belanja terus sampai mati

magfira
Menuju Desember
Published in
6 min readDec 3, 2014

--

dua belas dari dua belas kisah.

Kantong pertama: buku

Jika ia ditakdirkan sendirian di Bumi, biarlah ia menyelami lautan bersama fiksinya karakter .

Kantong kedua: pisau dapur

Akan ia gunakan pisau itu untuk memotong ikan dan ayam. Membuat makanan lezat dari bahan-bahan lazim yang menggugah selera masyarakat. Mungkin ia bakal mendirikan restoran di antara dua gedung pencakar langit sebagai solusi dari keluhan perut para karyawan. Mendapatkan uang dari orang-orang asing yang dompetnya jelas penuh dengan kartu kredit dan foto selingkuhan. Tak perlu menengadahkan uang pada suami yang suka kelayapan di tengah malam untuk memuaskan candu akan lekuk tubuh wanita dan alkohol.

Akan ia gunakan pisau itu untuk membangun kembali rezekinya — setelah memutus hubungan sehidup semati dengan yang disebut kekasih abadi.

Kantong ketiga: kamera

Kamera lamanya rusak karena ada artis yang membantingnya ke tanah, mengira bahwa dia akan melaporkannya pada polisi menggunakan foto yang menampakkan tinju sang arti mendarat di wajah orang lain. Padahal ia bukanlah paparazzi yang suka membuntuti selebritis demi drama tak signifikan. Ia cuma fotografer jalanan yang suka melangkah di tengah gegap gempita masyarakat.

Ia bersyukur saja setelah artis itu meminta maaf dan memberi uang ganti rugi sekaligus ucapan terima kasih bahwa ia takkan mengadukannya ke polisi. Ia pun membeli kamera baru yang kecanggihannya ekuivalen dengan uang yang ia punya.

Di dinding rumahnya penuh dengan foto orang yang tak dikenal. Seorang wanita berambut pirang yang anggun berjalan menyusuri lorong yang menjadi jarak antarrumah beratap seng. Seorang pria botak plontos memberikan doa pada tiang listrik, bunga bakung di depan kakinya. Seorang anak yang menari sendirian di atas kotak pasir.

Ini adalah pengingat bahwa ada orang yang hidupnya sama-sama luar biasa dalam kenormalannya. Tak ada absurditas dalam siklus alam. Bahkan kiamat adalah konsep yang terlalu sering dilebih-lebihkan, padahal aslinya akan sesederhana senja menghilang ke balik gelombang laut. Hanya saja kata “selamanya” adalah diksi yang menggoyahkan nurani manusia dalam mengambil keputusan.

Ia mengangkat kameranya, menemukan pantulan dirinya dan kameranya di cermin dalam lensa: tanda betapa normalnya dirinya saat ini. Tanpa beban. Tanpa masalah. Tanpa kebahagiaan yang berarti.

Hampa hidupnya ditumbal dengan potret rapuhnya cucu Adam.

Kantong keempat: post-it note

Siapa saja yang berkunjung ke apartemennya akan menemukan post-it note beragam warna tertempel hampir di seluruh bidang datar yang ada dalam kediaman untuk satu orang itu.

Di kulkas ada daftar belanja dan kutipan tentang lezatnya kopi yang menggugah imajinasi. Di sudut televisi ada nama-nama film yang akan dinonton jika Hari Film yang diselenggarakan tiap Jumat malam datang. Di dalam buku-buku terselip catatan poin per poin mengenai adisi materi yang tak tertera dalam buku tersebut. Di atas mesin cuci ada post-it note yang terancam jatuh apabila dihempas angin sekali lagi, di permukaannya ada kalimat pengingat untuk mencuci baju dan tak lupa menjemurnya. Tertempel pula di pagar balkon, kuning di atas hitam, yang bergantung pada cahaya temaram lampu agar kalimat JANGAN BERANI BUNUH DIRI terbaca oleh sang penghuni rumah.

“Kamu yang pasang ini?” tanya sahabat sang penghuni setelah membaca post it-note itu.

“Iya, aku yang pasang,” jawab sang penghuni. Ia menggigit apelnya. “Jaga-jaga kalau aku lagi depresi.”

“Kenapa?” tanya sahabatnya lagi.

“Takutnya kerasukan hantu yang tinggal di rumah ini.” Tangannya mengusap kulit apel yang belum dilumat gigi. “Dia dulu melompat dari balkon. Katanya dia stres setelah tahu calon suaminya itu gay dan keluarga besarnya, yah, mencemooh dia karena salah pilih. Aku masih menyimpan lipstiknya di kamarku.”

“Kau tidak takut dihantui?”

“Tidak. Aku cuma takut mati dengan cara yang sama,” katanya, melirik cincin emas putih di jari manis kanan. Cantik sekali. Seakan cincin itu diciptakan untuk menangkap cahaya. “Semoga calon suamiku tidak gay.

Kantong kelima: nasi kuning, dua botol air mineral, lima bungkus camilan

Demi Tuhan, di antara tumpukan buku tebal dan dokumen skripsi yang tak disentuh, ia lapar sekali.

Kantong keenam: bunga bakung

Sang perempuan pernah berkata pada sang astronot, “Aku tidak bisa berkomitmen padamu jika kau mengawinkan hatimu pada luar angkasa.”

“Maafkan aku,” balasnya, kepala tertunduk dan jari-jemari memainkan ujung selimut. Pucuk-pucuk rambutnya mencuat dan jika sang perempuan ingin menuangkan perhatiannya pada hal lain selain jalur nadi di pergelangan tangan sang astronot, mungkin perempuan itu dapat menghubungkan tiap ujung rambut menjadi konstelasi Cassiopeia. Sayang ia lebih mengerti tentang sakit hati. “Aku cinta kamu.”

“Aku tahu,” balas sang perempuan, mengusap wajahnya berkali-kali. “Aku tahu kamu mencintaiku, tapi kamu lebih cinta pada ruang hampa di luar sana.”

“Ya,” kata sang astronot, menghela napas panjang. Putus asa. Supernova yang meledak diam-diam. “Memang begitu.”

Sang astronot pun pergi dari apartemennya. Menjauh dan menjauh dari planet kediaman manusia. Duduk di kursi yang dipersiapkan para teknisi untuknya. Tak memandang ke hamparan rumput yang terbentang luas di depannya karena kelam ada di seberang birunya langit — hitam yang mengakhiri jalur pandangnya setelah memandang percikan bunga api.

Roket gagal meluncur ke seberang gerbang atmosfer. Sang astronot yang bermimpi menggenggam kekosongan di luar Bumi malah terpecah-belah menjadi ketiadaan di planetnya sendiri.

Setelah menonton berita, sang perempuan menyempatkan diri untuk membeli bunga bakung. Ia takkan pergi ke makam sang astronot karena di sana hanyalah abu. Layaknya orang yang ia cintai adalah pasir di pantai yang kerap diinjak atau diromantisasi. Ia malah pergi ke apartemennya, tempat ia berpisah dengan astronot itu dahulu kala. Menghempaskan dirinya ke atas tempat tidur didampingi oleh buket bunga bakung yang aduhai indahnya. Tertidur.

Menangis.

Kantong ketujuh: kipas angin

Si anak terlalu lelah mengipasi ayahnya yang sudah terkapar di tempat tidur empat bulan lebih. Tangannya keram, tulang-tulangnya lelah. Bosan ia menatap siluet-siluet anak-anak lain melewati pintu rumahnya yang kerap terbuka. Di tangan mereka ada berbagai mainan yang tak pernah dimilikinya: layang-layang, gasing, mobil-mobilan.

Ia pun mengumpulkan uang untuk membeli kipas angin. Meminjam bayi milik tetangga, menjanjikan jatah setengah dari seluruh uang yang nanti didapat, lalu melanglang ke sisi mobil, memohon-mohon pada para pengemudi untuk memberikan uang kepadanya. Ia bahkan menyelipkan niat murninya untuk membeli kipas angin demi kepentingan ayah.

Kadang-kadang ia beruntung. Bisa dapat lima puluh ribu semalam. Kadang juga tidak. Ia dapat dua puluh lima ribu dan harus bagi dua dengan ibunya bayi yang ia gendong tiap malam untuk mengundang simpati. Sisanya terpaksa ia pakai untuk memenuhi dua perut keroncongan.

Setelah merasa cukup, ia pun membawa uangnya: recehan di kantong celana dan uang kertas di kantong kemeja. Ia pergi ke tukang loak, menukar seluruh uangnya dengan kipas angin paling murah dan paling reyot. Si anak bergembira saja, merangkul kipas angin itu di depan dada. Tak pernah melepaskannya. Bahkan ia sempat memamerkan baling-baling sekusam langit mendung pada anak-anak yang mempunyai layang-layang dan gasing.

Tapi, dibutakan oleh kelelahan dan kebahagiaan yang singkat, sadarlah ia bahwa selama ini ia dan ayahnya cuma bergantung pada lilin-lilin yang habis di pergantian hari.

Kantong kedelapan: lemari

Gaun pesta. Gaun musim panas. Lingerie. Brassiere. Tas pesta. Blazer. Mantel sepanjang lutut. Syal berbulu neon. Variasi wig-wig. Manik-manik dan renda bertaburan menangkap cahaya. Sekumpulan peralatan kosmetik dengan merek dan warna beragam.

Tersembunyi di sudut rahasia yang ditutupi oleh seragam polisi, jersey, boxer, pencukur janggut.

Kantong kesembilan: meja rias

Ada orang tua yang membeli meja rias tanpa memberi dekorasi botol pembersih muka dan penghancur muka di atasnya. Ia menyuruh anaknya menaruh kursi goyang di depan cermin karena ia ingin bersantai, menyerahkan bebannya pada alunan pelan yang terkadang membawanya ke alam mimpi, seraya menatap pantulan wajahnya dengan seutuh-utuhnya.

“Nak, apa kamu suka dengan wajahku saat ini?”

“Suka.”

“Kamu suka garis yang menghiasi wajahku ini?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Itu pengingat kalau Ibu sudah tua.”

“Kamu pikir dengan adanya kerut-merut di wajah ini — garis-garis tegas di wajah berkeriput ini — ini saatnya Ibu mau menghadap ke Tuhan, ya?”

“Iya.”

“Ibu suka dengan wajah tua ini.”

“Kenapa?”

“Kamu jadi lebih peduli sama keadaan Ibu.”

Kantong kesepuluh: kacamata

Sekarang ia dapat menyaksikan jauh lebih jelas rupa wajah cowok-cowok ganteng, cewek-cewek cantik, dan kesalahan-kesalahan mereka pada Tuhan.

Kantong kesebelas: tak ada

Uangnya tak cukup untuk membeli gaun krim pastel bertaburkan batu-batu bersinau yang akan membuatnya menjadi wanita pengidap kanker paling cantik sedunia. Mungkin ia sepatutnya tetap memugar diri dengan baju rumah sakit dan selang di lubang hidungnya dan wig cokelat begelombang. Mungkin ia sepatutnya menarik uangnya untuk membuat kain kafan yang kelak menjadi gaun pestanya di bawah tanah.

Tapi terkadang ia bertanya pada televisi, pada rona-rona di pipi para wanita yang terkurung dalam layarnya: bersediakah gelar ratu dunia disematkan pada nama orang sakit?

Kantong kedua belas : lukisan tentang interpretasi seniman tentang malaikat

“Kok gambarnya cuma putih doang?”

--

--

magfira
Menuju Desember

an indonesian lost in this certain intersection of foreign cultures.