Maaf yang Tak Kunjung Datang

Radian Lukman
memoradi
Published in
3 min readJul 19, 2020

“Pernahkah kamu menunggu maaf yang tak kunjung datang?” tanya seorang pemuda berpakaian gelap.

‎‎“Maksudmu, maaf yang seperti apa?” bapak tua tanya balik.

‎‎“Maaf yang berhak didapatkan meski kesalahanya ada pada dirimu,” jawab pemuda itu sambil berdiri, tersenyum.

Bapak tua itu hanya mengelus kumis tipis berwarna abu-abu sambil melihatnya berjalan pergi. Pertanyaan itu membuat dirinya termenung. Apakah ada maaf yang tak kunjung datang untuk dirinya? Ia merasa tua untuk memusingkan kesalahan-kesalahan di masa lalu. Ia sudah tua untuk memutar otak ke atas dan bawah untuk melahap pertanyaan itu. Saat ini, ia hanya ingin menikmati pemandangan danau tiap sore hari, tak lebih.

Rumah demi rumah di bawah langit jingga dilewatinya. Angin menerpa wajahnya tiap kali motor melaju terlalu cepat. Tiap sudut jalan tersimpan kenangan tersendiri, pikir pemuda itu. Ia hanya menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya bersamaan angin sore.

Diparkirnya motor di depan kamar sewaan, semacam kost. Memasuki kamar, ia langsung ganti pakaian, lalu melihat cermin. Cukup lama waktu ia habiskan di depan cermin, berdiam diri. Hanya suara tik-tak dari jam dinding membantu mengusir sepi di kamar pemuda itu. Lelah berdiri, ia pun tertidur di kasurnya.

Tepat jam empat sore keesokan harinya, ia kembali memakai pakaian serba hitam, jam tangan retak, dan sepatu boots hitam. Di jalan yang sama, rumah demi rumah serta deretan toko yang sama pula ia lewati. Mulai tercium wangi rumput lembab, motornya bergetar melewati aspal retak. Ia sebentar lagi sampai.

Terlihat bapak tua kemarin terduduk di tempat yang sama, ia duduk di sampingnya.

Tiap awal pertemuan, tak sepatah kata pun terucap dari kedua mulut. Hanya dua pasang mata yang menatap ke arah yang sama, yaitu: danau. Dengan seluruh ketenteraman air melekat pada mereka berdua. Setelah kenyang memakan sunyi, barulah satu dari mereka memulai percakapan.

“Aku masih heran dengan pertanyaanmu kemarin,”

“Percayalah, bahkan aku sendiri bingung,” ujar pemuda itu sambil tersenyum aneh.

Bingungnya semakin menjadi-jadi! Bapak tua melotot tajam ke pemuda. Setajam kenyataan yang pernah menusuk dirinya dahulu dan dibiarkan menua hingga kini.

“Jadi kemarin kamu bercanda?”

“Tidak juga. Aku hanya menunggu kata maaf selama ini dari seseorang. Sudah berapa bulan, atau tahun?” jawabnya sambil mengintip jam tangan retak miliknya.

Bapak tua nampak mengerti penjelasan dari pemuda. Ia malah ikut tertular emosi sedang dirasakan oleh pemuda, yaitu: kesedihan. Ia juga melirik jam tangan retak pemuda, dan berusaha mengganti topik pembicaraan.

“Jam tangan itu pasti sangat bermakna bagimu. Sudah retak, masih saja dipakai.”

“Bapak tahu, ada dua orang, yang pakai jam tangan dan yang tidak. Ketika seseorang memutuskan untuk memakai jam tangan, dipakai selama bertahun-tahun, tiba-tiba hilang entah dicuri orang, atau ditelan bumi, apa yang akan ia rasa?”

“Tentu ia akan sedih merasa kehilangan,”

Tak bosan-bosannya pemuda itu tersenyum.

“Jelas, ia merasa kehilangan. Sesuatu yang berguna, selalu ada di dekatnya, hilang begitu saja. Ia akan mencari pengganti. Pada akhirnya, tak peduli jam tangan mahal atau murah, baru atau dulu, akan dipakainya agar merasa normal.”

Bapak tua melirik sebentar ke pemuda, lalu kembali menonton aliran air tawar di danau.

“Lalu, apa ada hubungannya dengan kamu yang sedang menunggu maaf yang tak kunjung datang?”

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. “Bapak masih penasaran sama yang itu?”

“Tentu,” ucapnya yakin.

Pemuda itu berdiri sambil merapihkan jaket hitamnya. Dipegangnya erat pergelangan tangannya sendiri di belakang.

“Maaf yang tak kunjung datang. Mungkin memang aku yang harus meminta maaf, namun itu sudah kulakukan ribuan kali. Aku berhenti meminta maaf tepat ketika mengetahui ternyata ini bukan salahku saja.”

Bapak tua itu kembali melihat pemuda berjalan pergi setelah mengucapkan kalimat tadi. Ia biarkan memori puluhan tahun yang lalu menyambar ingatannya. Ingatan yang sudah tua, di jiwa yang kuat, raga yang rapuh.

Bapak tua itu pun pulang, disambut istri tercintanya. Ia mencium keningnya dan memeluknya lama. Istrinya pun bingung, entah apa yang membuat suaminya seakan habis disiksa rindu. Bapak tua itupun melepaskan pelukannya, menatapnya lembut, dan mengucapkan satu pertanyaan.

“Pernahkah kamu menunggu maaf yang tak kunjung datang?”

--

--

Radian Lukman
memoradi
Editor for

Data Enthusiast | Bachelor of Statistics from Diponegoro University