Beberapa Catatan Mengenai Teknologi dan Feminis

Ester Haloho
Merah Muda Memudar
Published in
10 min readApr 15, 2017
https://assets1.ello.co/uploads/asset/attachment/5226164/ello-xhdpi-2362c673.jpg

‘Kamu kan perempuan, ngapain masuk Teknik?’

Selama tiga tahun berjuang di jurusan Teknik, sudah tidak terhitung berapa kali saya mendengar kata-kata mutiara ini. Pelakunya pun bervariasi, mulai dari teman, kolega, keluarga, bahkan dosen saya. Sejak dulu saya tidak habis pikir mengenai kata-kata mutiara ini; kenapa rahim dan vagina saya harus membatasi peran saya dalam masyarakat khususnya bidang teknologi? Berangkat dari pertanyaan inilah saya mulai belajar mengenai feminisme dan mencari jawaban pertanyaan tersebut dalam diskursus feminisme.

Beatrice Helen Worsley, Canada’s first female computer scientist, in front of the EDSAC in Cambridge circa 1949–1951 https://womenandtechnologyproject.files.wordpress.com/2014/10/beatric_worsley2.png?w=620&h=428

Kebetulan beberapa hari yang lalu saya menemukan tulisan di Jurnal Perempuan mengenai feminisme dan teknologi berjudul Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme Abad 21 yang ditulis oleh Perdana Putri. Jadi, pada tulisan ini izinkan saya setengah mengulas jurnal sekaligus setengah curhat akan pengalaman saya sebagai perempuan dalam sektor STRM (Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika). Lagipula, das private ist politisch. Apa yang terjadi di ranah personal adalah permasalahan politik juga. Ekhm personal is political ekhm.

Dalam tulisan ini, penulis memulainya dengan urgensi akan premis mengenai teknologi pada abad 21 dan sikap feminis untuk memperhatikan sains dan ilmu pengetahuan dengan menggunakan kacamata epistemologis.

Sebentar. Kita satukan frekuensi dulu. Epistemologis teh naon kak? yang dimaksud oleh mba penulis adalah moda pengetahuan feminisme untuk memandang hakikat, asal, sifat, karakter dari sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini didukung oleh naiknya pemikiran pascamodernisme pada tahun 1960an, di mana maraknya kritik-kritik terhadap penelitian yang melanggengkan status quo dan mencoba untuk mendekonstruksi habis-habisan akan hal tersebut. Dalam konteks feminisme, kritik tersebut bersumber dari hipotesis (kecurigaan) bahwa sains dan pengetahuan modern kita selama ini dibangun oleh moda ilmu yang maskulin, patriarkis, dan phallogos.

Tapi kak, phallogos teh naon? Phallogos (phallogocentrism) adalah sebuah kata baru (neologisme) — dibuat oleh Jacques Derrida — yang menunjukkan keuntungan atau privilese dari gender maskulin (phallus) dalam konstruksi definisi atau arti.

‘wah ini penulis suudzon. Ilmu itu netral dan tidak berpihak’

Sebentar dulu, Dik Firza. Kecurigaan ini bukan teori baru buatan penulis dan tanpa implikasi. Kita bisa lihat berbagai proyek pembangunan dan inovasi teknologi yang merugikan perempuan. Dalam konteks Indonesia misalnya, program Revolusi Hijau yang membawa banyak teknologi agrikultur terbarukan oleh Orde Baru meminggirkan hak kepemilikan tanah atas perempuan, khususnya pada program transmigrasi dan kelapa sawit yang terjadi secara besar-besaran di akhir 1980-an hingga awal 2000-an. Selain itu, kita bisa melihat bagaimana suara dan pengalaman perempuan tidak dihitung dalam proses penciptaan maupun pasca implementasi teknologi untuk perempuan seperti agenda Keluarga Berencana (KB). Dalam konteks internasional, kita bisa melihat rapat mengenai kesehatan wanita di Amerika baru baru ini yang (kurang) mengejutkannya tidak melibatkan wanita sama sekali.

https://twitter.com/PPact/status/844999238958436353/photo/1?ref_src=twsrc%5Etfw&ref_url=http%3A%2F%2Fwww.patheos.com%2Fblogs%2Fprogressivesecularhumanist%2F2017%2F03%2Ftrump-meets-30-white-men-discuss-womens-health-care%2F

Dengan latar belakang inilah muncul pandangan bahwa permasalahan dalam teknologi merupakan turunan dari pandangan bahwa pada dasarnya rahim (hakikat) dari ilmu pengetahuan modern dan sains bersifat seksis dan maskulin sehingga jika medan pengetahuan tersebut tidak diurai atau didekonstruksi untuk membentuk pengetahuan baru, maka apapun langkah praktis atau penawaran solusi akan tetap membawa eksklusi bagi identitas gender non-maskulin.

Ada tiga pemikiran feminisme yang menawarkan pandangan yang berbeda dalam menentukan apa akar masalah dari persoalan gender dan teknologi yang dijelaskan penulis yaitu:

1. ‘Yuk perbaiki perempuan’ oleh feminis liberal

Ini adalah pemikiran yang paling marak dalam masyarakat awam kita. Dimana masalah gender dan teknologi berakar pada kurangnya partisipasi perempuan dalam sektor SRTM. Mungkin kata-kata ‘sekarang perempuan sudah bebas kok jadi apa aja, maju terus mba kamu pasti bisa jadi engineer yang baik dan sukses!’ adalah kata-kata mutiara kedua yang paling sering saya dengar setelah kata-kata mutiara yang sudah saya tuliskan di awal tulisan. Feminis liberal mempercayai bahwa reformasi hukum dan sistem pendidikan dapat memperbaiki tatanan yang dirusak oleh patriarki. Namun, pandangan ini mengundang banyak kritik karena mendorong perempuan atau identitas non-maskulin lainnya untuk terus berpartisipasi kepada sistem yang terus melanggengkan patriarki diluar gender dan teknologi.

Dari perspektif sosialis, partisipasi perempuan dalam perusahaan teknologi bahkan menjadi petinggi justru menjadi masalah tersendiri, khususnya bagaimana posisi tersebut telah menghisap nilai lebih para pekerja perempuan dibawahnya. Analogi sederhana: asumsikan saya adalah anak miskin dari desa terpencil yang berhasil menjadi pengusaha sukses dan kaya raya lantas apakah kesuksesan individual saya memberikan pengaruh yang signifikan pada anak miskin dari desa terpencil lainnya? Apakah kesuksesan individual saya mengubah sistem sehingga tidak ada lagi ‘anak miskin dari desa terpencil’? Tentu saja tidak! Salah satu contoh konkrit dari hal ini adalah Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer Facebook. Karena posisinya yang tinggi inilah ia digadang menjadi ikon feminisme dalam bidang teknologi. Namun, hanya karena Sandberg menduduki posisi yang tinggi di Facebook bukan berarti Sandberg adalah feminis atau Facebook adalah perusahaan feminis karena mempekerjakan perempuan di posisi yang tinggi.

Mengapa hal ini problematis?

Facebook adalah perusahaan kapitalisme digital kontemporer yang telah menghisap nilai lebih dari penggunanya dan mentransformasikan pengguna Facebook menjadi pekerja immaterial — pekerja yang produknya bukanlah barang material, melainkan yang non-materi, seperti pengetahuan, informasi, komunikasi dan relasi afektif. Hal ini berbahaya karena Facebook secara langsung melanggengkan ide-ide seksis dalam masyarakat. Salah satunya adalah meme-meme seksis yang mempunyai jutaan likes seperti berikut:

https://img.memesuper.com/72a250d119193c49091a17f04ef85ba3_edmmeme-on-twitter-sexist-meme-for-masonmorris9-http-tco-sexist-meme_467-696.png
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/b5/a0/97/b5a0970b94802281c54af02c2cec8d24.jpg

Kenyataan ini membuat posisi Sandberg menjadi dilematis dan paradoks dalam imajinasi pembebasan feminisme karena Sandberg secara tidak langsung berkontribusi terhadap pelanggengan nilai-nilai patriarkis dan seksis yang ada.

Penulis juga mengangkat poin yang penting mengenai problematika gender dalam STRM. Penulis mengungkapkan bahwa pekerjaan teknologi berbasis seks sudah dapat dilacak ke Revolusi Industri di Inggris. Pada masa itu, bisnis percetakan menjamur dan menyerap banyak tenaga kerja, baik perempuan maupun laki-laki. Meskipun begitu, terdapat perbedaan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan: laki-laki mengerjakan mesin monotipe yang bertugas untuk mencetak dan menyatukan kertas-kertas menjadi buku sedangkan perempuan mengerjakan mesin ketik linotipe dan qwerty yang lebih simpel. Perbedaan inilah yang menyemenkan anggapan bahwa pekerjaan di bidang STRM merupakan pekerjaan laki-laki.

Berangkat dari konstruksi sosial yang menyejarah tersebut, berkutat dengan jumlah perempuan di sektor teknologi menjadi tidak cukup untuk mengurai permasalah gender dan teknologi. Pendekatan yang lebih kritis dan mendalam kemudian dilakukan oleh para pemikir feminis Marxis, sosialis, dan epistemologi.

2. ‘Perempuan diperlakukan sebagai konsumen bukan produsen’ oleh feminis marxis dan sosialis.

Feminis marxis dan sosialis berkutat pada analisa ekonomi-politik untuk melacak asal muasal teknologi; siapakah yang membuatnya, apa konteks historis yang mengiringi penciptaan teknologi, siapa yang memulai proyek pengetahuannya, bagaimana sebuah inovasi didanai, dan apakah kelas pekerja (dan khususnya perempuan) mendapatkan keuntungan dari terciptanya sebuah artefak teknologi.

Analisa ini memberikan kontribusi yang signifikan untuk melawan apa yang disebut teknofilia dan determinisme teknologis yang menganggap teknologi adalah solusi permasalahan sosial dan ketimpangan gender — atau yang sering disebut pandangan ‘stemlord’ di kamus milenial kekinian. Walaupun memberikan kontribusi besar, analisis ini tidak lepas dari kritik. Menurut Donna Haraway dalam essay Cyborg Manifesto, kritik feminis marxis dan sosialis masih terlalu biner karena hanya menggunakan dikotomi usang; ‘pembuat’ dan ‘pemakai’ teknologi. Haraway berargumen bahwa sejatinya kita adalah dan akan menjadi cyborg yaitu sebuah entitas yang merupakan penggabungan antara ‘alam’ (konotasi gender untuk feminitas) dan ‘mesin’ (diasosiasikan dengan maskulinitas). Haraway juga menyatakan bahwa tidak sebaiknya kita membedakan dari entitas-entitas yang ada maupun yang kita ciptakan sendiri (yakni teknologi), karena kita ditenun dalam relasi sosial yang dinamis dan terus menciptakan dan dipengaruhi oleh teknologi.

http://orig15.deviantart.net/617b/f/2013/074/3/c/cyborg_by_fightpunch-d5y66c6.jpg

Hal yang menarik untuk kita bahas disini yang belum dibahas penulis adalah kritik feminis marxis dan sosialis terhadap minimnya akses (ruang bergerak) perempuan. Minimnya akses perempuan ini mengharuskan para perempuan untuk menjadi sukses dalam karir dan rumah tangga. Contoh yang bisa kita ambil adalah maraknya seminar entrepreneur dari rumah karena bantuan teknologi yang ironisnya banyak diikuti oleh perempuan lulusan STRM sehingga membuat mereka ‘dirumahkan’ dan makin terasingkan (teralienasi) sebagai pekerja immaterial.

3. ‘Feminisme yang ‘hakiki’’ oleh feminis epistemologi

Sejauh tulisan ini kita bisa melihat semakin curiganya kita akan maskulinitas dan karakter patriarkis di dalam bidang teknologi merupakan suatu hal yang inheren. Mengutip Hidayat (2004; 2006) yang menunjukkan bahwa revolusi sains pada abad ke tujuh belas merupakan akar dari seksisme dan kebutaan gender yang terus berlangsung hingga hari ini. Penulis juga menyalahkan filsafat modern Baconian — yang dipionir oleh Francis Bacon — yang membawa paradigma bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki (Smith 2008: 13–14, Hidayat, 2004: 17). Paradigma Baconian ini menganggap bahwa rasionalitas hanya dimiliki oleh laki-laki, dan rasionalitas selalu dikuti dengan obyektifitas, sehingga melahirkan sebuah anggapan bahwa hanya laki-laki yang pantas untuk berkecimpung di dunia sains dan teknologi.

Di sini, feminisme epistemologis menggugat anggapan pro-maskulinitas Baconian dan mempertanyakan ulang dengan apa yang dimaksud dengan objektivitas, dan rasionalitas itu. Juga, mengapa hanya dua karakter ini yang dianggap valid di dalam sains dan ilmu pengetahuan? Apakah dua hal tersebut tergender? Dan jika ada cara lain untuk mengetahui dan turut dianggap ‘valid’ dalam ilmu pengetahuan, apakan cara lain tersebut telah ditekan dan sengaja tidak dianggap?

Hal ini menjelaskan mengapa ‘menjahit’ dan ‘memasak’ tidak dianggap sebagai sebuah metode pengetahuan. Menenun adalah ‘feminin’ dan akan selalu feminin dalam pandangan masyarakat walaupun sebenarnya memiliki kadar kompleksitas yang sama seperti fisika dianggap ‘maskulin’.*Ga percaya? Saya sangat suka fisika terutama teori fisika namun sampai sejauh ini ketika saya belajar menenun atau memasak hanya akan berakhir pada kata-kata kasar manifestasi dari frustrasi saya*. hal ini bisa dilihat lebih jelas lagi pada pandangan masyarakat terhadap wanita karir terutama dibidang STRM sekaligus ibu rumah tangga. dimana wanita yang ‘bisa semuanya’ menjadi fetis dan merupakan pengertian feminis bagi awam. sehingga seorang wanita ‘super’ adalah dia yang berhasil melewati standar ‘maskulin’ dalam metode pengetahuan tetapi tidak melupakan ‘hakikat’nya sebagai perempuan (dimana hakikat ini menekankan bahwa hal hal seperti menjahit dan memasak bukanlah sebuah metode pengetahuan).

Contoh lain yang menarik kita analisis adalah program Keluarga Berencana yang memberikan gambaran seksis kampanye anti-korupsi. Memuat imaji ‘ibu/istri yang baik adalah tonggak keluarga bersih dari korupsi’. Hal ini berangkat dari seringnya karakter maskulin diidentifikasi dengan pembawaan yang menaklukkan, individualistik, dan memiliki kecenderungan reduksionis. Pada akhirnya maskulinitas dalam sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi melanggengkan kepentingan dari mereka yang diuntungkan dengan maskulinitas (bukan perempuan sayangnya) dan menegasikan cara lain untuk mengetahui dan menciptakan teknologi.

Dengan demikian feminisme epistemologi memberikan penjelasan bahwa permasalahan teknologi dan gender berakar pada proses ia didefinisikan dan dikembangkan di level epistemnya; ruang yang menentukan dan mendikte apa itu pengetahuan yang valid dan apa itu teknologi, hingga bagaimana mereka harus diaplikasikan. Sehinga dekonstruksi dan redefinisi teknologi menjadi sangat amat penting bagi feminis saat ini.

Mengutip langsung dari penulis:

“Jika etimologi* dari istilah teknologi (techne dan logos) benar berarti keterampilan dan keahlian untuk memproduksi dan mengolah sesuatu, lalu mengapa keahlian menenun para ibu-ibu di Lombok yang dilakukan dengan sebuah mekanisme yang kompleks (dan bahkan dapat disebut sebagai mesin) dalam tuturan umum tidak disebut sebagai ‘teknologi’ secara umum layaknya teknik mesin atau rekayasa genetik? Perempuan dalam hal ini terpisahkan dalam sains dan ilmu pengetahuan modern, sebagaimana modernitas dan pengetahuannya dibangun di atas premis-premis pembangunan dan cara mengetahui yang maskulin. Secara sengaja, apa yang berlawanan dengan konsep modernitas seperti tradisi/yang tradisional dianggap anti-tesis dari ‘perkembangan’ ditempelkan kepada ‘feminitas’ dan tubuh yang dianggap menjadi pengampu tunggal konotasi gender tersebut, yakni perempuan. Dengan demikian, perkembangan teknologi seperti penemuan logam baru, mesin uap, hingga kultur digital hari ini tidak diasosiasikan dengan perempuan, sertaperan mereka terpinggirkan dari narasi sejarah, dan alih-alih hanya ditandai dengan ‘laki-laki’ dan ‘maskulinitas’ (Harding dalam Grasswick 2011, hal. 93).”

*etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal usul suatu kata

— — —

sehingga dari tiga pemikiran feminisme yang menawarkan pandangan yang berbeda dalam menentukan apa akar masalah dari persoalan gender dan teknologi yang dijelaskan penulis dapat saya rangkum dalam catatan (yang katanya kental dengan) anak teknik sebagai berikut:

Maaf kalau tulisannya jelek tadinya sudah bikin pake software tapi tiba-tiba error :(

Izinkan saya mengutip Nancy Fraser dalam wawancaranya oleh Gary Gutting untuk The New York Times

“My feminism emerged from the New Left and is still colored by the thought of that time. For me, feminism is not simply a matter of getting a smattering of individual women into positions of power and privilege within existing social hierarchies. It is rather about overcoming those hierarchies. This requires challenging the structural sources of gender domination in capitalist society — above all, the institutionalized separation of two supposedly distinct kinds of activity: on the one hand, so-called “productive” labor, historically associated with men and remunerated by wages; on the other hand, “caring” activities, often historically unpaid and still performed mainly by women. In my view, this gendered, hierarchical division between “production” and “reproduction” is a defining structure of capitalist society and a deep source of the gender asymmetries hard-wired in it. There can be no “emancipation of women” so long as this structure remains intact.”

Kesimpulan

Dari ratusan kata yang saya tulis sebelumnya, sesungguhnya hanya ada dua kesimpulan yang ingin saya sampaikan:

1. Urgensi untuk keluar dan menghancurkan konotasi gender dalam pengetahuan harus menjadi fokus feminis saat ini

2. Titik paling radikal feminisme adalah ketika paham itu punya potensi untuk mendekonstruksi dan menghancurkan semua moda pengetahuan hari ini

Sehingga satu saat nanti ‘kamu kan perempuan. ngapain masuk Teknik?’ berubah menjadi ‘kamu kan manusia. ngapain dibatasi uterus dan vagina?

Ester Arinamy Haloho adalah mahasiswi Teknik Kelautan ITS yang sudah melewati masa krisis eksistensial tetapi selalu dilanda krisis finansial. Penulis juga seseorang yang percaya bahwa seharusnya hanya ada dua jenis gender dan keduanya fluid alias tergantung situasi dan kondisi yaitu : Kak Ema dan Dik Firza. Kritik dan saran bisa anda sampaikan ke email pribadinya: ester.arinamy@gmail.com

Sumber Bacaan:

Putri, Perdana. (2016). “Pencarian Teknologi Feminis: Tantangan Feminisme Abad 21”. Jurnal Perempuan. 21, 395–403.

https://indoprogress.com/2015/10/mengenal-pekerja-immaterial

https://opinionator.blogs.nytimes.com/2015/10/15/a-feminism-where-leaning-in-means-leaning-on-others

--

--