Di Atas Tulang Belulang Perempuan

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
8 min readSep 13, 2018

Ulasan buku Caliban & The Witch: Women, The Body and Primitive Accumulation (2014) oleh Silvia Federici

Art credit: www.instagram.com/erwanski

Caliban & The Witch (selanjutnya Caliban) adalah sebuah buku yang berupaya membahas apa hubungan transisi masyarakat menuju kapitalisme dan penindasan terhadap perempuan. Silvia Federici membahas proses sejarah penindasan perempuan di Eropa dan penduduk asli Amerika dengan semangat anti-kapitalisme dan anti-kolonialisme. Ia berupaya menambahan potongan analisa yang hilang dalam perbincangan kita mengenai penindasan perempuan dan kapitalisme.

Walaupun memang sering kali banyak orang yang mengatakan “ya penindasan perempuan adalah buah kapitalisme,” atau “kapitalisme dibangun di atas penindasan terhadap perempuan” bagaimana persisnya hal itu terjadi? Caliban menjadi penting karena ia hadir untuk melihat bagaimana “transisi” menuju kapitalisme tidak mungkin terjadi tanpa penghancuran hak-hak perempuan dan perebutan atas tubuhnya.

Pada Mulanya Adalah Tanah

Caliban dimulai dengan sejarah Eropa pada abad pertengahan yang, berlawanan dengan banyak narasi, dipenuhi ketidakstabilan dan perlawanan oleh petani. Sejak awal, Federici melihat transisi kapitalisme dengan pandangan baru. Berlawanan dengan asumsi umum (kapitalis-developmentalis) selama ini yang melihat transisi menuju kapitalisme adalah upaya melawan feodalisme, justru kapitalisme adalah upaya kontra-revolusioner dari petani yang memberontak melawan feodalisme.

Singkatnya, ketika petani menjadi basis perlawanan anti-feodalisme, kapitalisme adalah upaya tuan-tuan baru untuk meredam pemberontak tersebut. Pandangan ini adalah bacaan baru dari tawaran Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto [Manifesto Komunis] (1848[2008]) yang menyatakan borjuasi dan semangat kapitalistiknya adalah satu upaya melawan feodalisme juga.

Sepanjang abad pertengahan, banyak kelompok tani yang memboikot gereja dengan berbagai cara. Dari sekelompok petani miskin yang menjadi vegetarian sebagai bentuk protes terhadap gereja yang merebut sapi-sapi dan lahan petani (Gereja Katolik adalah pemilik tanah terbesar di masa itu), hingga mereka yang menolak beranak pinak untuk melawan dogma gereja tentang keluarga (hl. 35).

Untuk menundukkan gerakan yang semakin lama membesar, gereja Katolik dan kelas penguasa di masa itu (entah sisa-sisa feodal atau borjuis baru dari pedagang/pemilik lokakarya gilda) menetapkan dua hal. Pertama, mulai melihat kemiskinan sebagai salah satu dosa/tindakan tidak terpuji. Awalnya, otoritas gereja memandang kemiskinan sebagai grup sosial rentan yang harus dibela (“berada di bawah tangan Tuhan”), dan dipakai untuk mengundang orang-orang kaya berderma dengan pengelolaan dana oleh gereja. Dengan masif dan sistematiknya korupsi dana tersebut, bersamaan dengan perebutan tanah oleh otoritas terhadap petani (enclosure), para petani miskin mulai memberontak dan berani mengkritik gereja. Sehubungan dengan hal tersebut, paradigma mengenai kemiskinan mulai bergeser dan stigma-stigma seperti “pemalas”, dus tindakan pemalas dibenci Tuhan, menggantikan konsep berderma terhadap orang miskin.

Kedua, dan yang menjadi salah satu topik utama di buku, adalah persekusi para pemberontak atas nama bid’ah atau bertentangan dengan hukum agama (dalam hal ini gereja). Di sinilah patriarki mulai membantu peralihan menuju kapitalisme. Berdasarkan catatan sejarah yang berhasil dikumpulkan oleh Federici, angka terdakwa bid’ah paling besar adalah perempuan. Ada beberapa situasi yang memungkinkan kekuasaan patriarki terhadap perempuan begitu besar. Dalam banyak sekte tersebut, perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri — misalnya dengan menolak beranak pinak dan makan daging dari sapi-sapi yang dibesarkan gereja — dan posisi tersebut mendukung nilai-nilai anti-reproduksi. Di saat yang sama, Eropa sedang mengalami masa pemulihan pasca Plak Hitam (Black Death) atau wabah pes yang secara tajam mengurangi populasi warga Eropa. Pasca Plak Hitam, Eropa mengalami “krisis pekerja.” (hl. 40). Di masa itu, para buruh lepas dan petani yang masih hidup dengan mudah memeras para tuan tanah dan pedagang besar untuk upah yang besar; bahkan punya kuasa untuk menolak kerja atau mangkir dari bekerja di akhir minggu tanpa dihukum berat. Hal ini merugikan para tuan tanah dan pemilik gilda. Dengan cara apapun, demografi harus kembali diseimbangkan untuk merestorasi relasi kuasa. Akhirnya, logika perempuan sebagai mesin penghasil anak digencarkan secara masif untuk stabilitas demografi sosial dan ekonomi.

Ketimpangan dan penghukuman perempuan di desa lantas menyebar ke perkotaan, karena perempuan tidak lagi merasa aman apalagi mendapatkan pekerjaan di desa. Di kota, mereka menjadi pengemis dan pekerja seks komersil. Rumah-rumah bordil didirikan dan hukum anti-pelacuran dihapus untuk menarik pajak dari perempuannya. Rumah bordil tersebut juga ditoleransi oleh gereja selagi para pekerja seks tersebut tidak melakukan aborsi dan untuk menghindari tindakan homoseksual yang mengancam reproduksi populasi (hl. 49). Pekerja seks yang diperkosa juga tidak akan mendapatkan perlindungan. Demikian, ada subordinasi lebih jauh di dalam perempuan yang berstatus “pekerja seks” dan hal yang sama terjadi pada perempuan di kasta sosial yang rendah. Situasi ini juga dipersulit dengan perempuan bangsawan yang juga mengecam para pekerja seks ketika pemerkosaan terjadi. Hal ini menunjukkan bagaimana patriarki digunakan untuk melemahkan perlawanan adalah antagonisme kelas (antara yang tertindas dan menindas), dengan mengubahnya menjadi antagonisme antar sesama anggota kelas tersebut (mendemonisasi perempuan di rumah bordil maupun perempuan miskin sebagai penggoda lelaki bangsawan hingga pantas diperkosa).

Dengan mendegradasi perempuan sebagai mesin pembuat anak, pemuas nafsu sekaligus kambing hitam para lelaki kelas atas, dan tidak memberi upah atas pekerjaan mereka (terutama di sektor agrikultur), perempuan lambat laun jatuh ke bawah relasi yang lebih hierarkis daripada sebelumnya. Di sini ada hubungan harmonis antara gereja sebagai otoritas tertinggi saat itu bersama borjuasi yang mulai membangun kekuatan baru untuk memberangus petani dan kaum miskin kota.

Tubuh Yang Tidak Berhasil Mereka Bakar

Poin kedua yang menjadi argumen utama Federici dalam Caliban adalah proses akumulasi primitif yang lebih kompleks daripada konsentrasi pekerja dan modal. Dengan telaah terhadap perspektif gender, akumulasi primitif juga mencakup diferensiasi dalam kelas pekerja modern menuju kapitalisme. Hal tersebut bisa dicapai dengan “transformasi tubuh” (hl. 63) menjadi mesin kerja dan menurunkan derajat perempuan menjadi tidak lebih dari penghasil buruh dengan rahimnya.

Pendisiplinan dalam sektor kerja yang acap kali dihubungkan dengan perempuan juga terjadi. Untuk mengontrol populasi dan perempuan lebih jauh, pekerjaan seperti bidan digantikan oleh (sejenis) dokter laki-laki. Banyak arsip cukilan kayu, lukisan minyak, dan mosaik kaca di masa itu menunjukkan gambaran yang gamblang bagaimana bidan perempuan tidak pantas membantu perempuan. Tubuh perempuan hanya dikenali oleh laki-laki, dan tidak oleh sesamanya, ditambah ketakutan otoritas di masa itu tentang pengetahuan reproduksi perempuan mengenai aborsi. Federici menyebut proses ini sebagai “maskulinisasi” praktik medis (hl. 90).

Gambaran lebih gelap datang dari temuan sejarah ilmu anatomi. Di abad pertengahan Eropa, membedah manusia adalah perbuatan kriminal kelas berat yang melanggar hukum gereja, dan pelakunya bisa dihukum mati karena dianggap bersekutu dengan iblis. Namun aturan tersebut tidak membicarakan satu hal pun tentang apa yang otoritas bisa lakukan terhadap tubuh-tubuh orang miskin; khususnya perempuan (pekerja seks maupun para pengembara miskin) yang menghiasi angka statistik korban hukuman mati, maupun yang mati karena kelaparan di pinggiran jalan London (hl. 145).

Adalah perkembangan pasar yang membutuhkan buruh, otoritas gereja, dan para bangsawan yang menyebarluaskan pendisiplinan terhadap tubuh perempuan, termasuk mengontrol perbincangan perempuan. Ada aturan di Inggris pada masa abad pertengahan yang tidak memperbolehkan perempuan untuk duduk di teras rumah atau di dekat jendela, dan membatasi lama percakapan antar perempuan. Mereka membeda-bedakan “tubuh” dan “jiwa” mengikuti perkembangan logika biner kuno ala Descartes, dan menganggap perempuan tidak rasional dan liar, oleh karenanya harus dijinakkan. Dengan logika yang mekanik dan arkait tersebut, jiwa, emosi, afeksi, dan perasaan tidak dianggap sebagai sebuah kesatuan dalam tubuh yang berjalan beriringan dengan pikiran (mind) karena tidak berkontribusi terhadap kerja “produktif” (hl. 141). Artinya, reproduksi perempuan dan kerja domestik tidak dianggap sebagai kesatuan penting yang sangat mengikat keberlangsungan proses produksi kapitalisme.

Hal-hal diluar “rasio” dan “tubuh” fisik dianggap tidak lebih dari sihir yang kemudian berkembang menjadi basis hukum perburuan penyihir. Perkembangan ilmu pengetahuan yang seksis dan statis (negara) tersebut sayangnya juga berselisih jalan dengan perempuan. Perkembangan ilmu demografi, statistik, dan anatomi di Abad Pertengahan, bagi Federici, adalah upaya sistematis untuk menghancurkan pengetahuan “perempuan bijak” (wise woman). Perempuan-perempuan inilah, dulunya bidan, yang memahami seluk beluk reproduksi perempuan di masa tersebut, khususnya ingatan akan kontrol reproduksi (hl.183).

Perempuan Eropa tidak sendirian, hal yang sama terjadi dengan para budak yang didatangkan dari Afrika dan para perempuan adat di Amerika (utara maupun selatan). Mereka juga ditangkap, disiksa, dan dibunuh. Selain untuk (lagi-lagi) kontrol populasi pekerja di koloni, penindasan ini terjadi dalam logika kolonial untuk meredam ruang-ruang pemberontakan masyarakat adat yang acap kali berbasis agama pra-kristen.

Di koloni, walaupun tidak semua tempat, perempuan kerap menjadi dukun penyembuh (healer) bagi masyarakat. Dan kepercayaan terhadap otoritas pengetahuan non-penjajah jelas mengancam keberlangsungan stabilitas kolonial. Pada abad ke-16, Kerajaan Inggris menghukum mati para dukun tersebut meskipun mereka tidak melakukan kejahatan apapun. Posisi dukun sebagai penyembuh dan penasihat kesehatan para ibu dan anak di daerah jajahan sebenarnya tidak cocok dengan kategori tindak guna-guna yang berlaku di Eropa (hl. 201).

Tidak hanya untuk tujuan stabilitas, Federici juga mengkritik keras praktik perburuan penyihir di negara koloni sebagai mekanisme penting untuk mendisiplinkan pengetahuan non-Barat, terlebih di bidang medis dan pengelolaan tanah. Layaknya patriarki di Eropa yang membuat fragmentasi di dalam kelas pekerja, peraturan anti-penyihir dan perbudakan membuat perempuan budak dan para penduduk asli di kepulauan Karibia dan Amerika berjarak dengan para perempuan kulit putih kelas pekerja. Para penjajah di Amerika yang cemas akan hubungan erat antara pekerja perempuan kulit putih dan perempuan budak karena dipersatukan seksisme akhirnya mengangkat status sosial perempuan kulit putih. Dengan demikian, privilese yang diberikan bukan karena kesadaran gender tapi rasisme itulah yang memutus solidaritas antar perempuan.

Penutup

Terlepas dari pentingnya Caliban untuk dibaca bagi para peminat studi perempuan dan gender, ada beberapa hal yang harus diteliti lebih lanjut. Pertama klaim Federici sebagai kritik terhadap interpretasi Marx mengenai akumulasi primitif. Caliban digadang-gadang sebagai kritik gender terhadap proses peralihan menuju kapitalisme ala Marxian. Dua hal yang Federici kritik adalah (1) penggunaan kata “transisi” dalam Das Kapital I yang dianggapnya tidak mencerminkan kekejaman untuk perempuan dan (2) konsep reproduksi sosial yang hilang dari pembacaan Marx dalam kapitalisme.

Kritik pertama saya rasa terlalu berlebihan walaupun tetap patut dipertimbangkan, pula di Das Kapital I tertulis jelas bahwa kata transisi merujuk pada “perampokan, perbudakan, dan pembunuhan” dalam banyak proses akumulasi (Marx 1991, hl. 874). Dalam kasus tanah di selatan, tidak selamanya proses perebutan, akumulasi primitif dan kekerasan gender terjadi dalam proses yang brutal, tapi sebaliknya melalui apa yang disebut “perebutan yang intim” (intimate enclosure) dan dilakukan oleh sesama petani/kelas pekerja (Li 2014, hl.90). Konsep reproduksi sosial juga bukan sesuatu yang ditinggalkan Marx walau tidak mendapatkan perhatian yang serius di Das Kapital I. Namun di Grundrisse, Marx menuliskan bahwa reproduksi sosial yang saat itu hanya dapat diberikan oleh dan secara sengaja dibebankan pada perempuan adalah “produk historis” dalam perkembangan kapitalisme, dan problem populasi menjadi salah satu penanda permasalahan sistem ekonomi di masa itu (Marx 1993, hl.398–401).

Satu hal yang cukup mengganggu adalah bagaimana temuan sejarah Federici mengenai perempuan Eropa dengan kasar dihubungkan dan disamakan dengan penindasan perempuan di koloni atas nama kapital dan kebutuhan akan pekerja. Sehubungan dengan hal tersebut, pemaparan sejarah Federici terasa tidak konsisten. Logika kolonialisme (dan rasisme) harusnya mendapat perhatian khusus karena seperti kritik Federici terhadap konsep tubuh ala Foucault, tidak semua tubuh perempuan “sama” dalam relasi patriarki-kapitalisme. Kapitalisme bukan satu hal yang mendunia dalam waktu yang serentak dan dengan cara yang sama. Kapital sangat sensitif terhadap ruang dan waktu (spatiotemporal). Penetrasi kapital dan patriarki di negara koloni tidak sama dengan perempuan kulit putih di Eropa, seperti Federici tunjukkan dalam temuannya mengenai privilese perempuan pekerja kulit putih dan para budak di perkebunan.

Terlepas dari catatan kecil di atas, Caliban harusnya tetap menjadi sebuah karya klasik untuk memahami penindasan perempuan yang terjadi bersamaan dengan peralihan menuju kapitalisme. Riset-riset maupun upaya perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan mungkin harus belajar hal ini: bagaimana pengabaian terhadap analisa gender dan/atau hanya membuat “keadilan gender/perempuan” menjadi sekedar jargon di gerakan (untuk sekedar mengklaim telah melibatkan perempuan) tidak akan mampu menghancurkan kapitalisme.

Perdana Putri, lagi nyari hobi. Saran dan kritik bisa dikirim ke merahmudamemudar@gmail.com

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.