saja? Itu yang kamu mau?”

Suami melipat koran lalu melemparnya ke lantai.

“Lihat, ini yang aku khawatirkan. Pada akhirnya hanya dirimu seorang diri! Apa perlu aku ikut mengasihani diri seperti itu? Sudah kubilang, aku tidak ingin berbicara saat ini, titik! Toh kalau aku emang lagi ingin ya aku bicara, jangan dipaksa!”

Kepala suami nyut-nyutan dibuatnya. Sepertinya ingin meledak kepalanya! Ia membayangi dirinya hancur berkeping-keping setelah letupan dahsyat dari dalam kepalanya. Sayangnya, ia hanya bisa menekan sisi kepalanya yang sakit itu sambil menggigit gigi sendiri.

Istri pun ikut terdiam semenjak suami diam. Mereka sedang diam, sunyi, sepi. Mungkin ini yang disebut: kedamaian.

Tiba-tiba, terdengar suara telpon dari dalam rumah. Istri masuk ke rumah dan mengangkat telpon itu.

“Halo, Devi! Oh, iya, masa? Hahahahah,” terdengar dari dalam rumah.

Suami tak habis pikir, bagaimana bisa habis ribut seperti itu ia dapat menjawab telpon dari seorang teman dan tertawa seriang-riangnya. Bagaimana bisa ia tinggalkan dirinya begitu saja dengan rasa sakit kepala yang amat perihnya.

Ia masih duduk, tertunduk, menjambak rambut lurusnya, sambil menggumam.

“Dia yang gila atau aku?”

--

--

Radian Lukman
memoradi
Editor for

Data Enthusiast | Bachelor of Statistics from Diponegoro University