Bagaimana Patriarki Menghancurkan Hubungan Kita dengan Alam?
Oleh: Perdana Putri
Di saat banyak perempuan seperti Mama Yosepha, Mama Aleta Baun, (Alm) Yu Patmi, dan Yu Sukinah berusaha untuk mempertahankan ruang hidupnya hingga bertaruh nyawa, kita melihat dunia yang semakin di ambang batas dan krisis sosial-ekologis yang semakin nyata. Ketika para perempuan-perempuan yang menyatu dengan tanah tersebut secara radikal terus memaksa kita berpikir ulang mengenai pembangunan, kita melihat semakin naiknya arogansi jargon-jargon kemajuan. Sebenarnya apa yang terjadi dalam rezim haus tanah-penghancur lingkungan ini?
“Di mata saya tidak ada anak emas, juga tidak ada anak yang tidak saya senangi. Tidak ada. Semua mereka itu, dalam tugas dan bidangnya masing-masing, mempunyai kepercayaan yang sama dari saya. Semuanya pembantu-pembantu dekat saya sesuai dengan bidangnya masing-masing.”
(Soeharto dalam Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, dikutip dari Saya Sasaki Shirasi, 1997: 1).
Dalam pola pikir Orde Baru, seperti dikutip oleh omongan Jendral asal Kemusuk di atas, negara adalah sebuah keluarga patriarkis di mana ‘ayah yang tegas’ memimpin ‘anak-anaknya yang kadang penurut dan kadang bandel’. Sehingga ketika ‘anak-anak bandel’ ini mulai membuat si ‘Bapak’ meradang, maka ia memiliki legitimasi untuk ‘mendisiplinkan’ si anak. Orde Baru boleh berganti dan Soeharto sudah menghadap sang khalik, tapi apa daya pola pikir patriarki dan keluarga heteronormatif-otoritatif seperti ini sejatinya jauh lebih tua ketimbang rezim pembangunan.
“Anak-anak yang bandel” tersebut hari ini adalah Yu Sukinah ‘yang menolak pembangunan dan hidup maju ala orang-orang kota (unch unch, keren banget yaa jadi orang kota)’ hingga repot-repot sudi menyemen kaki maupun meneriakkan doa ‘menanam adalah melawan’ seperti para petani Kulon Progo. Mereka adalah para masyarakat Kampung Pulo yang dituduh tinggal di ‘kawasan kumuh’ pinggir sungai sehingga menjadi alasan tunggal mengapa Jakarta banjir terus menerus. ‘Bandel’nya si ‘anak’ di sini adalah bentuk pembangkangan paling paripurna dalam struktur keluarga. Sehingga, hubungan otoritatif menemukan justifikasinya di sini. Sebab, anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa sehingga ia harus terus mendengarkan dan menuruti semua masukan orangtuanya terlepas ia barangkali tidak mau/suka dengan arahan tersebut (Shiraishi, 1997: 110–113).
Setidaknya dasar-dasar filsafat pun turut mengiyakan pandangan ‘patriarki’ di atas. Aristoteles dalam Politics dengan lempengnya mengatakan bahwa laki-lakilah yang sanggup membangun sebuah tatanan politik ‘ideal’ di keluarga maupun masyarakat (Bookchin, 1982: 111). Laki-laki di sini adalah laki-laki kaum penguasa, dan sabda Aristoteles ini kemudian dapat dilihat dengan mulainya perbudakan dan dikeluarkannya perempuan dalam proses pengambilan keputusan di polis-polis mereka.
Namun paradigma pembangunan dan kepengaturan yang patriarkis ini tidak hanya masalah identitas ‘bapak’ maupun laki-laki yang dianggap tubuh sempurna identitas maskulin. Patriarki-kapitalisme berhasil merasionalisasikan model keluarga dan menjalankan negara yang demikian ini dengan tujuan apapun selain menyejahterakan masyarakat maupun memberi pilihan-pilihan untuk mempertahankan ruang hidup mereka baik untuk kolektifnya maupun untuk diri sendiri. Melihat keruwetan pola pikir mengenai pembangunan patriarkis di atas, ia juga bukan hanya persoalan bagaimana perempuan ataupun identitas lain seperti LGBTQIA tidak masuk dalam rencana-rencana pembangunan.
Pembangunan patriarki memiliki banyak karakter. Ia disimbolkan dalam kekuasaan yang terpusat, relasi kuasa yang tak seimbang antara para pemangku kepentingan. Dalam relasi kuasa yang timpang, selalu ada perampasan akan sumber daya oleh pihak yang memiliki mekanisme kekuasaan lebih besar. Petani bisa saja memiliki lahan, tapi bukan berarti itu jaminan bahwa tanahnya tidak akan dirampas. Ini bukan masalah siapa yang punya sumber daya, tapi bagaimana segelintir pihak memiliki seperangkat kuasa dan nilai yang bisa membuat sumber daya itu berpindah tangan dengan cara apapun.
Hari ini, masih banyak yang ogah bersimpati dengan petani maupun para masyarakat kampung kota karena mereka memasrahkan kedaulatan hidup kepada negara maupun swasta yang dianggap akan membuat kehidupan lebih baik. Petani dan masyarakat kampung kota dinilai sebagai kerak-kerak ‘peradaban modern’ di mana masyarakat hari ini jijik untuk melihat mereka masih bertanah-tanah maupun membuat MCK di dekat sungai.
Pertanyaan berikutnya, apa itu hidup yang lebih baik? Pembangunan patriarkis adalah sebuah kerusakan relasi antara manusia dan alam. Di sini saya tidak akan membandingkan penghancuran alam dan penindasan terhadap perempuan karena mereka berada dalam ruang kesadaran yang berbeda.
Patriarki bersama kapitalisme hadir sebagai usaha sistematis untuk menghancurkan, dalam bahasa Marxist, persepsi subjek (mentalitet) terhadap dunianya. Hubungan alam dan manusia dirusak habis-habisan di sebatas nilai tukar semata, di mana manusia adalah sentral dari seluruh peradaban ini (Smith, 2010: 8). Usaha-usaha konyol semacam program “ramah lingkungan-tapi tetap ramah kepada bisnis’ pada perdagangan karbon dan atau kampanye membeli-lebih atas dasar konsumsi ‘yang baik dan hijau dan taat etika’ pun masih mengulang jargon era modern memuakkan bahwa kita menuju suatu pembangunan yang terus maju, tanpa susah-susah ingin bertanya apa definisi maju setiap individual maupun kolektif. Hanya pasarlah, secara kontradiktif adalah penyebab semua masalah tersistematis ini, yang menjadi jawaban.
Seolah, bahwa untuk menyelamatkan bumi dan lingkungan, di bawah panji pembangunan yang sama, saya harus mengeluarkan sedikit lebih uang untuk menjamin tidak akan ada eksploitasi buruh anak di batangan cokelat, atau meyakinkan bahwa hanya uang yang saya habiskanlah satu-satunya juru selamat sungai Gangga yang hancur karena pabrik garmen fesyen cepat. Tentu saja logika ini gagal memahami bahwa tak semua orang punya kesempatan yang sama untuk membuat pilihan-pilihan konsumsi. Saya ingin sekali semua orang membeli minyak Barco yang seliternya Rp 200.000 rupiah agar orang taat pada azas kelapa sawit berkelanjutan, tapi uang senilai itu adalah gaji sepuluh hari tukang bersih-bersih jalanan di sebuah universitas kelas-dunia mentereng di Depok.
Peliyanan (othering) atau proses ‘me-lain-kan’ adalah kata kunci penting dalam memahami dan mengidentifikasi pembangunan yang patriarkis. Semua konsep ‘peminggiran suara’ dan ‘memudarkan relasi yang lebih sosial-ekologis (untuk manusia maupun alam) ketimbang ekonomi antara manusia dan alam’ bermuara di proses peliyanan (Harcourt dan Nelson, 2015: 146).
Tidak hanya pembuangan identitas marjinal dalam kemajuan, proses ini juga sangat tercermin dalam lakon pembangunan yang terus memaksa para petani menjadi buruh semen atau mendiskreditkan masyarakat kampung kota sebagai orang-orang tolol yang tidak mau ‘maju’ hanya karena ia memilih tinggal di bantaran sungai. Proses peliyanan dan melanjutkannya dengan arogansi seperti rusun berbayar (lebih mahal pula dari yang dijanjikan) dan mengganti tanah berarti abai terhadap relasi kerja dan proses reproduksi (aktivitas) sehari-hari masyarakat. Entah itu menjaga kerekatan sosial yang berguna untuk bertahan hidup secara kolektif (seperti para petani perempuan di India yang membuat saung agar mereka bisa bergantian mengasuh anak, bertani di tanah komunal, dan memasak [Agarwal, 1994]) maupun hal remeh-tapi penting seperti ramah–tamah tetangga yang sangat berguna bertahan hidup bersama-sama alih-alih mendongak kepada gaji bulanan.
Contoh lain logika peminggiran terhadap apapun yang tidak/belum bisa dikuasai oleh panji ekonomi pasar sangat tercermin dalam perampasan lahan yang dialami oleh petani-petani Kulon Progo maupun Rembang, ataupun pinggir sungai Jakarta. Semua pembenaran itu dihadiri dengan amdal abal-abal, logika bahwa lahan itu tidak subur sehingga lebih baik dialihkan saja menjadi pabrik atau bandara, atau ia mengganggu ruang sungai meskipun jelas ada teori rekayasa (engineering) lain yang dapat membangun ruang ramah sungai DAN masyarakat di bantarannya.
Di sini konter fakta mengenai produktivitas lahan maupun data penyebab banjir tidak lagi penting dan strategis, karena yang beroperasi adalah sebuah kekerasan epistemik, atau pemaksaan pola pikir dan pengetahuan yang sejatinya tidak bebas nilai, yang berjalan selama ribuan tahun. Apapun yang diluar narasi maskulin dan pembangunan patronistik ini harus dibantai, baik secara koersif yang vulgar, maupun dengan rasionalitas (logika dingin-rasio!) yang represif (Bookchin, 1989: 89). Ingat para buzzer mantan gubernur Jakarta itu berkata bahwa orang kampung kota itu bodoh-dikasih yang baik-kok-gak-mau? Para pembebek semen itu dengan teganya mengatakan petani itu anti-kemajuan dan lebih baik cor saja mulutnya? Ini adalah tuturan rasio yang represif dan diskriminatif tadi.
Semua harus maju ala pengetahuan kelas elit. ‘Anak-Anak Bandel’ ini tidak boleh mendefinisikan kemajuannya sendiri. Sebab, efisiensi pasar dan pemadatan modal gila-gilaan dalam tempo (dan ruang) jang sesingkat-singkatnja lebih penting!
Feminisme sebagai paradigma memiliki langkah-langkah bayi yang signifikan untuk merombak cara berpengetahuan yang diskriminatif seperti paparan di atas. Melampaui identitas, feminisme dalam perkembangannya berhasil menjadi radikal dengan mempertanyakan bangunan pengetahuan yang kelak akan terlihat dalam kebijakan maupun teknologi. Pengetahuan hari ini, ujar Harding (2008, 2004) maupun Haraway (2003), adalah sebuah pengetahuan yang patriarkis di mana kita secara repetitif dan berkebutuhan untuk menghancurkan alam dengan pengetahuan-pengetahuan kita akan konsep ‘maju’.
Bersenada dengan Haraway, Neil Smith juga menuding logika dan rasio Baconian di Era Pencerahan (yang sebenarnya tak cerah-cerah amat) sebagai salah satu biang keladi penormalisasian patriarki (di mana Bacon dengan gamblang menyebut hanya laki-laki yang mampu berpikir akan kemajuan) dan kapitalisme (manusia [man] penakluk alam). Pemikiran diskriminatif Bacon masih hidup dalam dasar-dasar pengetahuan modern yang berlangsung hari ini (Smith, 2008: 13–14), dan semakin kukuhkan seiring menguatnya kapitalisme di berbagai lini masa.
Premis feminis mengenai pengetahuan amat datar tapi menusuk langsung ke cara berpikir hari ini yang terus mempromosikan logika dan ‘berpikir kritis’. Pertanyaan mereka sesederhana, “Apa kamu yakin cara berpikir kita hari ini, logika yang terus kita agung-agungkan itu, maupun cara pandang kita terhadap bentuk-bentuk berpikir alternatif, bukan warisan patriarki?”
Konsep degrowth atau anti-pembangunan (patriarkal-kapitalistik) juga diturunkan dari refleksi feminis terhadap kegagalan pembangunan dan ketidakpuasan terhadap peradaban yang tidak hanya terjadi di negara-negara dunia ketiga, tapi juga negara ‘maju’. Refleksi-refleksi itu justru ditemukan dalam relasi antara para petani perempuan Afrika yang semakin dihisap nilai lebihnya dalam skema ‘pembangunan hijau’ di sektor agrikultur; atau ketika usaha para petani sawit perempuan yang menanam tumbuhan lain di pekarangannya dalam enclave perkebunan kelapa sawit (bersertifikat SPOP!) tidak dianggap sebagai ‘kerja’ (Li, 2015).
Toh hari ini, kita semakin melihat tampilan paling jelas keterbatasan dari konsep ‘pertumbuhan (growth)’ yang pada dasarnya sangat tidak (bisa) berkelanjutan. Konsep anti-pembangunan bukan cuma asal menolak, tapi secara kritis mempertanyakan relasi kuasa, dominasi, dan hierarki dalam pembangunan semu. Masyarakat dapat ditransformasikan menjadi sebuah organisasi yang bertanggungjawab kepada individual maupun kelompoknya, tanpa ribut diganggu dengan definisi pembangunan dan pengetahuan yang diskriminatif. Pada dasarnya konsep degrowth maupun hal-hal lain yang mengkritik pembangunan adalah usaha-usaha mempertahankan pilihan ruang hidup masyarakat.
Sejak kajian awal mengenai ekonomi politik feminisme dan dikawinkan nantinya dengan feminis ekologi politis, perspektif subsitensi adalah kata kunci yang terus didesakkan dalam agenda radikalisasi konsep ‘tumbuh’ dan ‘pembangunan ini’.
Akan jadi apa ekonomi kita di mana alam punya suara, manusia-manusia punya suara, perempuan dan anak-anak dengan masa depannya punya suara, dan ekonomi ini tidak didasari oleh kolonialisasi maupun eksploitasi orang lain maupun bumi untuk keuntungan semata?
tanya Maria Mies dalam Patriarchy and The Accumulation on World Scale (1999/2014).
Senada dengan Maria Mies, Vandana Shiva menekankan bahwa alam memiliki “ekonomi dan sistemnya sendiri” yang dihisap nilainya secara total di bawah pembangunan patriarkis dan kapitalistik ini (2015). Perspektif subsistensi bukan hanya soal ‘cukup hari ini’, tapi bagaimana menjaga relasi sosial-ekologis yang jauh lebih dulu hadir sebelum kapital maupun patriarki.
Alternatif ini memang tidak mudah, tapi perubahan memang bukan sesuatu yang datang dari langit apalagi dari pajak barang mahal maupun bilik suara untuk memilih nabi palsu. Patriarki dan kapitalisme bukan sesuatu hal yang bisa direformasi atau sekedar dijinakkan (Federici dalam Mies, 2014). Ia harus dihancurkan secara bersamaan, dan jika kita memang berniat untuk menghancurkannya, maka gaya-gaya reformis level gimik pada hukum dan kebijakan belaka tidak akan membawa perubahan berarti dan patriarki hanya akan berubah wujud.
Patriarki bukan hanya persoalan identitas yang diliyankan seperti identitas ‘alam’, ‘perempuan’, maupun LGBTQIA, tapi juga memiliki tubuh yang jelas; perebutan atas sumber daya. Jika kita tidak segera mengimplementasikan lensa gender dan feminis ke dalam isu pembangunan hari ini dan terus terkecoh dengan rencana pembangunan, saya takut sekian liter air mata (almarhum) Yu Patmi dan sak pasir untuk mengecor kakinya akan terbuang sia-sia.
Perdana Putri sehari-sehari mendengarkan Led Zeppelin di pinggir sungai. Cita-citanya ingin jadi jawara kampung #agarsupaya. Kalau semesta mengizinkan, akan berangkat ke Evanston, Illinois, Amerika, untuk menjadi Arryman Predoctoral research Fellowship 2017, The Buffet Institute for Global Studies of Northwestern University. Kritik dan saran bisa kalian layangkan ke email pribadinya: perdana21@gmail.com
Sumber Bacaan:
Agarwal, B. (1994). A Field Of One’s Own: Gender And Land Rights in South Asia. Cambridge University Press: Melbourne.
Bookchin, M. (1989). The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy. Chesire Books: Palo Alto.
Haraway, D. (2003). The Haraway Reader. Routledge: London.
Harding, S, Hintikka, M.B. (2003). Discovering Realities: Feminist Perspectives on Epistemology, Metaphysics, Methodology, and Philosophy of Science. Kluwer Academic Publisher: Dordrecht.
Harcourt, W, Nelson, I. (2015). Practising Feminist Political Ecology: Moving Beyond The Green Economy. Zed Books: London.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford University Press Inc: New York.
Li, T. (2015). Social impacts of oil palm in Indonesia: A gendered perspective from West Kalimantan. Occasional Paper 124. CIFOR: Bogor.
Mies, M. (2014). Patriarchy and Accumulation on World-Scale: Women In the International Division of Labour. Zed Books: London.
Shiraishi, S.S. (1997). Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: Penerbit Nalar
Smith, N. (2008). Uneven Development: Nature, Capital and the Production of Space. Athens: University of Georgia Press.
Vansintjan, A (Ed). (2017). In Defense of Degrowth: Opinions and Minifesto. Indefenseofdegrowth.com.
Multimedia:
Ross, M. (Produser), Morgan, A. (Penulis), & Morgan, A. (Sutradara). (2015). True Cost [Motion Picture].