Separuh Windu

Radian Lukman
memoradi
Published in
2 min readJul 25, 2020

Entah bunyi apa itu, pikirnya. Tak menunggu lama, ia berdiri dan melihat bayangan hitam di balik gorden. Ia duga, seseorang sedang berdiri di depan pagar. Ia mengintip di celah jendela, menarik napas, lalu membukanya dengan cukup kesal.

“Mau apa lagi kamu kesini?”

“Aku hanya ingin melihatmu, Def. Entah kapan terakhir kali aku lihat wajah manismu ini,” rayu seorang pria.

“Winduuu, Windu. Kamu memang belum berubah. Sudah berapa wanita yang kau pikat dengan rayuan indahmu itu?”

Windu terdiam, menunduk memegang pagar. Di tangannya terasa sesuatu yang kasar. Karat yang melekat di pagar itu ia perhatikan dengan tatapan tawar. Karat itu mengingatkannya akan suatu hal yang merusak asmara mereka, yaitu: keraguan. Hal yang menggerogoti tiap hubungan sampai hampa lalu bertanya:

“Apa ia pantas untuk diriku?”

Defrina berjalan mendekati pagar sambil menyilangkan lengannya.

"Def, aku merindukanmu. Kuhanya ingin kembali lagi bersamamu jalani hari,"

Defrina kesal, ia hanya melotot lama.

"Tidak bisa, aku sudah ada pacar," ucap Defrina.

"Ya aku tahu. Namun ingatlah, aku akan selalu ada disini untukmu,"

"Tidak, aku tidak pantas mendapatkan itu. Aku sudah bahagia sekarang, lebih bahagia dibandingkan tahun-tahun bersamamu," Defrina membalas dengan separuh senyum yang dibuat-buat.

Windu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Seperti sengaja melangkahkan ke jurang, ia tau akan kenyataan itu. Ia siap disingkirkan oleh sosok lain. Hanya saja, ia tidak siap akan jawaban yang keluar dari mulutnya. Mulut yang sempat ia puja. Mulut yang dulunya mengeluarkan kata-kata indah. Namun sekarang, ketus.

"Baik kalau begitu," Windu melepaskan jemari yang sempat menggenggam erat pagar.

Lanjut berjalan, meninggalkan Defrina yang sempat membuatnya bahagia. Bahagia? Apalah itu? Apa guna mencari kebahagiaan terus menerus kalau pada akhirnya terjebak dalam ketidakpuasan. Apa ia harus bahagia karena Defrina sudah bahagia? Atau ia harus memaksa membahagiakan diri meski ia sendiri tidak tahu apa itu "kebahagiaan" secara prinsip?

Ia ingat dulu tujuan hidupnya adalah: bahagia. Dan bisa saja dirasakan kebahagiaan itu dengan mantan kekasihnya, Defrina. Jadi, secara tidak langsung, tujuan hidupnya adalah seseorang dalam hidupnya.

Kini, seseorang itu sudah tidak mau ada di hidupnya. Bukan Defrina lagi tujuan ia bernapas, melainkan tenggelam di tanah ditutupi peti. Peti yang terbuat dari kayu jati sekeras kepalanya sendiri. Sekokoh keinginan untuk bisa bersamanya. Sedingin air yang mengalir di sela-sela kerak peti.

Ia sedang disiram air beraroma mawar, dijenguk pakaian serba hitam.

--

--

Radian Lukman
memoradi
Editor for

Data Enthusiast | Bachelor of Statistics from Diponegoro University