Dingin —

Radian Lukman
memoradi
Published in
2 min readSep 14, 2020

Mungkin malam ini nyatanya tidak sedingin yang ia rasa. Tiada angin ataupun hujan menerpa, tetap saja, ia sedang menggigil. Entah dia yang melebih-lebihkan makna kedinginan atau memang malam ini sedikit berbeda.

Sapa satu dua kata kepadamu sangat aku rindukan. Sekadar tahu kabarmu dan orang-orang di sekitarmu. Setidaknya itu yang hanya bisa kutanya. Jawaban singkat tentang keadaan hidup. Hidup yang terjebak dalam ketidakpastian ini,” ucapnya sendiri di dalam kamarnya.

Dia mengetuk-ngetuk jari di samping telpon genggamnya. Ia berpikir untuk menelponnya. Saat hendak menekan tombol itu, ia terbujur kaku.

Oh, tidak. Aku baru ingat, kamu sudah bukan milikku. Entah dimana harga diri ini mengganggu wanita yang sudah memiliki pria lain. Aku tidak seperti dia,

Rasa gelisah menyelimuti dia seorang diri di dalam lembah dingin ini. Berlindung di balik tiang-tiang tanah yang perlahan terkikis angin lalu beterbangan. Tanah itu menempel di sekujur tubuhnya, bahkan mencoba menenggelamkan dia ke dalam bumi. Ia tak peduli! Karena ia malu.

Aku malu tiap kali kuceritakan bagaimana aku merindukanmu di saat-saat seperti ini, terlihat seperti manusia bodoh. Manusia yang tidak dapat merelakan masa lalunya dan mencoba melupakannya. Karena itu, aku sudah bosan bercerita tentang perasaanku kepada siapapun,

Masa lalu tidak dapat ia lupakan. Ia hanya ingin berdamai dengannya, dengan ‘kawan lama’. Ia duga, kawan lamanya itu sudah bahagia sekarang, setidaknya nampak bahagia. Sedangkan dia? Masih suka berbicara sendiri seperti ini.

Namun kadang, suatu malam, ia merasa ada sesuatu yang aneh.
Suatu malam itu muncul di saat-saat yang tak terduga. Malam itu jari kaki akan terasa dingin sampai ke ujung telinga. Membuat mata yang sudah berat namun tak kunjung tertutup. Mulut terbuka, dan hanya satu kata yang bisa ia ucap:

“………….Dingin.”

--

--

Radian Lukman
memoradi
Editor for

Data Enthusiast | Bachelor of Statistics from Diponegoro University